بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak menghormati para Ulama
1. Menghina ulama akan menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam
Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan ulama terdahulu,
demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka siapa
yang menyebut mereka dengan selain kebaikan maka dia berada di atas
kesesatan”
Berkata Al-Imam Ibnul
Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan ulama, akan hilang
akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang
dunianya. Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang
kehormatannya”
Dan mencela ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.
2. Orang yang menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang kepada Allah.
Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu ‘anhu- :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ– …رواه البخاريDari Abu Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya… [HR. Al Bukhari]
Dan para ulama, mereka adalah termasuk wali-wali Allah.
3. Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya untuk terkena do’a dari seorang alim yang terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah seorang
Shahabat yang bermana Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiyallohu ‘anhu- dan
beliau termasuk salah seorang dari 10 Shahabat yang dijamin dengan
Surga
4. Orang yang mencibir para ulama maka ia akan dijerumuskan kepada apa yang ia tuduhkan kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i –rahimahullah-
“Aku mendapati dalam jiwaku keinginan untuk membicarakan aib seseorang;
akan tetapi yang mencegahku dari membicarakannya adalah aku khawatir
jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”
5. Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia akan diberikan su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal
dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal ini dikarenakan dia suka
mencibir Al-Imam An-Nawawi
6. Daging para ulama itu beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal
–rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya
maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan mati.”
7. Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk terhalangi dari dapat mengambil faidah dari ilmu para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya gelap, kecuali majelis-majelisnya para ulama.”
8. Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari medan dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari kalangan
harokah (orang-orang pergerakan), mereka memisahkan antara ulama dengan
da’i. Mereka menyangka –dengan persangkaan mereka yang bathil- bahwa
ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan menyampaikan ilmu, akan tetapi
mereka tidak memahami realita (fiqhul waqi’). Sedangkan yang memahami
waqi’ adalah para da’i yang terjun langsung ke medan dakwah. Sehingga
para ulama itu tidak bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang dijadikan rujukan adalah
orang-orang yang mereka anggap sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah- menjelaskan beberapa sebab yang menyebabkan manusia tidak menghormati para ulama. Diantaranya:
1. Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada kitab tanpa mau duduk di majlis para ulama
Diantara dampak buruk dari otodidak adalah :
- Orang ini akan mengukur dengan keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan mudahnya dia memandang dirinya sebagai orang alim
- Orang ini akan kehilangan suri tauladan dalam adab dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang orang yang belajar secara otodidak untuk berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata
: “Siapa yang bertafaqquh dari perut-perut kitab, maka ia akan
menyia-nyiakan hukum.” Kemudian beliau bersya’ir :
Siapa yang mengambil ilmu langsung dari guru, maka dia akan terhindar dari kesesatan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku, maka ilmunya di sisi para ulama seperti tidak ada
2. Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum menghasilkan batasan paling rendah dari ilmu dengan alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang
memposisikan dirinya sebagai da’i /Ustadz dan dia mengajar ke sana dan
ke sini akan tetapi dia tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –radhiyallohu ‘anhu- : Bertafaqquhlah kalian sebelum kalian diangkat menjadi pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –rahimahullah- berkata :
Orang yang masih rendah ilmunya dan memposisikan dirinya sebagai ulama
maka ia akan terluput dari kebaikan yang sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari orang-orang yang
rendah ilmunya akan menjadikan orang-orang awam menyangka bahwa orang
itu adalah ulama. Sehingga memalingkan mereka dari ulama yang
sesungguhnya.
3. Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa pintar,
maka engkau akan dapati mereka adalah orang-orang yang dangkal ilmunya
akan tetapi memposisikan diri mereka seperti ulama, maka mereka itu akan
ditimpa oleh penyakit ujub (bangga kepada dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi Sufyan
–radhiyallohu ‘anhuma- : Orang yang paling tertipu adalah orang para
qari’ (pembaca al-qur’an) akan tetapi ia tidak faham apa yang terkandung
di dalamnya. Kemudian dia mengajar anak-anak dan wanita , yang dengan
itu dia merasa besar kemudian berani mendebat para ulama.
4. Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat. Sehingga
menganggap setiap orang boleh berbicara tentang agama menurut akal
mereka walaupun tanpa ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita lihat dan
saksikan pada zaman kita ini. Di mana orang yang paling awam tentang
agama berbicara dengan sebebas-bebasnya tentang agama ini, mengatakan
seenaknya tentang kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang tahun-tahun yang menipu dan munculnya para ruwaibidhah:
5. Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak boleh
menisbatkan diri kepada seorang syaikh atau sebuah kelompok dan
memberikan loyalitas di atasnya.
6. Tidak adanya ketelitian dalam menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama
Kemudian dibagian akhir beliau menyebutkan beberapa adab yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu terhadap para ulama. Diantaranya :
1. Ketahuilah bahwa ulama itu seperti bintang, dan salah satu fungsi bintang adalah sebagai penunjuk jalan.
Kita menjadikan ulama sebagai penunjuk
jalan kita kepada kebenaran dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika
kebenaran telah jelas dihadapan kita maka tidak boleh kita berpaling
dari kebenaran itu dengan beralasan pada perkataan siapapun. Karena
perkataan ulama yang menyelisihi dalil maka perkataan tersebut tertolak
dan tidak dianggap. Meskipun demikian kita tetap menghormati mereka
sebagai ulama dan memaklumi kekeliruan mereka.
Dikatakan, bahwa wafatnya para ulama adalah sebuah lubang yang tidak dapat ditambal, ibarat sebuah bintang yang jatuh.
2. Ulama adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, terkadang benar dan terkadang salah.
Ini adalah madzhab ahlussunnah wal
jama’ah, tidak seperti orang-orang syi’ah yang mengatakan bahwa para
imam mereka adalah ma’shum.
3. Menghargai pendapat mereka, dengan tidak mengambil pendapat
mereka yang salah atau keliru dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada
mereka. Karena kesalahan mereka jika dibandingkan dengan kebaikan yang
telah mereka perbuat maka kesalahan itu tidak ada apa-apanya.
4. Menjaga kehormatan ulama, dengan tidak menyebutkan tentang
mereka kecuali dengan kebaikan dan berusaha menutupi aib mereka.
Beberapa faidah dari soal-jawab
1. Solusi belajar bagi orang yang “kurang cerdas”, jika yang dimaksud adalah
- Kurang faham atau kurang dapat memahami, maka solusinya adalah dengan bertanya kepada guru atau ustadz.
- Lemah dalam hafalan, maka berusahalah semampunya untuk menghafal. Jika telah mencapai batas maksimal kemampuannya dan tidak dapat lebih dari itu, maka sesungguhnya Allah tidak membebani kecuali sekadar kemampuan hamba.
2. Menyikapi perbedaan/perselisihan yang terjadi diantara ulama yang hidup dizaman ini.
Berkata Imam Adz-Dzahabi : “Perselisihan para ulama yang sezaman hendaknya dilipat dan tidak digubris”
Bagi para penuntut ilmu hendaknya mereka
menyibukkan diri dengan belajar dan memperkokoh keilmuan mereka. Jangan
tersibukkan dengan perselisihan-perselisihan yang sifatnya ijtihadi dan
perkara-perkara fitnah.
3. Cara paling jitu dalam menyikapi media yang menyesatkan, baik
media cetak maupun elektronik adalah dengan mengabaikannya, tidak
membelinya dan tidak membacanya. Kemudian menyibukkan diri dengan ilmu
yang bermanfaat.
4. Tentang fanatik kepada “Salaf” maka perlu dirinci
- Jika yang dimaksud dengan salaf adalah Nabi –shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya –radhiyallohu ‘anhum-, maka fanatik kepada mereka adalah wajib. Karena kebenaran ada pada mereka.
- Jika yang dimaksud adalah orang yang menisbatkan kepada salaf/salafiy maka ini tidak boleh, karena orang ini bisa jadi benar dan bisa jadi salah.
5. Cara berguru bagi penuntut ilmu
- Jika ia termasuk penuntut ilmu pemula, maka hendaknya ia mengambil ilmu dari satu guru agar tidak dibingungkan dengan berbagai pendapat-pendapat
- Jika ia termasuk orang yang mulai baik keilmuannya maka hendaknya ia
belajar dari beberapa guru agar keilmuannya semakin luas dan
pandangannya semakin terbuka.
Karena orang yang hanya berguru kepada seorang guru saja tanpa yang lainnya, maka kemungkinan dia untuk jatuh kedalam fanatisme akan lebih besar.
6. Termasuk akhlaq yang tercela adalah apabila ada seorang
penuntut ilmu yang meng-ghibah gurunya karena kesalahan dari gurunya
yang diketahui olehnya.
7. Seorang disebut sebagai ulama apabila:
- Menguasai Al-Qur’an
- Memahami hadits, ilmu-ilmunya dan tatacara istinbath
- Memahami cara mentarjih
- Disamping itu ia juga harus menguasai ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu alat lainnya.
Akan tetapi tidak disyaratkan bagi seorang ulama itu harus menghafal alqur’an seluruhnya
8. Menghilangkan sifat malu yang tidak pada tempatnya, yakni malu
dalam menuntut ilmu adalah dengan memperhatikan ucapan salaf, “Tidak
akan dapat menuntut ilmu, orang yang pemalu (yang berlebihan malunya)
dan orang yang sombong”
Kemudian untuk dapat merasakan manisnya ilmu dan menuntut ilmu adalah dengan mengikhlaskan niat dan dengan menjauhi maksiat.
9. Rincian mencela ulama yang sesat
- Ulama sesat tersebut sudah meningal dunia, maka cukup dengan menyebutkan kesesatan-kesesatannya tanpa mencela orangnya. Karena ia akan mendapatkan balasan atas apa yang diperbuatnya di dunia.
- Ulama sesat tersebut masih hidup. Maka harus ditimbang manfaat dan mafsadatnya, mana yang lebih baik, mencelanya atau mendiamkannya. Tapi yang wajib adalah memperingatkan orang dari kesesatan-kesesatannya agar mereka berhati-hati terhadap orang yang memiliki kesesatan tersebut.
10. Termasuk adab adalah mengangkat tangan untuk meminta izin keluar dari majelis untuk suatu keperluan.
11. Syarat meraih kepemimpinan adalah dengan Ilmu yang mendalam dan kesabaran
12. Pernyataan sebagian orang agar hendaknya kita juga melihat kepada pendapat ulama lain, maka harus dirinci
- Jika yang dimaksud adalah ulama ahlussunnah yang lain, seperti melihat pendapat-pendapat imam-imam madzhab yang empat, maka ini adalah bagus. Karena hal ini dapat memperkokoh ilmu.
- Jika yang dimaksud adalah ulama yang menyimpang dari kalangan pengikut hawa nafsu, maka ini sama sekali tidak perlu. Karena ulama ahlussunnah telah mencukupi.
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar