para imam tersebut tidak pernah
berharap agar madzhabnya disikapi sebagaimana syariah yang maksum dari
kesalahan. Demikian pula, mereka sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa
orang lain agar mengikuti pendapatnya. Bahkan mereka menolak ketika ada orang
lain yang mengambil pendapatnya, tanpa mengetahui dalil yang menjadi dasar
mereka.
Berikut diantara wasiat mereka,
Imam Abu Hanifah mengatakan,
إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه و سلم فاتركوا قولي
“Jika saya menyampaikan pendapat yang bertentangan denagn Al-Quran dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Iqadzul Himam al-Fallani, hlm. 50, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 48).
Imam Malik pernah berpesan:
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه و سلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه و سلم
Siapapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pendapatnya layak diambil atau ditolak. Kecuali keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Jami’ Ibnu Abdil Bar, 2:91, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 49).
Imam asy-Syafii mangatakan,
كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه و سلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فلا تقلدوني
Semua pendapatku, namun keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan pendapatku maka hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak diikuti dan janganlah taqlid kepadaku. (Riwayat Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 52)
Imam Ahmad berpesan,
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
“Janganlah kalian taqlid kepada aku, jangan pula taqlid kepada Malik, As-Syafii, Al-Auzai, At-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.” (I’lam al-Muwaqi’in, 2:201).
“Janganlah kalian taqlid kepada aku, jangan pula taqlid kepada Malik, As-Syafii, Al-Auzai, At-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.” (I’lam al-Muwaqi’in, 2:201).
Kita bisa memastikan, bagaimana semangat mereka dalam mengajarkan kebaikan kepada umat. Sama sekali bukan dalam rangka membangun kelompok baru, bukan pula menciptakan perbedaan di kalangan umat.
Perkataan Berharga dari
Imam Madzhab
Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu
Yusuf berkata,
لاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ أَنْ يَقُوْلَ
بِقَوْلِنَا حَتَّى يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ
“Tidak boleh bagi seorang pun
mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil
perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan
Hadits Nabawi, pen).”[5]
Imam Malik berkata,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ
وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوا فِي قَوْلِي فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ
فَخُذُوْا بِهِ وَمَا لَمْ يُوَافِقْ االكِتَابَ وَالسُّنَّةّ فَاتْرُكُوْهُ
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia
yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al
Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al
Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[6]
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy
Syafi’i berkata,
إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ
مَذْهَبِي
“Jika hadits itu shahih, itulah
pendapatku.”[7]
Imam Asy Syafi’i berkata,
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا
بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ
فَهِيَ قَوْلِي
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah
pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan,
maka itulah pendapatku.”[8]
Imam Ahmad berkata,
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[9]
Posting Komentar