بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Apa hukum tawassul kepada penghulu para Nabi (Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam); adakah dalil-dalil yang mengharamkannya?
Jawaban:
Mengenai hukum tawassul kepada Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam (menjadikan beliau sebagai perantara-penj.) harus dirinci dulu;
Bila
hal itu dilakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai, taat
terhadap perintah dan meninggalkan larangan-larangan beliau serta ikhlas
semata karena Allah di dalam beribadah, maka inilah yang disyariatkan
oleh Islam dan merupakan dien Allah yang dengannya para Nabi diutus, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani dengan syariat-penj.) serta merupakan sarana dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sedangkan ber-tawassul dengan cara meminta kepada beliau, ber-istighatsah kepadanya, memohon pertolongan kepadanya untuk mengatasi musuh-musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, maka ini adalah syirik yang paling besar. Ini adalah dien
Abu Jahal dan konco-konconya semisal kaum paganis (penyembah berhala).
Demikian pula, bila dilakukan kepada selain beliau seperti kepada para
Nabi, wali, jin, malaikat, pepohonan, bebatuan ataupun berhala-berhala.
Di samping itu, ada jenis lain dari tawassul yang dilakukan banyak orang, yaitu tawassul melalui jah
(kedudukan) beliau, hak atau sosok beliau, seperti ucapan seseorang,
“Aku memohon kepada-Mu, Ya Allah, melalui Nabi-Mu, atau melalui jah Nabi-Mu, hak Nabi-Mu, atau jah para Nabi, atau hak para Nabi, atau jah para wali dan orang-orang shalih”, dan semisalnya, maka ini semua adalah perbuatan bid’ah
dan merupakan salah satu dari sarana kesyirikan. Tidak boleh melakukan
hal ini terhadap beliau ataupun terhadap selain beliau karena Allah subhanahu wata’ala tidak pernah mensyariatkan hal itu sementara masalah ibadah bersifat tawqifiyyah
(bersumber kepada dalil-penj.) sehingga tidak boleh melakukan salah
satu darinya kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dari
syariat yang suci ini.
Sedangkan tawassul
yang telah dilakukan oleh seorang sahabat yang buta kepada beliau
semasa hidupnya, maka yang sebenarnya dilakukannya adalah ber-tawassul kepada beliau agar berdoa untuknya dan memohon syafaat kepada Allah sehingga penglihatannya normal kembali. Jadi, bukan tawassul dengan (melalui) sosok, jah
(kedudukan) atau hak beliau. Hal ini secara gamblang dapat diketahui
melalui jalur cerita dari hadits[1] (tentang itu) dan melalui penjelasan
yang diberikan oleh para ulama as-Sunnah ketika menjelaskan hadits tersebut. Syaikhul Islam, Abu al-Abbas, Ibnu Taimiyah rohimahullah
telah memaparkan secara panjang lebar mengenai hal itu di dalam
kitab-kitab-nya yang demikian banyak dan bermanfaat, di antaranya kitab
yang berjudul: “al-Qa’idah al-Jalilah Fi at-Tawassul wa al-Wasilah”. Ini adalah kitab yang amat bermanfaat dan pantas untuk dirujuk dan dipelajari.
Hukum ber-tawassul
seperti ini boleh, bila kepada orang-orang yang masih hidup selain
beliau, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang
yang anda anggap baik, “Berdoalah kepada Allah untukku agar menyembuhkan
penyakitku!”, atau “agar memulihkan penglihatanku’, “menganugerahiku
keturunan”, dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Wallahu waliyy at-Taufiq.
Kumpulan Fatwa dan Berbagai Artikel dari Syaikh Ibnu Baz, Juz V, hal. 322-333.
__________
Catatan kaki:
Catatan kaki:
[1] Yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Hunaif: Bahwa seorang laki-laki buta datang ke hadapan Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam
seraya berkata: “Berdoalah kepada Allah agar menganugerahiku afiat
(kesehatan).” Lalu beliau bersabda: “Engkau boleh pilih: Aku doakan
sekarang untukmu atau aku urungkan dan ini adalah baik bagimu.” Orang
tersebut berkata: “Berdoalah kepada-Nya sekarang.” Kemudian beliau
menyuruhnya agar berwudhu, lalu dia berwudhu dengan sempurna, kemudian
shalat dua rakaat dan berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku
memohon kepadaMu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu, Muhammad,
Nabi rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku
melaluimu dalam hajatku ini sehinggga engkau dapat memutuskannya
untukku. Ya Allah, anugerahilah ia syafaat-Mu untukku.” (HR. Ahmad, Juz
VIII, hal. 138; at-Tirmidzi, kitab ad-Da’awat, no. 3578; an-Nasa’i, kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah, hal. 204 serta Ibnu Majah, kitab Iqamah ash-Shalah, no. 1358)
Sumber:
Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq
Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar