Perbedaan Sanad dan Matan dalam Ilmu Hadits

0 komentar


 
Saudaraku yang semogA dimuliakan Allah ....
Sedikit kita membahas tentang apa itu sanad dan matan, yakni perbedaan sanad dan matan dalam Ilmu hadits. Sebenarnya didalam ilmu hadits, yang dapat menguatkan sebuah hadits itu dapat diterima adalah sanad karena sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits.
Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga sedangkan matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.

Makna Thariiq (Sanad) adalah mata rantai (jalur) para periwayat yang menghubungkan matan. Sedangkan Matan adalah ucapan (teks) setelah sanad. Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud (lafaznya diambil dari Abu Daud);
Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, (ia berkata), Hammad menceritakan kepada kami, (ia berkata), dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Janganlah kamu larang para wanita hamba Allah untuk (memasuki) masjid-masjid Allah.”
(Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman hingga Ibn ‘Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu dinamakan ‘matan’.

Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.
Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.
Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullah berkata, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah,maka haditsnya ditolak.’
Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya.
Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata:''Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan"

Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.
Hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam disebut hadits Marfu' atau Maushul.
Maraji' :

-'Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi.
-'Syarah Shahih Bukhari Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
(As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy).



Posting Komentar