Sejarah Asal Mula tahlilan / Kenduren

0 komentar
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

JIKA kita membaca kitab agama Hindu, ternyata ada lebih dari 200 dalil tentang kendurian ada DALAM KITAB WEDHA, Yaitu TENTANG SELAMATAN malam ke 1, 3, 7,, 40, 100 hari,nyewu, dll.
Dengan ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.
Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.

Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar roh yg wafat tsb menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan

Menurut agama Hindu.. Di dalam prosesi menuju alam nirwana menghadap ida sang hyang widhi wasa mencapai alam moksa, diperintahkan untuk selamatan/kirim do’a pada 1 harinya, 2 harinya, 7 harinya, 40 harinya, 100 harinya, mendak pisan, mendak pindho, nyewu (1000 harinya).
Dalam kitab SAMAWEDHA halaman 373 ayat pertama, kurang lebih bunyinya dalam bahasa SANSEKERTA sebagai berikut: PRATYASMAHI BIBISATHE KUWI KWIWEWIBISHIBAHRA ARAM GAYAMAYA JENGI PETRISADA DWENENARA.
Kemudian KITAB SAMAWEDHA SAMHITA BUKU SATU,BAGIAN SATU,HALAMAN 20. Bunyinya : PURWACIKA PRATAKA PRATAKA PRAMOREDYA RSI BARAWAJAH MEDANTITISUDI PURMURTI TAYURWANTARA MAWAEDA DEWATA AGNI CANDRA GAYATRI AYATNYA AGNA AYAHI WITHAIGRANO HAMYADITAHI LILTASTASI BARNESI AGNE.

Di paparkan dengan jelas pada ayat wedha diatas bahwa lakukanlah pengorbanan pada orang tuamu dan lakukanlah kirim do’a pada orang tuamu dihari pertama, ke tiga, ke tujuh, empat puluh, seratus, mendak pisan, mendhak pindho, nyewu(1000 harinya).
Lalu jika kita Baca buku dengan judul ,“NILAI-NILAI HINDU DALAM BUDAYA JAWA”, karya Prof.Dr. Ida Bedande Adi Suripto (BELIAU ADALAH DUTA DARI AGAMA HINDU UNTUK NEGARA NEPAL, INDIA, VATIKAN, ROMA, & BELIAU MENJABAT SEBAGAI SEKRETARIS PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA).
Beliau menyatakan SELAMATAN SURTANAH, GEBLAK, HARI PERTAMA, KE TIGA, KE TUJUH, KE SERATUS, MENDHAK PISAN, MENDHAK PINDHO, NYEWU (1000 harinya) ADALAH IBADAH UMAT HINDU dan beliau menyatakan pula NILAI-NILAI HINDU SANGAT KUAT MEMPENGARUHI BUDAYA JAWA,

ADI SURIPTO DENGAN BANGGA MENYATAKAN UMAT HINDU di Indonesia JUMLAH PENGANUTNYA MINORITAS AKAN TETAPI AJARANNYA BANYAK DI AMALKAN MASYARAKAT , yang maksudnya sejak masih dalam kandungan ibu-pun sebagian masyarakat melakukan ritual TELONAN (selamatan bayi pada hari ke 105 (tiap telon 35 hari x 3 =105 hari sejak hari kelahiran )), TINGKEPAN (selamatan untuk janin berusia 7 bulan).

Adanya budaya yang telah mengakar sangat kuat ini membuat para ulama sebagai perintis dan pelopor masuknya islam di nusantara dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.

Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dikutip dalam sebuah naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden, dimana Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan ritual-ritual semisal selamatan kematian, 
- Sunan  Ampel berkata :  “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk amalan yang tidak ada anjurannya..,"
  + Sunan Kalijogo menjawab : “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan MENGHILANGKAN budaya tahlilan itu”
 Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Muria berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat.
- Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang, dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
- Namun, Sunan Ampel berpandangan lain : “Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ?? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah"
- Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (lihat hal 41, 64)
- Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
- Tetapi sebaliknya, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga, justru mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Bahkan sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan, dll..
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu sangat menyenangi wayang kulit..
 Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga yang sedemikian rupa, maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan). Karena : Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).

[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press]
Dari sekelumit gambaran sejarah diatas, terlihat jelas bahwa sebenarnya kegiatan atau ritual-ritual bid'ah semisal selamatan, bersaji, sekatenan, ruwatan, tahlilan, dll, semua itu adalah amalan amalan yang tidak ada anjuran dan tuntunannya, para walisongo sendiri yang mengatakan demikian.

Tapi, karena ingin agar Islam bisa lebih mudah diterima masyarakat pada masa itu, ahirnya sebagian para wali (khususnya Sunan Kalijaga) mengambil "kebijakan" lain.
Tentu kita tak bermaksud menyudutkan Sunan Kali Jaga, bahkan beliau sendiri juga yang mengatakan bahwa amalan yang tidak ada tuntunannya tsb suatu saat nanti akan dihilangkan, beliau berkata : “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”

Jelas sekali para wali Songo sendiri, termasuk Sunan Kali Jaga, mereka sendiri lah yang menginginkan agar suatu saat budaya tahlilan ini dihilangkan.
Jadi, jika memang mengaku mencintai para wali, seharusnya saudara kita yang masih memegang erat ritual warisan nenek moyang tsb segera meninggalkannya.
Bahkan Sunan Bonang pernah bernasehat kepada ummat : “Ee..mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sami-sami nira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.(Lihat Het Book van Mbonang).
Artinya : "Wahai saudaraku ! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah."
 Het Book van Mbonang adalah sebuah dokumen yang menjadi sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1930.
 Dan perlu dicatat, bahwa dalam hal ini kita tak bermaksud menjadikan dokumen atau catatan sejarah tsb sebagai dalil, dalil kita tetaplah Qur'an wa Sunnah alaa fahmi Salaf, namun fakta sejarah sendiri telah menunjukkan bagaimana sebenarnya sikap dan pemahaman para wali songo yang justru menginginkan ritual-ritual bid'ah tsb dihilangkan.
Kemudian pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama dari aliran Sunan Giri yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I.

Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia menaruh dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.

Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid'ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.

Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan pikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Namun, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama lainnya, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama dari aliran abangan mendirikan organisasi yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain :
"Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat".

Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian.

Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan ajaran agama Hindu. Padahal orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka..??
Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yg sudah jelas terang benderang saja yang kita kerjakan..??

والله أعلمُ بالـصـواب


Posting Komentar