Tawassul dengan Kedudukan Nabi Adalah Bidah dan sarana kesyirikan

0 komentar
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Pertanyaan :
Apa hukum tawassul kepada penghulu para Nabi (Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam); adakah dalil-dalil yang mengharamkannya?

Jawaban:
Mengenai hukum tawassul kepada Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam (menjadikan beliau sebagai perantara-penj.) harus dirinci dulu;
Bila hal itu dilakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai, taat terhadap perintah dan meninggalkan larangan-larangan beliau serta ikhlas semata karena Allah di dalam beribadah, maka inilah yang disyariatkan oleh Islam dan merupakan dien Allah yang dengannya para Nabi diutus, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang dibebani dengan syariat-penj.) serta merupakan sarana dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Sedangkan ber-tawassul dengan cara meminta kepada beliau, ber-istighatsah kepadanya, memohon pertolongan kepadanya untuk mengatasi musuh-musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, maka ini adalah syirik yang paling besar. Ini adalah dien Abu Jahal dan konco-konconya semisal kaum paganis (penyembah berhala). Demikian pula, bila dilakukan kepada selain beliau seperti kepada para Nabi, wali, jin, malaikat, pepohonan, bebatuan ataupun berhala-berhala.

Di samping itu, ada jenis lain dari tawassul yang dilakukan banyak orang, yaitu tawassul melalui jah (kedudukan) beliau, hak atau sosok beliau, seperti ucapan seseorang, “Aku memohon kepada-Mu, Ya Allah, melalui Nabi-Mu, atau melalui jah Nabi-Mu, hak Nabi-Mu, atau jah para Nabi, atau hak para Nabi, atau jah para wali dan orang-orang shalih”, dan semisalnya, maka ini semua adalah perbuatan bid’ah dan merupakan salah satu dari sarana kesyirikan. Tidak boleh melakukan hal ini terhadap beliau ataupun terhadap selain beliau karena Allah subhanahu wata’ala tidak pernah mensyariatkan hal itu sementara masalah ibadah bersifat tawqifiyyah (bersumber kepada dalil-penj.) sehingga tidak boleh melakukan salah satu darinya kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dari syariat yang suci ini.

Sedangkan tawassul yang telah dilakukan oleh seorang sahabat yang buta kepada beliau semasa hidupnya, maka yang sebenarnya dilakukannya adalah ber-tawassul kepada beliau agar berdoa untuknya dan memohon syafaat kepada Allah sehingga penglihatannya normal kembali. Jadi, bukan tawassul dengan (melalui) sosok, jah (kedudukan) atau hak beliau. Hal ini secara gamblang dapat diketahui melalui jalur cerita dari hadits[1] (tentang itu) dan melalui penjelasan yang diberikan oleh para ulama as-Sunnah ketika menjelaskan hadits tersebut. Syaikhul Islam, Abu al-Abbas, Ibnu Taimiyah rohimahullah telah memaparkan secara panjang lebar mengenai hal itu di dalam kitab-kitab-nya yang demikian banyak dan bermanfaat, di antaranya kitab yang berjudul: “al-Qa’idah al-Jalilah Fi at-Tawassul wa al-Wasilah”. Ini adalah kitab yang amat bermanfaat dan pantas untuk dirujuk dan dipelajari.
Hukum ber-tawassul seperti ini boleh, bila kepada orang-orang yang masih hidup selain beliau, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang anda anggap baik, “Berdoalah kepada Allah untukku agar menyembuhkan penyakitku!”, atau “agar memulihkan penglihatanku’, “menganugerahiku keturunan”, dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Wallahu waliyy at-Taufiq.
Kumpulan Fatwa dan Berbagai Artikel dari Syaikh Ibnu Baz, Juz V, hal. 322-333.
__________
Catatan kaki:
[1] Yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Hunaif: Bahwa seorang laki-laki buta datang ke hadapan Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam seraya berkata: “Berdoalah kepada Allah agar menganugerahiku afiat (kesehatan).” Lalu beliau bersabda: “Engkau boleh pilih: Aku doakan sekarang untukmu atau aku urungkan dan ini adalah baik bagimu.” Orang tersebut berkata: “Berdoalah kepada-Nya sekarang.” Kemudian beliau menyuruhnya agar berwudhu, lalu dia berwudhu dengan sempurna, kemudian shalat dua rakaat dan berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu, Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku melaluimu dalam hajatku ini sehinggga engkau dapat memutuskannya untukku. Ya Allah, anugerahilah ia syafaat-Mu untukku.” (HR. Ahmad, Juz VIII, hal. 138; at-Tirmidzi, kitab ad-Da’awat, no. 3578; an-Nasa’i, kitab ‘Amal al-Yaum Wa al-Lailah, hal. 204 serta Ibnu Majah, kitab Iqamah ash-Shalah, no. 1358)
Sumber:
Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq

والله أعلمُ بالـصـواب


Posting Komentar