بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan ajaran agama
Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya
mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah
dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang
telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna
Kecil.
Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna
dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu.
Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan
bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma
lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan
bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai
dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih
berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari
kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari
itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan
bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada
dewa-dewa agar roh yg wafat tsb menjalani karma menjadi manusia yang
baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut
diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan)
untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya
diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan
lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan
bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar
permohonannya dikabulkan
Menurut agama Hindu.. Di dalam
prosesi menuju alam nirwana menghadap ida sang hyang widhi wasa mencapai
alam moksa, diperintahkan untuk selamatan/kirim do’a pada 1 harinya, 2
harinya, 7 harinya, 40 harinya, 100 harinya, mendak pisan, mendak
pindho, nyewu (1000 harinya).
Dalam kitab SAMAWEDHA halaman 373
ayat pertama, kurang lebih bunyinya dalam bahasa SANSEKERTA sebagai
berikut: PRATYASMAHI BIBISATHE KUWI KWIWEWIBISHIBAHRA ARAM GAYAMAYA
JENGI PETRISADA DWENENARA.
Kemudian KITAB SAMAWEDHA SAMHITA BUKU
SATU,BAGIAN SATU,HALAMAN 20. Bunyinya : PURWACIKA PRATAKA PRATAKA
PRAMOREDYA RSI BARAWAJAH MEDANTITISUDI PURMURTI TAYURWANTARA MAWAEDA
DEWATA AGNI CANDRA GAYATRI AYATNYA AGNA AYAHI WITHAIGRANO HAMYADITAHI
LILTASTASI BARNESI AGNE.
Di paparkan dengan jelas pada ayat
wedha diatas bahwa lakukanlah pengorbanan pada orang tuamu dan
lakukanlah kirim do’a pada orang tuamu dihari pertama, ke tiga, ke
tujuh, empat puluh, seratus, mendak pisan, mendhak pindho, nyewu(1000
harinya).
Lalu jika kita Baca buku dengan judul ,“NILAI-NILAI
HINDU DALAM BUDAYA JAWA”, karya Prof.Dr. Ida Bedande Adi Suripto (BELIAU
ADALAH DUTA DARI AGAMA HINDU UNTUK NEGARA NEPAL, INDIA, VATIKAN, ROMA,
& BELIAU MENJABAT SEBAGAI SEKRETARIS PARISADA HINDU DHARMA
INDONESIA).
Beliau menyatakan SELAMATAN SURTANAH, GEBLAK, HARI
PERTAMA, KE TIGA, KE TUJUH, KE SERATUS, MENDHAK PISAN, MENDHAK PINDHO,
NYEWU (1000 harinya) ADALAH IBADAH UMAT HINDU dan beliau menyatakan pula
NILAI-NILAI HINDU SANGAT KUAT MEMPENGARUHI BUDAYA JAWA,
ADI SURIPTO DENGAN BANGGA MENYATAKAN UMAT HINDU di Indonesia JUMLAH PENGANUTNYA MINORITAS AKAN TETAPI AJARANNYA BANYAK DI AMALKAN MASYARAKAT , yang maksudnya sejak masih dalam kandungan ibu-pun sebagian masyarakat melakukan ritual TELONAN (selamatan bayi pada hari ke 105 (tiap telon 35 hari x 3 =105 hari sejak hari kelahiran )), TINGKEPAN (selamatan untuk janin berusia 7 bulan).
Adanya budaya yang telah
mengakar sangat kuat ini membuat para ulama sebagai perintis dan
pelopor masuknya islam di nusantara dalam menyiarkan dan mengembangkan
Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha
mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama
bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan
(Wali Songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka
yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan
ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh
Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan
Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu
aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung
oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap
pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang
sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk
Islam. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dikutip dalam sebuah naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium
Leiden, dimana Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih
melestarikan ritual-ritual semisal selamatan kematian,
- Sunan Ampel
berkata : “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk amalan yang tidak ada anjurannya..,"
+ Sunan Kalijogo menjawab : “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan MENGHILANGKAN budaya tahlilan itu”
+ Sunan Kalijogo menjawab : “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan MENGHILANGKAN budaya tahlilan itu”
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi
dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang
lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan
Sunan Muria berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat.
- Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang, dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
- Namun, Sunan Ampel berpandangan lain : “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ?? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah"
- Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (lihat hal 41, 64)
- Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
- Tetapi sebaliknya, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga, justru mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Bahkan sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan, dll..
- Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang, dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
- Namun, Sunan Ampel berpandangan lain : “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ?? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah"
- Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (lihat hal 41, 64)
- Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
- Tetapi sebaliknya, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga, justru mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Bahkan sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan, dll..
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra
Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban memang cukup efektif,
misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik
masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit..
Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga yang sedemikian rupa, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan). Karena : Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press]
Dari sekelumit gambaran sejarah diatas, terlihat jelas bahwa sebenarnya kegiatan atau ritual-ritual bid'ah semisal selamatan, bersaji, sekatenan, ruwatan, tahlilan, dll, semua itu adalah amalan amalan yang tidak ada anjuran dan tuntunannya, para walisongo sendiri yang mengatakan demikian.
Tapi, karena ingin agar Islam bisa lebih mudah diterima masyarakat pada masa itu, ahirnya sebagian para wali (khususnya Sunan Kalijaga) mengambil "kebijakan" lain.
Tentu kita tak bermaksud menyudutkan Sunan Kali Jaga, bahkan beliau sendiri juga yang mengatakan bahwa amalan yang tidak ada tuntunannya tsb suatu saat nanti akan dihilangkan, beliau berkata : “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”
Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga yang sedemikian rupa, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan). Karena : Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press]
Dari sekelumit gambaran sejarah diatas, terlihat jelas bahwa sebenarnya kegiatan atau ritual-ritual bid'ah semisal selamatan, bersaji, sekatenan, ruwatan, tahlilan, dll, semua itu adalah amalan amalan yang tidak ada anjuran dan tuntunannya, para walisongo sendiri yang mengatakan demikian.
Tapi, karena ingin agar Islam bisa lebih mudah diterima masyarakat pada masa itu, ahirnya sebagian para wali (khususnya Sunan Kalijaga) mengambil "kebijakan" lain.
Tentu kita tak bermaksud menyudutkan Sunan Kali Jaga, bahkan beliau sendiri juga yang mengatakan bahwa amalan yang tidak ada tuntunannya tsb suatu saat nanti akan dihilangkan, beliau berkata : “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”
Jelas sekali para wali Songo sendiri, termasuk Sunan Kali Jaga, mereka sendiri lah yang menginginkan agar suatu saat budaya tahlilan ini dihilangkan.
Jadi, jika memang mengaku mencintai para wali, seharusnya saudara kita yang masih memegang erat ritual warisan nenek moyang tsb segera meninggalkannya.
Bahkan Sunan Bonang pernah bernasehat kepada ummat : “Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami-sami nira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.(Lihat Het Book van Mbonang).
Artinya : "Wahai saudaraku ! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah."
Het Book van Mbonang adalah sebuah dokumen yang menjadi sumber tentang
walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan
di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa
kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun
1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910,
dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1930.
Dan perlu dicatat,
bahwa dalam hal ini kita tak bermaksud menjadikan dokumen atau catatan
sejarah tsb sebagai dalil, dalil kita tetaplah Qur'an wa Sunnah alaa
fahmi Salaf, namun fakta sejarah sendiri telah menunjukkan bagaimana
sebenarnya sikap dan pemahaman para wali songo yang justru menginginkan
ritual-ritual bid'ah tsb dihilangkan.
Kemudian pada masa kerajaan
Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama dari
aliran Sunan Giri yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat,
mereka ditangkapi dan dibunuh di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang
ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri
itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk
menyerang Amangkurat I.
Pada masa kerajaan dipegang oleh
Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia menaruh dendam terhadap
Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan
VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri
dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula.
Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang
konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama
yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan
masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang
melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna
dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan
berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis
adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna.
Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H.
Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam
dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah
memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri
berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits,
dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid'ah sehingga umat Islam
hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H.
Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat
Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi
juga menyebarkan pikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam
menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Namun, kemunculan beliau
tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama lainnya, yang ternyata
ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang
beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman
yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang
antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang
terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina,
nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama dari aliran abangan
mendirikan organisasi yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat
NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang
antara lain :
"Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat".
"Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat".
Keputusan ini nampaknya benar-benar
dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan
diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat
itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai
keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai
dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah
tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di
pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada
pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa. Apalagi di negara-negara
lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia
sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian.
Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian
yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara
kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa
orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan
ajaran agama Hindu. Padahal orang-orang Hindu sama sekali tidak mau
melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam
sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan
dan ajaran mereka..??
Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yg sudah jelas terang benderang saja yang
kita kerjakan..??
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar