Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Alhamdulillah, ziarah kubur memang ada
yang bersifat syar’i, ada yang bersifat bid’ah, dan ada yang bersifat
syirik. Namun pada umumnya, ziarah kubur banyak mengandung bid’ah,
bahkan kesyirikan, terkhusus ziarah kubur tertentu yang diklaim sebagai
wali-wali Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka dari itu, seorang muslim wajib
mengetahui syariat Islam dalam masalah ziarah kubur agar beramal dengan
benar dan terjaga dari kebid’ahan serta kesyirikan.
Menilik sejarah Islam, di awal mula datangnya Islam, ziarah kubur dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai keislaman dan keimanan kaum mukiminin benar-benar kokoh lantas kemudian disyariatkan.
Buraidah bin al-Hushaib radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur, maka ziarahlah (sekarang).” (HR. Muslim)
Pada riwayat at-Nasa’i dengan lafadz,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُورَ فَلْيَزُرْ وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur. (Sekarang) barang siapa ingin ziarah kubur, hendaknya melakukannya dan jangan mengucapkan ucapan yang batil.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz hlm. 227)
An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitab al-Majmu’ (5/285),
“Mulanya kaum mukminin dilarang ziarah kubur karena masa keislaman
mereka masih dekat dengan masa jahiliah, sehingga terkadang mereka
mengucapkan ucapan jahiliah yang batil.
Ketika telah kokoh kaidah-kaidah Islam
dan telah terbentang hukum-hukumnya serta telah masyhur
lambang-lambangnya, saat itulah diizinkan dilakukan ziarah kubur. Namun,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhati-hati dengan bersabda, ‘Dan jangan mengucapkan ucapan yang batil’.”
Keterangan an-Nawawi rahimahullah ini dinukil dan dibenarkan oleh al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz (hlm. 227).
Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan dalam asy-Syarh al-Mumti’ (5/379), “Pada awalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang ziarah kubur, karena kaum muslimin baru saja lepas dari
kekufuran dan kesyirikan, sehingga beliau khawatir ziarah kubur akan
menjadi wasilah (sarana) terjadinya kesyirikan. Oleh karena itu, tatkala keimanan telah mengakar dalam kalbu-kalbu kaum muslimin, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ziarah kubur.”
Menurut pendapat yang rajih (kuat), ziarah kubur disunnahkan bagi kaum lelaki dan wanita, tetapi bagi kaum wanita tidak boleh sering melakukannya.
Ziarah Kubur yang Bersifat Syar’i
Ziarah kubur yang syar’i ialah ziarah kubur yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnahnya yang suci nan mulia.
Sifat-sifatnya adalah:
- Tujuan ziarah kubur.
Ziarah kubur disyariatkan dengan dua tujuan, yaitu:
- Untuk memberi manfaat dan kebaikan kepada jenazah muslim yang diziarahi dengan mengucapkan salam, mendoakannya, dan beristighfar (memohon ampunan Allah subhanahu wa ta’ala) untuknya. Telah datang hadits-hadits sahih yang mengajarkan hal ini. Di antaranya hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu,
كَانَ رَسُولُ اللهِ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى الْمَقَابِرِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ، أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari mereka apabila keluar ziarah ke perkuburan (agar membaca), ‘Semoga keselamatan tercurah atas kalian wahai para penghuni kuburan dari kalangan kaum mukminin dan muslimin, sesungguhnya kami akan menyusul kalian, insya Allah, aku memohon keselamatan buat kami dan kalian’.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
كَانَ رَسُولُ اللهِ كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ يَخْرُجُ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيعِ، فَيَقُولُ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ، وَأَتَاكُمْ مَا تُوعَدُونَ، غَدًا مُؤَجَّلُونَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيعِ الْغَرْقَدِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali di malam giliran ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, biasa keluar di akhir malam ke perkuburan Baqi’, kemudian membaca, ‘Semoga keselamatan tercurah atas kalian, wahai para penghuni kuburan kaum mukminin. Telah datang kepada kalian apa yang dijanjikan buat kalian. Kalian ditunda sampai esok di akhirat (pemberian pahala kalian secara sempurna). Sesungguhnya kami akan menyusul kalian, insya Allah. Ya Allah, ampunilah para penghuni perkuburan Baqi’ al-Gharqad’.” (HR. Muslim)
- Untuk mengingat kematian dan orang-orang yang telah mati bahwasanya mereka akan masuk jannah (surga) atau masuk neraka, agar menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya menyambut kematian dengan amal-amal saleh. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
زَارَ النَّبِيُّ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kuburan ibunya lantas beliau menangis dan membuat menangis orang-orang di sekelilingnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku minta izin kepada Rabbku untuk memohonkan ampunan buat ibuku, tetapi tidak diizinkan. Aku meminta izin pula untuk menziarahi kuburannya, dan aku diizinkan. Oleh karena itu, ziarahlah kalian ke kuburan, sebab kuburan-kuburan itu akan mengingatkan kematian.” (HR. Muslim)
- Klasifikasi ziarah kubur yang syar’i.
