Adab-adab Seorang Penuntut Ilmu Terhadap Ulama

0 komentar
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
 
Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak menghormati para Ulama
1.    Menghina ulama akan menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan ulama terdahulu, demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka siapa yang menyebut mereka dengan selain kebaikan maka dia berada di atas kesesatan”
Berkata Al-Imam Ibnul Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan ulama, akan hilang akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang dunianya. Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang kehormatannya”
Dan mencela ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.
2.    Orang yang menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang kepada Allah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari  -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu ‘anhu- :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ   
– …رواه البخاري
Dari Abu Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya… [HR. Al Bukhari]
Dan para ulama, mereka adalah termasuk wali-wali Allah.

3.    Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya untuk terkena do’a dari seorang alim yang terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah seorang Shahabat yang bermana Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiyallohu ‘anhu- dan beliau termasuk salah seorang dari 10 Shahabat yang dijamin dengan Surga
4.    Orang yang mencibir para ulama maka ia akan dijerumuskan kepada apa yang ia tuduhkan kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i –rahimahullah- “Aku mendapati dalam jiwaku keinginan untuk membicarakan aib seseorang; akan tetapi yang mencegahku dari membicarakannya adalah aku khawatir jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”
5.    Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia akan diberikan su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal ini dikarenakan dia suka mencibir Al-Imam An-Nawawi
6.    Daging para ulama itu beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan mati.”
7.    Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk terhalangi dari dapat mengambil faidah dari ilmu para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya gelap, kecuali majelis-majelisnya para ulama.”
8.    Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari medan dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari kalangan harokah (orang-orang pergerakan), mereka memisahkan antara ulama dengan da’i. Mereka menyangka –dengan persangkaan mereka yang bathil- bahwa ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan menyampaikan ilmu, akan tetapi mereka tidak memahami realita (fiqhul waqi’). Sedangkan yang memahami waqi’ adalah para da’i yang terjun langsung ke medan dakwah. Sehingga para ulama itu tidak bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang dijadikan rujukan adalah orang-orang yang mereka anggap sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah- menjelaskan beberapa sebab yang menyebabkan manusia tidak menghormati para ulama. Diantaranya:
1.    Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada kitab tanpa mau duduk di majlis para ulama
Diantara dampak buruk dari otodidak adalah :
  • Orang ini akan mengukur dengan keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan mudahnya dia memandang dirinya sebagai orang alim
  • Orang ini akan kehilangan suri tauladan dalam adab dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang orang yang belajar secara otodidak untuk berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata : “Siapa yang bertafaqquh dari perut-perut kitab, maka ia akan menyia-nyiakan hukum.” Kemudian beliau bersya’ir :
Siapa yang mengambil ilmu langsung dari guru, maka dia akan terhindar dari kesesatan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku, maka ilmunya di sisi para ulama seperti tidak ada
2.    Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum menghasilkan batasan paling rendah dari ilmu dengan alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang memposisikan dirinya sebagai da’i /Ustadz dan dia mengajar ke sana dan ke sini akan tetapi dia tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –radhiyallohu ‘anhu- : Bertafaqquhlah kalian sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –rahimahullah- berkata : Orang yang masih rendah ilmunya dan memposisikan dirinya sebagai ulama maka ia akan terluput dari kebaikan yang sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari orang-orang yang rendah ilmunya akan menjadikan orang-orang awam menyangka bahwa orang itu adalah ulama. Sehingga memalingkan mereka dari ulama yang sesungguhnya.
3.    Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa pintar, maka engkau akan dapati mereka adalah orang-orang yang dangkal ilmunya akan tetapi memposisikan diri mereka seperti ulama, maka mereka itu akan ditimpa oleh penyakit ujub (bangga kepada dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi Sufyan –radhiyallohu ‘anhuma- : Orang yang paling tertipu adalah orang para qari’ (pembaca al-qur’an) akan tetapi ia tidak faham apa yang terkandung di dalamnya. Kemudian dia mengajar anak-anak dan wanita , yang dengan itu dia merasa besar kemudian berani mendebat para ulama.
4.    Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat. Sehingga menganggap setiap orang boleh berbicara tentang agama menurut akal mereka walaupun tanpa ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita lihat dan saksikan pada zaman kita ini. Di mana orang yang paling awam tentang agama berbicara dengan sebebas-bebasnya tentang agama ini, mengatakan seenaknya tentang kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang tahun-tahun yang menipu dan munculnya para ruwaibidhah:
5.    Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak boleh menisbatkan diri kepada seorang syaikh atau sebuah kelompok dan memberikan loyalitas di atasnya.
6.    Tidak adanya ketelitian dalam menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama

Kemudian dibagian akhir beliau menyebutkan beberapa adab yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu terhadap para ulama. Diantaranya :
1.    Ketahuilah bahwa ulama itu seperti bintang, dan salah satu fungsi bintang adalah sebagai penunjuk jalan.
Kita menjadikan ulama sebagai penunjuk jalan kita kepada kebenaran dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika kebenaran telah jelas dihadapan kita maka tidak boleh kita berpaling dari kebenaran itu dengan beralasan pada perkataan siapapun. Karena perkataan ulama yang menyelisihi dalil maka perkataan tersebut tertolak dan tidak dianggap. Meskipun demikian kita tetap menghormati mereka sebagai ulama dan memaklumi kekeliruan mereka.
Dikatakan, bahwa wafatnya para ulama adalah sebuah lubang yang tidak dapat ditambal, ibarat sebuah bintang yang jatuh.
2.    Ulama adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, terkadang benar dan terkadang salah.
Ini adalah madzhab ahlussunnah wal jama’ah, tidak seperti orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa para imam mereka adalah ma’shum.
3.    Menghargai pendapat mereka, dengan tidak mengambil pendapat mereka yang salah atau keliru dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka. Karena kesalahan mereka jika dibandingkan dengan kebaikan yang telah mereka perbuat maka kesalahan itu tidak ada apa-apanya.
4.    Menjaga kehormatan ulama, dengan tidak menyebutkan tentang mereka kecuali dengan kebaikan dan berusaha menutupi aib mereka.

Beberapa faidah dari soal-jawab
1.    Solusi belajar bagi orang yang “kurang cerdas”, jika yang dimaksud adalah
  • Kurang faham atau kurang dapat memahami, maka solusinya adalah dengan bertanya kepada guru atau ustadz.
  • Lemah dalam hafalan, maka berusahalah semampunya untuk menghafal. Jika telah mencapai batas maksimal kemampuannya dan tidak dapat lebih dari itu, maka sesungguhnya Allah tidak membebani kecuali sekadar kemampuan hamba.
2.    Menyikapi perbedaan/perselisihan yang terjadi diantara ulama yang hidup dizaman ini.
Berkata Imam Adz-Dzahabi : “Perselisihan para ulama yang sezaman hendaknya dilipat dan tidak digubris”
Bagi para penuntut ilmu hendaknya mereka menyibukkan diri dengan belajar dan memperkokoh keilmuan mereka. Jangan tersibukkan dengan perselisihan-perselisihan yang sifatnya ijtihadi dan perkara-perkara fitnah.
3.    Cara paling jitu dalam menyikapi media yang menyesatkan, baik media cetak maupun elektronik adalah dengan mengabaikannya, tidak membelinya dan tidak membacanya. Kemudian menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat.
4.    Tentang fanatik kepada “Salaf” maka perlu dirinci
  • Jika yang dimaksud dengan salaf adalah Nabi –shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya –radhiyallohu ‘anhum-, maka fanatik kepada mereka adalah wajib. Karena kebenaran ada pada mereka.
  • Jika yang dimaksud adalah orang yang menisbatkan kepada salaf/salafiy maka ini tidak boleh, karena orang ini bisa jadi benar dan bisa jadi salah.
5.    Cara berguru bagi penuntut ilmu
  • Jika ia termasuk penuntut ilmu pemula, maka hendaknya ia mengambil ilmu dari satu guru agar tidak dibingungkan dengan berbagai pendapat-pendapat
  • Jika ia termasuk orang yang mulai baik keilmuannya maka hendaknya ia belajar dari beberapa guru agar keilmuannya semakin luas dan pandangannya semakin terbuka.
    Karena orang yang hanya berguru kepada seorang guru saja tanpa yang lainnya, maka kemungkinan dia untuk jatuh kedalam fanatisme akan lebih besar.
6.    Termasuk akhlaq yang tercela adalah apabila ada seorang penuntut ilmu yang meng-ghibah gurunya karena kesalahan dari gurunya yang diketahui olehnya.
7.    Seorang disebut sebagai ulama apabila:
  • Menguasai Al-Qur’an
  • Memahami hadits, ilmu-ilmunya dan tatacara istinbath
  • Memahami cara mentarjih
  • Disamping itu ia juga harus menguasai ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu alat lainnya.
Akan tetapi tidak disyaratkan bagi seorang ulama itu harus menghafal alqur’an seluruhnya
8.    Menghilangkan sifat malu yang tidak pada tempatnya, yakni malu dalam menuntut ilmu adalah dengan memperhatikan ucapan salaf, “Tidak akan dapat menuntut ilmu, orang yang pemalu (yang berlebihan malunya) dan orang yang sombong”
Kemudian untuk dapat merasakan manisnya ilmu dan menuntut ilmu adalah dengan mengikhlaskan niat dan dengan menjauhi maksiat.
9.    Rincian mencela ulama yang sesat
  • Ulama sesat tersebut sudah meningal dunia, maka cukup dengan menyebutkan kesesatan-kesesatannya tanpa mencela orangnya. Karena ia akan mendapatkan balasan atas apa yang diperbuatnya di dunia.
  • Ulama sesat tersebut masih hidup. Maka harus ditimbang manfaat dan mafsadatnya, mana yang lebih baik, mencelanya atau mendiamkannya. Tapi yang wajib adalah memperingatkan orang dari kesesatan-kesesatannya agar mereka berhati-hati terhadap orang yang memiliki kesesatan tersebut.
10.    Termasuk adab adalah mengangkat tangan untuk meminta izin keluar dari majelis untuk suatu keperluan.
11.    Syarat meraih kepemimpinan adalah dengan Ilmu yang mendalam dan kesabaran
12.    Pernyataan sebagian orang agar hendaknya kita juga melihat kepada pendapat ulama lain, maka harus dirinci
  • Jika yang dimaksud adalah ulama ahlussunnah yang lain, seperti melihat pendapat-pendapat imam-imam madzhab yang empat, maka ini adalah bagus. Karena hal ini dapat memperkokoh ilmu.
  • Jika yang dimaksud adalah ulama yang menyimpang dari kalangan pengikut hawa nafsu, maka ini sama sekali tidak perlu. Karena ulama ahlussunnah telah mencukupi.

والله أعلمُ بالـصـواب


Posting Komentar