بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.
Wa Ba’du.
Wa Ba’du.
Al-Albani rahimahullah, ahli hadits abad ini, dijuluki sebagai
muhaddits As-Syam (ahli hadits negeri Syam) –andai saja dijuluki sebagai
Muhadditsud Dunya (ahli hadits dunia)- tentu ia berhak menyandangnya,
wa la uzakki’ ala Allahi ahada. Beliau sebagaimana ulama lainnya, pernah
dilontarkan kepadanya tuduhan-tuduhan dan kedustaan-kedustaan.
Kedustaan dan tuduhan tersebut terangkum dalam sembilan point berikut ini:
1). (Al-Albani) ahli hadits yang tidak paham fikih
2). Tidak mengetahui ilmu ushul
3). Tidak memiliki guru.
4). Syad (ganjil), menyendiri dari pendapat umumnya masyarakat.
5). Tidak menghormati ulama, dan tidak mengetahui ketinggian kedudukan mereka.
6). Bermadzhab dzhoiri
7). Mutasahil (gampang/mudah) men-shahih-kan hadits
8). Keputusannya dalam menghukumi hadits-hadits berlawanan, satu sama lain.
9). Tidak perhatian dengan matan hadits.
1). (Al-Albani) ahli hadits yang tidak paham fikih
2). Tidak mengetahui ilmu ushul
3). Tidak memiliki guru.
4). Syad (ganjil), menyendiri dari pendapat umumnya masyarakat.
5). Tidak menghormati ulama, dan tidak mengetahui ketinggian kedudukan mereka.
6). Bermadzhab dzhoiri
7). Mutasahil (gampang/mudah) men-shahih-kan hadits
8). Keputusannya dalam menghukumi hadits-hadits berlawanan, satu sama lain.
9). Tidak perhatian dengan matan hadits.
Tuduhan-tuduhan dusta di atas pernah dilontarkan kepada mayoritas
ulama hadits di sepanjang masa. Dan saya melihat hal ini perlu
dipaparkan dan dijawab demi membela mereka seutuhnya. Dengan harapan
agar amalan yang sedikit ini termasuk dalam bab berbakti kepada mereka.
[1]. Ahli Hadits Yang Tidak Paham Fikih
Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa beliau (Syaikh Al-Albani,-pent) termasuk ulama ahli hadits yang piawai dan pakar dibidangnya, dan tidak ada maksud lain yang mengurangi ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu dijawab. Karena Imam Al-Albani merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang dapat disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits. Dan ini dapat dibuktikan bersama. Perkara tersebut –walhamdulillah- sepengetahuanku merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh siapa saja (kecuali mereka yang hasad, dengki, dan iri dengan beliau,-pent).
Ungkapan ini, bila dimaksudkan hanya sekedar untuk mensifati bahwa beliau (Syaikh Al-Albani,-pent) termasuk ulama ahli hadits yang piawai dan pakar dibidangnya, dan tidak ada maksud lain yang mengurangi ketinggian ilmu fikih beliau, maka ungkapan ini tidak perlu dijawab. Karena Imam Al-Albani merupakan salah satu ahli hadits abad ini yang dapat disaksikan keilmuannya, dan peran aktifnya di bidang hadits. Dan ini dapat dibuktikan bersama. Perkara tersebut –walhamdulillah- sepengetahuanku merupakan perkara yang tidak diperselisihkan oleh siapa saja (kecuali mereka yang hasad, dengki, dan iri dengan beliau,-pent).
Adapun jika ungkapan tersebut bermaksud untuk menggugurkan keilmuan
Syaikh Al-Albani dalam bidang fikih hadits, penjelasan maknanya,
pilihan-pilihannya, dan hasil tarjih beliau dalam masalah-masalahnya,
maka ini adalah makna yang munkar dan batil. Dan dapat dijawab dengan
pernyataan berikut ini.