Ziarah kubur yang syar’i ada dua macam:
- Ziarah perkuburan kaum mukminin secara umum
Hal ini seperti yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu dan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha di atas, pada sifat yang pertama.
Caranya adalah mendatangi perkuburan
lantas berdiri di depan perkuburan, kemudian mengucapkan salam kepada
mereka dan berdoa untuk kebaikan mereka sebagaimana yang diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ziarah khusus ke kuburan tertentu,
seperti yang ditunjukkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas, pada sifat yang pertama.
Hanya saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak diizinkan berdoa dan beristighfar untuk ibunya karena ia
meninggal dalam keadaan kafir. Caranya adalah mendatangi kuburan yang
dituju lantas berdiri atau duduk di sisi kuburan bagian kepalanya dengan
menghadap ke kuburan, kemudian mengucapkan salam dan berdoa untuknya,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
“Ya Allah, ampuni dan rahmati dia, beri dia keselamatan dan maafkan dia.”Peziarah mendoakan untuk yang dikubur doa apa saja yang diinginkan, kemudian meninggalkan kuburan itu.[1]
- Waktu ziarah kubur.
Ziarah kubur disyariatkan dilakukan setiap saat tanpa ada pembatasan waktu tertentu. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya secara mutlak tanpa pembatasan waktu tertentu.
Dengan demikian, tidak boleh
mengkhususkan waktu tertentu untuk melakukan ziarah kubur. Penentuan
waktu khusus dalam melakukan ziarah kubur tergolong bid’ah yang tercela.
Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kitab Majmu’ Fatawa war Rasa’il (17/288),
“Ziarah kubur tidak terbatas hanya di waktu-waktu tertentu, tetapi
disunnahkan dilakukan kapan saja dari hari-hari yang ada dalam sepekan,
siang atau malam.”
Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah mengatakan dalam kitab Majmu’ al-Fatawa
(13/336), “Yang disyariatkan adalah ziarah kubur kapan saja ada
kesempatan, baik siang hari atau malam hari. Adapun pengkhususan waktu
tertentu untuk ziarah kubur, hal itu tergolong bid’ah yang tidak ada
dasarnya.”
Di antara kebid’ahan yang terjadi dalam
hal ini adalah pengkhususan ziarah kubur di hari Jum’at, sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Baz. Begitu pula, pengkhususan ziarah kubur di Hari
Raya (hari ‘Id), sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Baz dan Ibnu
‘Utsaimin.[2]
Al-‘Utsaimin juga berkata dalam kitab Syarhu Riyadh ash-Shalihin,
Bab “Istihbab Ziyarah al-Qubur”, “Intinya, semestinya seseorang
melakukan ziarah kubur setiap saat, di malam dan siang hari, di pagi dan
sore hari, di hari Jum’at dan hari lainnya, tidak ada waktu khusus.
Setiap kali kalbumu lalai dan jiwamu
larut dengan kehidupan dunia, ziarahlah ke kuburan dan renungkanlah
nasib mereka yang telah mati itu. Kemarin mereka seperti kalian, masih
makan, minum, dan bersenang-senang di muka bumi. Sekarang, ke mana
mereka pergi? Mereka tergadaikan dengan amalan-amalan mereka.
Tidak ada yang bermanfaat buat mereka selain amalan-amalan yang telah mereka persembahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Ada tiga yang mengiringi mayat (ke kuburan), dua di antaranya akan kembali dan hanya satu yang akan tinggal bersamanya. Yang mengiringinya adalah keluarga, harta, dan amalannya. Keluarga dan hartanya akan kembali, hanya amalannya yang akan tinggal bersamanya.”[3]
Maka dari itu, renungkan nasib
orang-orang mati itu, kemudian ucapkan salam atas mereka, kemudian
doakan mereka sebagaimana yang telah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kamu tidak mengetahui doa yang diajarkan tersebut, berdoa saja dengan apa yang mudah bagimu.”
- Jenis kuburan yang diziarahi.
Syariat ziarah kubur bersifat umum
meliputi seluruh kuburan kaum muslimin. Tidak ada pengkhususan terhadap
kuburan tertentu yang diistilahkan sebagai kuburan wali.
Al-Imam Ibnu Baz menerangkan dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (7/422),
“Wajib bagi kaum muslimin mengikat diri dengan syariat yang suci dan
waspada dari bid’ah dalam hal ziarah kubur dan selainnya. Ziarah kubur
disyariatkan terhadap seluruh kuburan kaum muslimin, baik yang dinamakan
sebagai wali maupun tidak. Sebenarnya, setiap orang beriman, pria atau
wanita, adalah wali Allah subhanahu wa ta’ala.”
Bahkan, boleh ziarah kuburan orang kafir dengan tujuan untuk mengambil pelajaran (‘ibrah), yaitu mengingat kematian. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ziarah kuburan ibunya yang kafir. Namun, tidak boleh mengucapkan salam dan mendoakannya.[4]
- Lokasi kuburan yang diziarahi.
Ziarah kubur disyariatkan terhadap
kuburan yang berlokasi di daerah setempat tanpa memerlukan safar. Tidak
boleh dilakukan safar secara khusus untuk ziarah kubur. Sebab, safar
untuk ziarah kubur adalah bid’ah tercela yang tidak pernah diamalkan
oleh kaum salaf.
Terdapat larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Tidaklah diikat
(dipasang) pelana-pelana unta itu untuk safar (kunjungan ibadah) selain
menuju tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan
Masjidil Aqsha.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Makna hadits ini adalah tidak
diperbolehkan melakukan safar menuju masjid mana pun atau tempat mana
pun yang diyakini memiliki keistimewaan (keutamaan) dengan tujuan
melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala padanya, selain tiga masjid ini.[5]
Makna hadits ini umum meliputi tempat permakaman (kuburan) siapa pun, termasuk makam Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun.
Hanya saja, saat seseorang berkunjung ke
Madinah dengan niat mengunjungi Masjid Nabawi karena keutamaannya,
lantas dia manfaatkan pula untuk ziarah kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua sahabat terdekatnya (kuburan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu dan ‘Umar radhiallahu ‘anhu), perkuburan Baqi’, perkuburan syuhada’ Uhud, dan Masjid Quba.
Artinya, tujuan inti yang diniatkan
adalah ziarah (mengunjungi) Masjid Nabawi, sedangkan ziarah ke Masjid
Quba dan kuburan-kuburan tersebut mengikut secara hukum lantaran sedang
berada di tempat itu.
Ini pendapat terkuat dalam masalah ini
yang telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu
Baz, Ibnu ‘Utsaimin, al-Albani, dan Muqbil al-Wadi’i.[6]
Dengan demikian, jika kuburan kerabat
terdekat kita, seperti ayah dan ibu, berada di tempat lain yang
membutuhkan safar, tidak boleh safar untuk menziarahinya. Cukup dengan
mendoakannya dari jauh, dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala Mahadekat lagi Maha Mengabulkan doa. Demikian fatwa Ibnu ‘Utsaimin.[7]
Ziarah Kubur yang Bersifat Bid’ah & Menjadi Wasilah/Sarana Kesyirikan
Ini adalah ziarah kubur dengan tujuan
untuk beribadah di sisi kuburan, seperti membaca al-Qur’an, berdoa
kepada Allah, shalat, menyembelih di sisi kuburan, atau semisalnya.
Tidaklah hal itu dilakukan kecuali karena adanya keyakinan bahwa
beribadah di tempat itu punya keutamaan.
Ini adalah wasilah/sarana yang akan menyeret kepada penyembahan terhadap penghuni kuburan itu, yang merupakan syirik besar.
Ziarah Kubur yang Bersifat Syirik Besar yang Membatalkan Keislaman
Yaitu ziarah kubur dengan tujuan untuk menyembahnya, seperti mengusap kuburan untuk mencari barakah dari penghuninya, dengan
berdoa meminta sesuatu kepada penghuni kubur, memohon kelapangan
rezeki, memohon pertolongan agar diselamatkan dari marabahaya yang
mengancam, memohon kemenangan atas musuh, menyembelih untuk penghuni
kubur, bernazar untuk penghuni kubur, mendekatkan diri kepada penghuni
kubur, atau semisalnya.
Ini semisal dengan amalan kaum musyrik di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Lata, ‘Uzza, dan Manat, serta berhala-berhala lainnya yang dipertuhankan selain Allah subhanahu wa ta’ala dan disembah untuk mendekatkan diri kepadanya selain Allah subhanahu wa ta’ala.[8]
Ibnu Baz rahimahullah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (13/291—292), “Haram atas seseorang mencari barakah dari orang mati atau kuburannya, berdoa kepadanya selain Allah subhanahu wa ta’ala, memohon kepadanya agar dipenuhi kebutuhannya, minta kepadanya kesembuhan bagi yang sakit, atau semacamnya.
Sebab, ibadah adalah murni hak Allah subhanahu wa ta’ala saja, sedangkan meminta barakah termasuk salah satu ibadah. Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang memberi barakah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
تَبَارَكَ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا ١
“Mahaagung lagi Mahabarakah Dia yang telah menurunkan atas hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta.” (al-Furqan: 1)
تَبَٰرَكَ ٱلَّذِي بِيَدِهِ ٱلۡمُلۡكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ١
“Mahaagung lagi Mahabarakah Dia yang di Tangannya seluruh kekuasaan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Mulk: 1)
Maknanya, Allah subhanahu wa ta’ala mencapai puncak keagungan dan keberkahan. Adapun hamba Allah subhanahu wa ta’ala, dia berbarakah jika Allah subhanahu wa ta’ala menunjukinya, memberinya kesalehan, dan menjadikannya bermanfaat kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang hamba dan rasul-Nya, Nabi ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam,
قَالَ إِنِّي عَبۡدُ ٱللَّهِ ءَاتَىٰنِيَ ٱلۡكِتَٰبَ وَجَعَلَنِي نَبِيّٗا ٣٠ وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ وَأَوۡصَٰنِي بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمۡتُ حَيّٗا ٣١
“Nabi ‘Isa
berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah hamba Allah yang diberi kitab oleh-Nya
dan Dia menjadikanku sebagai nabi. Dia menjadikanku berbarakah di mana
saja aku berada’.” (Maryam: 30—31)
Demikian Ibnu Baz menerangkan masalah ini. Hal ini semakin jelas dengan hadits Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِكُفْرٍ وَكَانُوْا أَسْلَمُوْا يَوْمَ الْفَتْحِ، فَمَرَرْنَا بِشَجَرَةٍ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ وَكَانَ لِلْكُفَّارِ سِدْرَةٌ يَعْكُفُوْنَ حَوْلَهَا وَيُعَلِّقُوْنِ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يَدْعُوْنَهَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ. فَلَمَّا قُلْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ) وَفِيْ رِوَايَةِ التِّرْمِذِيِّ: سُبْحَانَ اللهِ (وَقُلْتُمْ وَالذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى} : ٱجۡعَل لَّنَآ إِلَٰهٗا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةٞۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمٞ تَجۡهَلُونَ { لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ.
Kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain sedangkan kami baru saja masuk Islam—mereka masuk Islam pada Fathu Makkah. Kemudian kami melewati sebuah pohon, lantas berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka punya Dzatu Anwath!”
Adalah orang
kafir memiliki pohon bidara yang mereka berdiam di sekelilingnya dan
menggantungkan senjata-senajata mereka padanya. Mereka menyebutnya Dzatu
Anwath.
Tatkala kami mengatakan demikian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Allah Mahabesar (pada riwayat at-Tirmidzi: Mahasuci
Allah), kalian telah mengatakan—Demi Dzat yang jiwaku berada di
Tangan-Nya—sebagaimana kata Bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Buatkan untuk
kami Tuhan sebagaimana mereka punya tuhan-tuhan. Musa menjawab,
‘Sesungguhnya kalian kaum yang jahil.’ (al-A’raf: 138)
Sungguh, kalian akan menempuh jalan umat-umat sebelum kalian.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah—dan lafadz ini adalah riwayatnya—dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Zhilal al-Jannah no. 76)
Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan mengatakan dalam kitab I’anah al-Mustafid Syarh Kitab at-Tauhid (1/216),
“Dengan demikian, barang siapa mencari barakah dari sebuah batu, pohon,
atau kuburan, berarti dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang
disembah Allah subhanahu wa ta’ala, meskipun pelakunya beranggapan itu bukan tuhan.
Istilah yang dibuat tidak bisa mengubah
hakikat sebenarnya. Jika suatu perbuatan syirik diberi istilah tawasul,
cinta orang saleh, menunaikan hak orang saleh, kami katakan bahwa
istilah-istilah itu tidak bisa mengubah hakikat yang sebenarnya.”
Wallahul muwaffiq ila sawa’is sabil. Wallahu a’lam.
[1] Lihat kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/288—289) dan Majmu’ Fatawa Ibni Baz (13/339).
[2] Lihat kitab Majmu’Fatawa Ibni Baz (13/336, 337) dan Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/287).
[3] Muttafaq ‘alaih dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.
[4] Lihat kitab Syarhu Muslim li an-Nawawi (7/Kitab al-Jana’iz, bab “Isti’dzan an-Nabiyyi shallallahu ‘alaihi wa sallam”), Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim (hlm. 454), Ahkam al-Jana’iz (hlm. 2237—239), dan Majmu’ Fatawa Ibni Baz (13/298 & 337).
[5] Lihat pada kitab FathulBari (Kitab al-Jum’ah pada bab “Fadhl ash-Shalah fi Masjid Makkah wal Madinah”) dan Fath Dzil Jalali wal Ikram (pada syarah hadits ini).
[6] Lihat kitab Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim (hlm. 455—457) dengan ta’liq al-‘Utsaimin, Ahkam al-Jana’iz (hlm. 285—293), Manasik al-Hajj wal ‘Umrah li al-Albani (hlm. 56), Majmu’ Fatawa Ibni Baz (13/327), Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/293—294), al-Manhaj li Murid al-‘Umrah wal Hajj li Ibni ‘Utsaimin (hlm. 31—34), dan Ijabatus Sa’il (hlm. 145).
[7] Lihat kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/290).
[8] Lihat keterangan tentang ziarah bid’ah dan ziarah syirik tersebut dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (13/287—288, 301) dan Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin (17/291).
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar