Adab Lingkungan Larangan Mencela Angin

0 komentar
 
“Janganlah kalian mencaci angin, apabila kalian melihat apa yang tidak kalian sukai maka ucapkanlah: ‘Ya Allah aku meminta kepadaMu kebaikan angin ini, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya serta kebaikan dari apa yang diperintahkan kepadanya
 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Dari Ubay bin Ka’ab bahwasannya Rasulullah Saw bersabda:

لا تسبوا الريح, فإذا رأيتم ما تكرهون فيقولوا: اللهم إن نسألك من خير هذه الريح وخير ما فيها وخير ما أمرت به, ونعوذ بك من شرهذه  الريح وشر ما فيها وشر ما أمرت به
 
“Janganlah kalian mencaci angin, apabila kalian melihat apa yang tidak kalian sukai maka ucapkanlah: ‘Ya Allah aku meminta kepadaMu kebaikan angin ini, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya serta kebaikan dari apa yang diperintahkan kepadanya; dan aku berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, dan keburukan dari apa yang dibawanya serta keburukan dari apa yang diperintahkan kepadanya.”(HR Tirmidzi dalam Al-Jami’ no. 2253. Ia berkata; “Hadits ini hasan shohih)
 
Assabbu maknanya adalah mencaci, melaknat, mencela atau yang serupa dengannya. Mencela angin dilarang karena dia adalah makhluk Allah. Dan mencela makhluk berarti mencela pencipta makhluk itu(Allah).
Hadits diatas menujukkan bahwasannya apabila kita melihat sesuatu  yang tidak kita sukai dari angin yang menakutkan maka maka kita kembalikan kepada Robb kita dengan mentauhidkan-Nya. (Fathul Majid, Syaikh Abdurraman bin Hasan  Alus-Syaikh, hal 559).

Terkadang didalam berhembusnya angin terdapat kebaikan dan terkadang pula terdapat keburukan. Yaitu terkadang dia membawa angin kencang yang bisa menumbangkan pepohonan, merobohkan rumah-rumah, dan membawa badai yang bisa menumpahkan air laut. Dan terkadang juga dia membawa angin yang tenang, udara yang sejuk, dan membuat orang lebih bersemangat dalam bekerja. (Al-Qoulul Mufid, Syaikh Muhammad bin Shalih  Al-Utsaimin, 3/140-141)

Kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya yaitu seperti dia menerbangkan awan kemudian menurunkan hujan  sesuai yang dikehendaki oleh  Allah. Adapun keburukan yang diperintahkan kepadanya adalah dia mampu membinasakan suatu kaum sebagaimana disebutkan dalam surat Al- Ahqaf 25:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لا يُرَى إِلا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ

“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa”.

Dia juga bisa menghancurkan tanaman dan jalan, itu semua terjadi adalah mengandung hikmah yang besar.
Perintah disini adalah perintah perintah yang hakiki, semua makhluk tunduk kepad perintah Allah sebagaimana FirmanNya dalam surat Fussilat 11

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ

“Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.

Beberapa faidah yang bias kita petik dari pembahasan adalah :
1. Larangan mecaci angin, larangan disini adalah larangan yang hukumnya haram, karena mencacinya berarti mencaci yang mengutusnya.
2. Dianjurkan untuk mengucapkan perkataan yang bermanfaat apabila seseorang melihat sesuatu yang dibencinya, sebagaimana dianjurkan untuk membaca doa diatas.
3. Dalam hadits diatas juga menunjukkan bahwa angin itu juga diperintah oleh Allah.
4. Bahwa terkadang angin diperintahkan dengan membawa kebaikan dan terkadang diperintahkan dengan membawa keburukan.

Jadi kesimpulannya bahwasannya tidak diperbolehkan bagi manusia menyalahkan takdir Allah, dan mencaciny, dan wajib bagi kita untuk berserah diri kepada takdir kauni-Nya sebagaimana kita berserah diri kepada takdir syar’i-Nya, karena makhluk-makhluk itu tidak melakukan sesuatu kecuali atas perintah Allah.

والله أعلمُ بالـصـواب

Daftar Pustaka
  1. Al Qur-anul Karim
  2. Al-Qoulul Mufid, Syaikh Muhammad bin Sholih  Al-Utsaimin
  3. Fathul Majid, Syaikh Abdurroman bin Hasan  Alus-Syaikh


Posting Komentar