Kita katakan kepada mereka : Apa sebenarnya arti fikih menurut
kalian? Jika maksud kalian adalah menghafal masalah-masalah,
matan-matan, dan masuk ke dalam permasalahan yang bersifat tidak nyata,
tanpa mendasari semua itu dengan dalil yang shahih, maka Imam Al-Albani
sungguh seorang yang amat jauh dari hal itu.
Dan jika maksud kalian adalah memahami dan mempelajari dalil-dalil
dari Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah Ash-Shahihah dengan pemahaman para
sahabat dan tabi’in, tanpa fanatik kepada seseorang kecuali kepada
dalil, maka kami minta kepada kalian untuk mendatangkan sebuah dalil
yang menunjukkan bahwa Imam Al-Albani tidak seperti itu.
Sesungguhnya kalimat “ahli hadits yang tidak paham fikih” dengan
makna batil tersebut merupakan ungkapan setan yang bertujuan untuk
merendahkan kadar dan kedudukan ahli hadits, dan bahwa seorang ahli
fikih tidak memerlukan ilmu hadits.
Ungkapan tersebut awalnya ketergelinciran dan bid’ah, akhirnya
penghalalan (lepas diri) dan zindiq (kemunafikan). Dikatakan bid’ah,
karena kita tidak pernah menemukannya dari salafush shalih. Dikatakan
penghalalan dan zindiq, karena ucapan tersebut bisa mengakibatkan
dibuangnya seluruh perkataan ulama. Yang kemudian bisa menggugurkan
syari’at dan meghilangkan hukum-hukum Islam. Sehingga dikatakan sesekali
: Hukum ini adalah perkataan fulan yang merupakan ahli hadits, dia
bukan ahli fikih. Kemudian dikatakan lain kali ; Hukum ini adalah ucapan
fulan yang merupakan ahli fikih, dia ahli hadits. Dan hasil akhirnya
adalah berlepas diri dari hukum agama!!!
[2]. Tidak Mengetahui Ilmu Ushul
Tuduhan ini mana buktinya ? Dan realita yang ada di kitab-kitab Al-Albani adalah kebalikannya. Bahkan cerita yang popular dari biografi beliau, bahwasanya ia dahulu mengadakan dua kali kajian yang dihadiri oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di halaqah ilmiyah tersebut adalah kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab Khallaf.
Tuduhan ini mana buktinya ? Dan realita yang ada di kitab-kitab Al-Albani adalah kebalikannya. Bahkan cerita yang popular dari biografi beliau, bahwasanya ia dahulu mengadakan dua kali kajian yang dihadiri oleh mahasiswa Universitas Islam Madinah dan sebagian staff dosen Universitas tersebut. Diantara kitab yang diajarkan oleh beliau di halaqah ilmiyah tersebut adalah kitab Ushulul Fikih karya Abdul Wahhab Khallaf.
Dan tuduhan ini –penafian kadar keilmuan ushul fikih beliau- ditelan
mentah-mentah oleh sebagian mereka untuk mencela para ahli hadits, yang
kemudian mereka gunakan untuk melemparkan tuduhan kepada para ahli
hadits tersebut. Dan kepada mereka saya katakan : Termasuk perkara yang
penting, harus diperhatikan poin-poin berikut.
a). Bahwasanya Sunnah Nabawiyyah merupakan petunjuk hukum-hukum yang
ada dalam Al-Qur’an , sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal
dalam karyanya As-Sunnah riwayat Abdus : Setiap hukum dalam Al-Qur’an
ditunjukkan oleh As-Sunnah, dijelaskannya dan ditunjukkan maksudnya. Dan
dengan As-Sunnah bisa menghantarkan untuk mengetahui maknanya
b). Sesungguhnya ilmu ushul dibangun atas dasar petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan bahasa Arab, dengan
memperhatikan adat masa diturunkannya syari’at. Dan perkara ini hanya
diberikan kepada sahabat. Tidak ada yang ikut serta dan mengetahuinya
kecuali mereka sendiri. Dan tidak pula ada jalan untuk sampai kepada hal
tersebut kecuali dengan jalan mereka (para sahabat).
Apabila telah jelas dua poin di atas, maka ketahuilah, bahwa ahli
hadits merupakan orang yang paling bahagia dengan kedua poin tersebut.
tidak seorang pun yang lebih tahu dari mereka tentang kabar yang dibawa
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang lebih
tahu dari mereka tentang berita dari sahabat. Maka merekalah yang
sebenarnya ahli ilmu ushul. Dan diantara manhaj mereka adalah menjadikan
dalil-dalil Al-qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar untuk membangun ilmu
ushul. Bukankah para ulama ushul tidaklah beraktivitas kecuali untuk hal
ini?
Dari sini engkau mengetahui, bahwa ahli hadits merekalah sebenarnya
ulama ushul syariat ini, yang mengetahui kaedah-kaedah pengambilan hukum
dari sela-sela usaha mereka untuk mengikuti apa yang datang dari
sahabat dan tabi’in.
[3]. Tidak Memiliki Guru
Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albani pernah belajar beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof. Beliau juga belakar darinya beberapa kitab madzhab Hanafi, seperti Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan pernah menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.
Tuduhan ini terlalu tergesa-gesa untuk diucapkan. Sebab Syaikh Al-Albani pernah belajar beberapa ilmu alat dari ayahnya, seperti ilmu shorof. Beliau juga belakar darinya beberapa kitab madzhab Hanafi, seperti Mukhtashor Al-Qaduri. Darinya juga beliau belajar Al-Qur’an dan pernah menghatamkan riwayat Hafsh beserta tajwidnya.
Beliau pun pernah belajar dari Syaikh Sa’id Al-Burhani kitab Maraqi
Al-Falah, sebuah kitab yang bermadzhab Hanafi, dan kitab Syudzurudz
Dzahab di cabang ilmu nahwu serta beberapa kitab balaghah
Beliau juga pernah menghadiri seminar-seminar Al-Allamah Muhammad
Bahjat Al-Baithar bersama beberapa ustadz dari Al-Majma Al-Islami
Damaskus, diantaranya : Izzudin At-Tanukhi. Waktu itu mereka belajar
kitab Al-Hamasah syairnya Abu Tammam.
Di akhir hayatnya, beliau sempat bertemu dengan Syaikh Muhammad
Raghib Ath-Thabbakh. Beliau pun menyatakan takjub dengan Syaikh
Al-Albani, dan menghadiahkan kepada beliau kitab Al-Anwar Al-Jaliyah Fi
Mukhtashar Al-Atsbat Al-Hanbaliyah.
Apabila engkau tahu semua ini, maka jelas bagimu bahwa tuduhan dusta
mereka “Al-Albani tidak memiliki guru” menyelisihi realita yang ada.
Dan tentunya tidak mengurangi kedudukan Syaikh meskipun hanya sedikit
gurunya. Betapa banyak ulama yang hanya memiliki sedikit guru, dan itu
tidak mempengaruhi kredibilitas keilmuannya. Bahkan diantara perawi
hadits ada yang tidak meriwayatkan hadits kecuali dari dua atau tiga
orang saja, bahkan ada juga yang berguru dari seorang Syaikh saja. Namun
ternyata para ulama bersaksi akan kekuatan dan kesempurnaan hafalannya.
Dan hal itu tidak menjadi alasan yang mencegah untuk mengambil ilmu dan
meriwayatkan hadits dari mereka.
Adalah Abu Umar Ahmad bin Abdullah bin Muhammad Al-Lakhami yang
terkenal dengan sebutan Ibnul Baji (wafat mendekati tahun 400H) yang
merupakan penduduk daerah Isybilia. Dia adalah satu-satunya ulama dan
ahli fikih yang ada pada waktu itu. Beliau mengumpulkan cabang ilmu
hadits, fikih, dan keutamaan. Dan beliau menghafal dengan baik beberapa
kitab-kitab sunnah dan penjelasan maknanya.
[4]. Syad (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat Umumnya Masyarakat
Ini juga merupakan tuduhan kosong belaka. Karena sesungguhnya ulama ahli hadits, begitu pula Al-Albani –wa laa uzaki ‘ala Allahi ahada- termasuk orang yang terasing yang menghidupkan sunnah-sunnah yang dimatikan oleh kebanyakan orang. Adapun istilah ahli hadits : Fulan sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, ini tidak berarti bahwa ia tidak paham masalah dan tidak pula kita menayandarkan istilah gannjil kepadanya
Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (5/661-662) Abu Muhammad Ibnu
Hazm berkomentar : Sesungguhnya batasan istilah ganjil adalah dengan
menyelisihi kebenaran. Maka siapa saja yang menyelisihi kebenaran dalam
suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam masalah tersebut,
meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau sebagiannya.
Sedangkan Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah ahlul haq,
meskipun dimuka bumi tidak ada dari mereka kecuali seorang saja, maka
ialah Al-Jama’ah, dan ini adalah secara globalnya. Meskipun hanya Abu
Bakar dan Khadijah saja yang masuk Islam, maka mereka berdua adalah
Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk bumi selain mereka berdua
dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah ahlu
ganjil (menyimpang) dan perpecahan.
Maka bukanlah maksud dari istilah ganjil adalah seorang ulama yang
menyelisihi jama’ah ulama lainnya. Bukanlah arti ganjil menyelisihi
perbuatan yang sering diamalkan atau tersebar luas di masyarakat. Betapa
banyak permasalahan yang dipegang teguh oleh ulama dengan pendapat yang
menyendiri, seperti Abu Hanifah, Malik, dan juga Ahmad. Dan hal itu
tidak dianggap sebagai aib bagi mereka, tidak mengurangi kefakihan
mereka apalagi menghalang-halanginya, juga tidak menjadikan mereka
disifati ganjil atau menyendiri.
Bagaimana mungkin bisa disifati dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Bahkan sebelum ulama yang menyelisihi sunnah atau atsar tidak
dikatakan oleh ulama yang lain dengan ucapan : Mereka ganjil, mereka
menyendiri. Adalah Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat 235H) di dalam
kitabnya Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu
Hanifah. Beliau mengawalinya dengan perkataan : Ini adalah permasalahan
yang Abu Hanifah menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Adalah Al-Laits bin Sa’ad berkata : Aku pernah menghitung
permasalahan Malik bin Anas yang berjumlah tujuh puluh, seluruhnya
menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam semua
permasalahan itu ia berpendapat dengan akalnya. Komentar Al-Laits : Dan
aku pernah menuliskan ini untuknya. Cerita atsar ini ada dalam kitab
Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi 92/148).
Kemudian kapankah amalan kebanyakan orang menjadi hujjah secara
mutlak dalam syari’at ini, yang mana dalil-dalil ditolak karenanya ?
Dosa apa yang dilakukan para ahli hadits dan Al-Albani tatkala mereka
berpegang dengan hadits yang telah jelas bagi mereka derajat
keshahihannya, dan tidak pernah nampak perkataan kuat yang
menyelisihinya, kemudian mereka mengamalkannya, dan mengajak orang lain
untuk menghidupkan sunnah yang dikandung oleh hadits itu. Maha Suci
Allah!, mereka bukannya diberikan ucapan terima kasih malah dicela,
kemudian dijuluki dengan gelar ganjil atau menyendiri!
[5].Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak Mengatahui Ketinggian Kedudukan Mereka.
Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak menghormati mereka. Parasangka salah tersebut tidak perlu terlalu diperhitungkan, dengan alasan sebagai berikut:
Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak menghormati mereka. Parasangka salah tersebut tidak perlu terlalu diperhitungkan, dengan alasan sebagai berikut:
Tentu beda antara memurnikan amalan untuk mengikuti Rasulullah dan
menjatuhkan perkataan ulama lain. Maksud dari mengikuti Rasulullah yaitu
tidak mendahulukan perkataan seseorang dari ucapan beliau, siapapun
orangnya. Akan tetapi, pertama engkau melihat keabsahan hadits. Apabila
hadits tersebut shahih, maka yang kedua engkau harus memahami maknanya.
Jika sudah jelas (maknanya) bagimu maka engkau tidak boleh menyimpang
darinya, meskipun semua orang di timur bumi dan baratnya menyelisihimu.
Dan diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam
As-Silsilah Ash-Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor 221, beliau
berkata :
Ambil dan peganglah hadits Rasulullah. Gigitlah ia dengan gigi
geraham. Jauhilah olehmu pendapat-pendapat orang, sebab dengan adanya
hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika datang sungai Allah (dalil
naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).
Sekedar pengetahuan, -setahu saya- tidak ada sebuah permasalahan yang
dipilih oleh Al-Albani kecuali pernah dikatakan oleh para ulama
sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan ulama salaf yang
sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang
sejalan dengan dalil
Syaikh Al-Albani selalu merujuk ke perkataan ulama, mengambil
pelajaran darinya, juga mengambil faedah dari perkataan tersebut tanpa
fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di muqaddimah kitab sifat shalat
Nabi.
Adapun merujuk ke perkataan mereka –yakni ulama- , mengambil faedah
darinya, memanfaatkannya untuk mencari kebenaran dari permasalahan yang
mereka perselisihkan yang tiada dalilnya dari Al-Qut’an dan As-Sunnah,
atau untuk membantu memahami permasalahan yang butuh kejelasan, maka ini
adalah sesuatu yang tidak kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan
menyarankan hal tersebut, sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi
orang yang meniti jalan hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Tersisa isyarat tentang permasalahan kerasnya Syaikh dalam membantah
orang yang menyelisihinya. Realita yang ada menyatakan bahwa
permasalahan ini bersifat relatif, setiap orang berbeda satu sama lain.
Sebagian dari mereka menyebutnya dengan istilah sifat obyektif dalam
membahas, sekedar mencari kebenaran tanpa basa-basi. Sedangkan yang
lainnya menyebutnya dengan istilah keras dan tidak berlemah lembut.
Bagaimanapun juga, sudah sepantasnya tidak dihindari poin-poin berikut
ini.
a). Bahwasanya sebagian dari mereka meminta kepada Syaikh untuk
lemah- lembut dalam membantahnya hingga batas kewajaran. Anehnya, mereka
meminta kepada Syaikh untuk membantahnya dengan aturan tertentu yang
mereka sendiri tidak dipergunakan ketika membantah orang-orang yang
berbeda pendapat dengan mereka.
b). Sikap keras demi memperjuangkan kebenaran bukan berarti
kebatilan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima kebenaran
tersebut
c). Bahwasanya berlemah-lembut untuk memperjuangkan kabatilan bukan berarti kebenaran.
d). Dan terkadang bersikap keras merupakan sikap hikmah dalam berdakwah.
Tentang sikap keras yang dituduhkan kepada Syaikh, beliau memiliki
komentar tentang itu di As-Silsilah Adh-Dha’ifah, jilid pertama halaman
27.
[6]. Bermadzhab Dzohiri
Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albani bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau termasuk ahli hadits.
Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albani bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau termasuk ahli hadits.
Untuk menghilangkan kesamaran yang telah merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan beberapa pertanyaan berikut.
Apakah Syaikh pernah berkata terus terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?
Apakah Syaikh yang hanya sekedar menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan bermadzhab dzahiri?
Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari
kitabnya mencela keras Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab Tamamul Minnah,
halaman 160 beliau berkomentar : Untuk menyelisihi pendapat yang
dipegang oleh Ibnu Hazm.
Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata : Saya merasa heran
dengan Ibnu Hazm seperti kebiasaannya berpegang teguh dengan madzhab
Dzahiri.
Diantara karangan Syaikh, ada sebuah kitab yang membantah Ibnu Hazm
dalam masalah alat musik. Oleh karenanya, maka ahli hadits –termasuk
Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh dari kesalahan-kesalahan yang
ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.
Bahkan Syaikh berbicara dengan terus-terang tidak hanya pada satu
tempat, dan yang paling popular adalah di muqaddimah kitab Sifat Shalat
Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau bersandar kepada hadits-hadits
dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para imam dan
mengambil manfaat dari fikih mereka.
[7]. Mutasahil (Gampang/Mudah) Menshahihkan Hadits
Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang. Barangsiapa yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit) ia melihat orang lain mutasahil, dan siapa yang mutasahil ia melihat orang lain mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan, dan saling membandingkan satu sama lain.
Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang. Barangsiapa yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit) ia melihat orang lain mutasahil, dan siapa yang mutasahil ia melihat orang lain mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan, dan saling membandingkan satu sama lain.
Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada Al-Albani bahwa ia mutasahil diantaranya.
a). Menghasankan hadits dha’if dengan banyaknya jalan.
b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.
b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.
Semua jenis hadits lemah dapat menerima penguat dan pendukung, hadits
tersebut akan naik derajatnya dengan banyaknya jalan, kecuali hadits
yang pada sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan pemalsu hadits,
perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang berada pada
derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya),
hadits syadz (ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.
Adapun menerima hadits dari seorang perawi yang tidak diketahui
keadaannya dan bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini merupakan
permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albani tanpa dalil yang
shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada satu
tempat Syaikh Al-Albani membantah orang yang bersandar kepada tautsiq
Ibnu Hibban dan beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil
Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah,
halaman 20-26, kaedah yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya
bersandar dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.
Permasalahan rekomendasi beliau kepada beberapa perawi yang lemah
merupakan tuduhan semata, dimana mereka (yang melontarkan tuduhan
tersebut) tidak mampu mendatangkan seorang perawi yang disepakati
bersama kelemahannya, lalu datanglah Al-Albani dan memberinya
rekomendasi tersebut.
[8]. Keputusannya Dalam Menghukumi Hadits-Hadits Sering Berlawanan Satu Sama Lain.
Dakwaan tersebut merupakan kebodohan atau pura-pura bodoh dengan realita yang ada. Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah senantiasa menjagamu-, termasuk perkara yang diketahui bersama, menurut ahlu sunnah wal jama’ah bahwa sifat ishmah (terbebas dari kesalahan) tidak mungkin bisa disandang kepada seorangpun dari umat ini kecuali kepada Nabi. Dan kita –segala puji dan karunia hanya milik Allah- meyakini akan dasar ini. Tidak mungkin Al-Albani menyandang sifat ma’shum sebagaimana para ulama yang lainnya.
Dakwaan tersebut merupakan kebodohan atau pura-pura bodoh dengan realita yang ada. Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah senantiasa menjagamu-, termasuk perkara yang diketahui bersama, menurut ahlu sunnah wal jama’ah bahwa sifat ishmah (terbebas dari kesalahan) tidak mungkin bisa disandang kepada seorangpun dari umat ini kecuali kepada Nabi. Dan kita –segala puji dan karunia hanya milik Allah- meyakini akan dasar ini. Tidak mungkin Al-Albani menyandang sifat ma’shum sebagaimana para ulama yang lainnya.
Akan tetapi, apakah hanya dengan melakukan kesalahan dan memiliki
pendapat yang kontradiksi seorang alim dinyatakan gugur dan terlepas
darinya gelar keilmuannya? Saya kira, tidak ada seorang ulama yang adil
yang berpendapat demikian.
Baiklah, barang siapa yang banyak kesalahannya, yang mana
kesalahannya lebih dominan dari pada pendapat benarnya, niscaya gugurlah
hujjah darinya, dan hilanglah sifat kuat hafalannya. Apabila
terwujudkan hal ini, maka ketahuilah bahwa semua hadits yang disandarkan
kepada Al-Albani dengan hukum yang saling berlawanan tidak mempengaruhi
ketsiqohan beliau dan ketsiqohan ilmunya di sisi ulama yang adil
–segala puji hanya untuk Allah-. Karena prosentasi hadits-hadits yang
disebutkan dan telah dihukumi oleh Al-Albani dengan hukum yang
kontradiksi dibanding hadits-hadits yang lainnya, hanya sedikit dan
tidak diperhitungkan, serta tidak mampu mengotori bahtera ilmunya.
Karena air apabila sudah mencapai dua kullah tidak akan membawa sifat
kotor. Dan penyandaran kontradiksi ini merupakan tuduhan iri dengki yang
mayoritasnya merupakan penipuan kotor belaka.
Apabila diteliti penyandaran tersebut, tidak akan selamat kecuali
sangat sedikit sekali, dan semua itu tidak keluar dari keadaan-keadaan
beikut ini.
a). Hadits-hadits yang dihukumi berbeda oleh Syaikh setelah nampak jelas baginya ilmu yang benar.
b). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan melihat kepada jalannya, kemudian beliau menemukan jalan yang lainnya.
c). Hadits-hadits yang dihukumi oleh beliau dengan dasar pendapat
yang rajih (kuat) sesuai keadaan perawi tersebut, kemudian beliau
mengoreksi kembali ijtihadnya dan menemukan hukum yang berbeda.
d). Hadits-hadits yang tidak mempunyai cacat, kemudian nampak cacatnya menurut beliau.
e). Hadits-haditys yang tidak diketahui adanya syahid (penguat) dan mutaba’ah (penguat), kemudian beliau mengetahuinya
Saya sarankan para pembaca untuk merujuk ke kitab ‘Al-Anwar
Al-Kasyifah Li Tanaqudhat Al-Khassaf Az-Zifah”, yang menguak kesesatan,
penyimpangan dan sikap sembrono yang ada di dalamnya
[9]. Tidak Perhatian Dengan Matan Hadits
Inipun dusta semata dan kebatilan yang tidak berdasar. Kenyataan yang ada di kitab Syaikh, membatalkan tuduhan tersebut. Oleh sebab itu saya akan mendatangkan sebuah hadits yang dikritik habis matannya oleh Al-Albani setelah dikritisi habis sanadnya
Inipun dusta semata dan kebatilan yang tidak berdasar. Kenyataan yang ada di kitab Syaikh, membatalkan tuduhan tersebut. Oleh sebab itu saya akan mendatangkan sebuah hadits yang dikritik habis matannya oleh Al-Albani setelah dikritisi habis sanadnya
Diantaranya hadits kedua dari kitab Silisilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah. Hadits tersebut berbunyi.
“Barangsiapa yang shalatnya belum mampu menahan dirinya dari
perbuatan keji dan munkar, niscaya tidak akan bertambah dari Allah
kecuali jarak yang semakin jauh”.
Setelah Syaikh mengomentari sanad hadits, beliau menuju ke matan hadits seraya berkata.
Matan hadits ini tidak sah, sebab zhahirnya mencakup orang yang
melakukan shalat lengkap dengan syarat dan rukun-rukunnya. Yang mana
syari’at ini menghukuminya sah. Meskipun orang yang melakukan shalat
tersebut terus menerus melakukan beberapa maksiat, maka bagaimana
mungkin hanya karena itu, shalatnya tidak akan menambah kecuali jarak
yang semakin jauh. Hal ini tidak masuk akal dan tida disetujui oleh
syari’at ini, dst…
Dengan ini usailah tujuan kami, dan segala puji hanya untuk Allah yang dengan-Nya sempurnalah segala kebaikan.
[Sumber, Al-Intishar Li Ahlil Hadits, karangan Syaikh Muhammad bin Umar Baazmul]
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol 6 No 7 Edisi 32 – 1428H.
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar