بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
HADITS MAUDLU 1
Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa keluar dari rumahnya menuju Masjid untuk menunaikan shalat, kemudian membaca doa berikut:اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَبِحَقِّ مَمْشَايَ فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً ، خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan semua orang yang memohon kepada-Mu [1]. Dan aku memohon kepada-Mu dengan berkat perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar (menuju Masjid) dengan sikap angkuh, sombong, riya’ ataupun sum’ah. Aku keluar (menuju Masjid) demi menghindari murka-Mu dan mengharapkan ridha-Mu. Oleh karena itu, kumohon Engkau berkenan melindungiku dari siksa Neraka, dan mengampuni semua dosaku. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).
Bila kita dudukkan hadits di atas menurut ilmu musthalah hadits, ternyata hadits di atas memiliki tiga cacat;
Pertama: salah satu perawinya adalah ‘Athiyyah Al ‘Aufy yang dinyatakan dha’if
oleh para ulama [2].
Kedua:
‘Athiyyah ini selain dha’if juga seorang mudallis, alias suka
menyamarkan hadits. Dalam biografinya disebutkan bahwa mulanya ia meriwayatkan
hadits dari sahabat Nabi yang bernama Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu.
Setelah Abu Sa’id wafat, ia bermajelis dengan salah seorang yang terkenal
sebagai pendusta, namanya Al Kalby. Tiap kali ‘Athiyyah meriwayatkan hadits
dari gurunya yang kedua ini, dia menjulukinya dengan Abu Sa’id, hingga
orang-orang terkecoh dan mengiranya Abu Sa’id Al Khudry, padahal sesungguhnya
ia adalah Al Kalby si pendusta!![3]
Berangkat dari sini, kita patut mencurigai hadits di
atas. Jangan-jangan Abu Sa’id yang dimaksud ialah Al Kalby, bukan Al Khudry.
Karena boleh jadi perawi yang meriwayatkan hadits ini terkecoh ketika mendengar
‘Athiyyah meriwayatkannya dari Abu Sa’id, lantas menganggapnya Abu Sa’id Al
Khudry.
Ketiga: lafadz hadits ini mudhthorib
(labil), kadang ia dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun kadang hanya dinisbatkan kepada Abu Sa’id Al Khudry (mauquf).[4]
Kalaupun hadits di atas kita terima sebagai hadits
shahih/hasan, toh ia tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kemuliaan
orang lain. Akan tetapi ia sekedar menunjukkan bolehnya seseorang bertawassul
dengan salah satu sifat Allah yang tersirat dari ungkapan: “dengan hak setiap
orang yang berdoa kepada-Mu”, dan hak mereka ialah dikabulkan doanya (al
ijabah) sebagaimana yang Allah sebutkan dalam hadits:
meski hadits di atas ada yang menganggapnya shahih, akan
tetapi menurut kaidah ilmu musthalah hadits, hadits di atas memiliki
cacat dalam sanadnya yang menyebabkannya dho’if. Oleh karena itu,
pendapat sebagian ulama yang menshahihkannya atau menghasankannya dinilai tasahul
alias agak menggampangkan dan kurang jeli dalam masalah ini.
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ؟ وَمَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ؟ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ؟“Allah tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam, yaitu ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman: “Siapa yang berdoa kepada-Ku, supaya Kukabulkan doanya? siapa yang meminta kepada-Ku, supaya Kupenuhi permintaannya? dan siapa yang mohon ampun kepada-Ku, agar Kuampuni dia” (Muttafaq alaih)[5]
Jadi, mereka sesungguhnya bertawassul dengan sifat al ijabah (mengabulkan doa) yang merupakan salah satu sifat Allah ‘azza wa jalla. Dan tawassul semacam ini adalah tawassul yang dianjurkan.
HADIS PALSU 2
Haditsnya cukup panjang, karenanya kami cukupkan dengan menyebutkan
terjemahannya
“Ketika Adam berbuat kesalahan, beliau berkata, ‘Duhai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Muhammad[7] agar Engkau mengampuniku’. Allah pun berkata, ‘Hai Adam, bagaimana kau dapat mengenal Muhammad sedangkan ia belum Kuciptakan?’ Adam menjawab, ‘Duhai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan Tangan-Mu dan Engkau tiupkan kepadaku dari Ruh-Mu, kutengadahkan kepalaku dan kulihat pada tiang-tiang Arsy tercantum tulisan yang berbunyi La Ilaha Illallah Muhammadun Rasulullah. Aku pun tahu bahwa tidak mungkin Engkau sandarkan sebuah nama dengan nama-Mu, kecuali ia adalah makhluk yang paling Engkau cintai.’ Allah berkata, ‘Kau benar hai Adam, sesungguhnya dia (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) adalah makhluk yang paling Kucintai. Berdoalah kepadaku dengan (bertawassul dengan) kemuliaannya, sesungguhnya aku telah mengampunimu. Dan andaikata bukan karena Muhammad, aku tidak akan menciptakanmu” (HR. Hakim).[8]
Sekarang, mari kita cek validitas hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dalam kitabnya Al Mustadrak ‘ala Ash Shahihain, setelah meriwayatkannya, beliau mengatakan sebagai berikut:
صَحِيْحُ
الإِسْنَادِ وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ ذَكَرْتُهُ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ
بْنِ أَسْلَمَ فِي هَذَا الْكِتَابِ
“Sanadnya shahih, dan ini adalah hadits Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang pertama kali
kusebutkan dalam kitab ini” (Al Mustadrak 2/672, hadits no
4228).
Imam Adz Dzahabi yang meringkas kitab Al Mustadrak
ini mengomentari ucapan Imam Al Hakim tadi dengan mengatakan (بَلْ
مَوْضُوعٌ!): “Bukan, justeru ini hadits
palsu!”. Hadits ini diriwayatkan dari jalur: Abdullah bin Muslim Al Fihry, dari
Isma’il bin Maslamah, dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari
kakeknya dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Abdullah bin Muslim ini disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam
Mizanul I’tidal [9] berkenaan dengan hadits
diatas, kemudian beliau menyifatinya dengan kata-kata (خَبَرٌ
بَاطِلٌ): “Khabar (hadits) batil (palsu)”.
Ungkapan beliau tadi disetujui oleh Ibnu Hajar, bahkan beliau menambahkan dalam
kitabnya ‘Lisanul Mizan’ sebagai berikut:
لاَ
أَسْتَبْعِدُ أَنْ يَكُونَ هُوَ الَّذِي قَبْلَهُ، فَإِنَّهُ مِنْ طَبَقَتِهِ
“Tidak menutup kemungkinan bahwa orang
ini (Abdullah bin Muslim Al Fihry), adalah orang sebelumnya, karena dia berada
satu level dengannya” (Lisanul Mizan, 3/359 Biografi
no 1451). Orang yang sebelumnya ialah Abdullah bin Muslim bin
Rusyaid (biografi no 1450), perawi ini oleh Ibnu Hibban dinyatakan sebagai
tersangka pemalsu hadits (muttaham biwadh’il hadits).
Sedangkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam telah disepakati
sebagai perawi yang dha’if, bahkan Al Hakim sendiri menyifatinya dalam
kitab Al Madkhal ila Ma’rifatis Shahihi minas Saqiem (1/154 no 97):
عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ: رَوَى
عَنْ أَبِيْهِ أَحَادِيْثَ مَوْضُوعَةً لاَ تَخْفَى عَلَى مَنْ تَأَمَّلَهَا مِنْ
أَهْلِ الصَّنْعَةِ أَنَّ الحَمْلَ فِيْهَا عَلَيْهِ
“Abdurrahman bin Zaid bin Aslam: dia
meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu yang bila diperhatikan oleh ahli
hadits, maka jelaslah bahwa pemalsuan tadi adalah perbuatannya”.
Jadi, jika kemudian Imam Al Hakim menshahihkan hadits
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam ini, berarti ucapannya telah kontradiksi satu
sama lain. Apalagi Al Hakim terkenal sebagai ulama yang
paling gampang menshahihkan hadits, hingga banyak dari hadits-hadits lemah
bahkan palsu yang beliau anggap shahih. Bahkan tidak ada ulama lain yang lebih
gampangan dalam menshahihkan hadits dari pada beliau.
Karenanya, penshahihan beliau terhadap hadits di atas mendapat kritikan oleh
para ulama. Demikian pula ulama-ulama lain yang mengikutinya dalam hal ini.[10]
Karenanya, sekumpulan ulama sepakat menganggapnya sebagai
hadits dha’if
bahkan maudhu’ (palsu), seperti Imam Al Baihaqy, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, Al Hafizh Adz Dzahabi, Al Hafizh Ibnu Hajar, dan Syaikh Al
Albani.[11]
Lebih dari itu, bunyi hadits di atas juga aneh dan
bertentangan dengan ayat Al Qur’an yang jelas-jelas mengatakan bahwa sebab diciptakannya
jin dan manusia tidak lain ialah untuk beribadah kepada Allah, lantas bagaimana
mungkin Allah mengatakan bahwa Adam –yang merupakan manusia pertama– diciptakan
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Rasulullah
adalah anak cucunya yang belum lagi terwujud?
Orang yang mempercayai hadits palsu dan dusta di atas,
kemudian meriwayatkannya dalam bukunya dan berdalil dengannya, berarti secara
tidak langsung dia mendustakan firman Allah dalam QS Adz Dzariyat: 56 yang
artinya:
“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.Orang ini secara tidak langsung juga ikut berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ (رواه مسلم في المقدمة)“Barangsiapa menyampaikan hadits dariku, padahal menurutnya hadits tersebut dusta, maka ia termasuk salah seorang pendusta” (HR Muslim dalam muqaddimah Shahihnya).
Kesimpulannya, hadits di atas adalah hadits palsu tanpa diragukan lagi. Seandainya ada sementara kalangan yang ngotot menshahihkan sanadnya, maka sebagaimana pembaca lihat, bunyi hadits tersebut tidak mungkin bisa diterima, karena konsekuensinya kita harus menganggap bahwa Allah tidak menciptakan Adam supaya beribadah kepada-Nya, akan tetapi Dia menciptakannya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
HADITS DHA’IF 3
Tawassul Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan seluruh Nabi [12]. Hadits tersebut bunyinya sebagai berikut:
اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ اِغْفِرْ لأُِمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَTerjemahannya: “Allah adalah yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan dan Dia Maha Hidup dan tidak akan pernah Mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad dan bimbinglah dia untuk mengucapkan hujjahnya serta luaskanlah kuburnya, dengan hak (kemuliaan) Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dari semua yang berjiwa kasih.”
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh ‘Abbas dan Abu Bakar Ash Shiddiq (HR. Thabrani).
Al Ghumari meng-hasankan hadits ini, sedangkan Ibnu Hibban
men-shahihkannya. Lalu katanya: “Dalam hadis di atas disebutkan dengan jelas
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertawassul dengan diri
beliau sendiri dan dengan semua Nabi sebelum beliau, yang semuanya telah
meninggal dunia kecuali Nabi Isa”.
Saya katakan: sebetulnya ada beberapa kesalahan di sini, pertama: hukum hadits
di atas tidak shahih disebutkan di situ bahwa dalam hadits ini ada perawi yang
namanya Rauh bin Shalah. Dia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Al
Hakim, dan ia memiliki kelemahan[13], demikian menurut Al
Haitsami[14].
Kedua, kalau
pun hadits di atas kita anggap hasan atau shahih, toh ia sama sekali tidak
menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para Nabi. Sebab dalam hadits tersebut
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “dengan hak
Nabi-Mu… dst”, Kemudian, kalau kita perhatikan terjemahan yang bergaris
bawah di atas, sebenarnya tidak ada masalah kalau kita memahaminya dengan
benar. Sebab yang dimaksud hak Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi sebelum beliau
adalah untuk ditaati atas seizin Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ [النساء/64]“Dan Kami tidaklah mengutus seorang Rasul pun melainkan agar ia ditaati dengan seizin Allah…(alias ittiba’) “ (An Nisa’: 64).
Jadi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
e bertawassul dengan hak beliau dan hak para Nabi sebelumnya, sebenarnya beliau
tidak bertawassul dengan dzat mereka yang sudah mati; akan tetapi bertawassul
dengan salah satu amal shaleh, yaitu menaati para Nabi dengan seizin Allah.
Dengan demikian, hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil yang membolehkan
orang hidup untuk tawassul dengan yang sudah mati.
HADIS DHOIF 4
1. Tawassul Para Sahabat Dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits tersebut terkenal dengan istilah “hadietsul a’ma” (haditsnya Si orang buta). Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi, lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Jawabnya, cerita yang diriwayatkan Imam Ath Thabrani di atas adalah dha’if [2], berikut ini penjelasan Syaikh Al Albani setelah mentahkhrij hadits tersebut, beliau mengatakan: “Kesimpulannya, kisah ini dhaif dan munkar karena tiga hal: pertama, lemahnya hafalan perawi yang sendirian meriwayatkan cerita ini[3]; Kedua, adanya kontroversi matan hadits dari jalur perawi tersebut[4] dan ketiga, perawi tersebut menyelisihi perawi lainnya yang lebih tsiqah, yang tidak meriwayatkan cerita tersebut. Satu saja dari tiga hal di atas sudah cukup menjadikan hadits ini dha’if, lantas bagaimana jika ketiga-tiganya ada semua??[5]
2. Tawassul Sayidina Umar dengan Sayidina ‘Abbas
dalil kedua yang pernah di singgung sebelumnya. Yaitu hadits shahih yang tidak sharih, alias tidak berkaitan dengan topik yang dibahas. Ia mengatakan (hal 125-126):
“Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Sayidina ‘Umar berkata dalam doanya:
اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari). Tidak lama setelah itu, Allah menurunkan hujan kepada mereka semua.
Bila masalah ini telah kita fahami, maka ketahuilah bahwa tawassul-nya Sayidina ‘Umar dengan Sayidina ‘Abbas, sama sekali adalah yang diperbolehkan Makna hadits di atas ialah bahwa Umar dan para sahabat ketika mengalami paceklik di zaman Nabi, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta agar beliau mendoakan supaya turun hujan. Lalu sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar dan para sahabat beralih mendatangi ‘Abbas dan minta doa darinya.
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
[1]
Kalimat ini sengaja kami cetak tebal karena tidak sesuai sama sekali dengan
teks aslinya, bahkan merupakan bentuk penyimpangan makna hadits. Terjemahan
yang benar ialah: “dengan hak orang-orang yang berdoa atas-Mu”.. artinya mereka
yang berdoa punya hak atas Allah, yaitu agar doa mereka dikabulkan. Dari sini
jelaslah bahwa ini merupakan salah satu tawassul yang dibolehkan, yakni
tawassul dengan salah satu sifat Allah yaitu: mengabulkan doa, inipun kalau
hadits diatas kita anggap shahih.
[2]
Diantara ulama yang mendha’ifkan haditsnya ialah Imam An Nawawy dalam kitab Al Adzkar, Ibnu
Taimiyyah dalam kitab Qa’idah
Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, Adz Dzahabi
dalam Mizanul I’tidal, bahkan beliau mengatakan dalam kitab Adh Dhua’afa bahwa
‘Athiyyah ini: disepakati atas kedhaifannya. Demikian pula dengan Al Haitsami
dalam Majma’uz Zawaid sering kali mendha’ifkan hadits karena pada
sanadnya terdapat ‘Athiyyah Al ‘Aufy (lihat At Tawassul, tulisan Syaikh
Al Albani hal 93).
[3] Lihat biografinya dalam
Tahdzibut Tahdzib oleh Ibnu Hajar 7/201, cet. Darul Fikr.
[4] Pembahasan
selengkapnya mengenai hadits ini dapat anda lihat dalam Silsilah Adh Dha’ifah 1/82
oleh Syaikh Al Albani.
[6]
Seperti pendahulunya, semua hadits yang dia sebutkan dalam masalah ini
berkaitan dengan salah satu bentuk tawassul bid’i yang
menjadi ciri khas orang-orang sufi. Tawassul semacam ini hukumnya menurut
sementara ulama adalah bid’ah & wasilah kepada syirik, karena hal ini tidak
pernah dipraktekkan oleh para salaf. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai syirik, sebab orang yang bertawassul kepada orang
yang tidak hadir bersamanya, atau yang telah wafat, berarti ia meyakini bahwa
orang tersebut pendengarannya mencakup segala sesuatu hingga bisa mendengar
doanya dari kejauhan, seakan-akan ia menyamakannya dengan Allah yang Maha
Mendengar.
[7]
Ungkapan ini juga tidak sesuai dengan teks aslinya, persis seperti penyimpangan
makna yang dilakukan penulis pada hadits sebelumnya.
[9]
Yaitu kitab yang memuat keterangan mengenai perawi-perawi yang dikategorikan dha’if (lemah), dan
semisalnya. Kitab ini kemudian dikoreksi oleh Ibnu Hajar dengan sedikit
penambahan, komentar dan sebagainya dalam kitab beliau: Lisanul Mizan.
[10]
Lihat: Qa’idah Jalilah
fit Tawassul wal Wasilah, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal
127. Dalam bukunya (hal 121), Novel mengatakan bahwa hadits ini di antaranya
dishahihkan oleh Al Haitsami. Ini adalah kekeliruan, sebab Al Haitsami justru
mengatakan bahwa pada sanad haditsnya terdapat perawi-perawi yang tidak beliau
ketahui keadaannya.
[12]
Mana Dalilnya 1, hal 121-122.
[13]
Dengan mengingat bahwa Ibnu Hibban dan Al Hakim termasuk ulama yang gampang
menshahihkan hadits. Hal ini sangat
masyhur di kalangan orang yang berkecimpung di dunia musthalah hadits –yang merupakan fakultas kami di Univ.
Islam Madinah–, namun agaknya Saudara Novel tidak jujur dalam hal ini Dia
sengaja mengabaikan perkataan Al Haitsami yang mendha’ifkan rawi tersebut,
namun ketika yang dikatakan Al Haitsami sesuai dengan keinginannya, maka Novel
menukilnya!!
[14]
Lihat: catatan kaki Al
Mu’jamul Kabir, Sulaiman bin Ayyub Ath-Thabrani, Juz
24 hal 351.
[15]
Lihat dalam lampiran.
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar