بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Mengingat kemunculan Khawarij itu bersifat terus menerus hingga
kemunculan Dajjal dan hakikat senyatanya dari diri mereka di berbagai
masa dan daerah tidaklah diketahui oleh sebagian kaum muslimin sehingga
sebagian orang Islam beranggapan bahwa Khawarij itu berada di atas
kebenaran. Sebagaimana sebagian orang yang hidup di masa salaf tidak
mengetahui hakikat mereka yang senyatanya. Karena itu suatu hal yang
vital adalah upaya membedakan antara mereka para Khawarij dengan para
pengikut Salaf Shalih. Terlebih lagi opini yang dibuat media massa yang
memiliki berbagai pandangan, tendensi dan pengetahuan sangat
mempengaruhi banyak orang. Kita saksikan bahwa media tidak bisa
membedakan antara salafi dengan takfiri [baca: khariji] yang ini tentu
saja sangat merusak citra dakwah salafiyyah. Akibatnya takfiri khariji
yang menyimpang dari dakwah salafiyyah dinilai sebagai salafi. Pemikiran
dan tindakan takfiri khariji pun dinilai sebagai bagian dari dakwah
salafiyyah. Kondisi ini menuntut kita untuk menegaskan perbedaan antara
dakwah salafiyyah dengan dakwah yang diusung oleh Khawarij yang main
vonis kafir seenaknya.
Pertama, ulama kontemporer yang dijadikan sebagai
rujukan. Terdapat perbedaan yang nyata antara salafi dengan takfiri
dalam masalah ini. Rujukan salafi dalam memahami al Qur’an dan sunnah
Nabi di samping berbagai riwayat dari ulama salaf dan pemahaman ulama
terdahulu adalah penjelasan para ulama besar di zaman ini semisal Ibnu
Baz, Al Albani, Ibnu Utsaimin, Lajnah Daimah KSA, Syaikh Abdul Muhsin al
Abbad dan para ulama lain yang meniti jejak para ulama tersebut.
Sedangkan takfiri tokoh kontemporer yang mereka jadikan sebagai
rujukan adalah Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Abu Muhammad al Maqdisi, Abu
Qatadah al Falistini, Abu Bashir ath Thurthusi dan orang-orang yang
sejalan dan satu pemikiran dengan mereka-mereka.
Kedua, sanad dakwah salafiyyah itu bersambung dengan
para ulama salaf terdahulu baik dalam masalah ilmu ataupun pemahaman.
Para salafi selalu berupaya mengambil akidah dan jalan beragama mereka
dari para ulama terdahulu lalu ulama sebelum sampai berakhir pada para
ulama salaf terdahulu. Tidaklah Anda jumpai sebuah kaedah yang dianut
oleh para salafi melainkan berdalil dengan al Qur’an , sunnah dan
riwayat para salaf yang kaedah tersebut dikutip dari generasi ke
generasi hingga pada akhirnya sampai kepada kita.
Sedangkan takfiri kontemporer dengan beragam alirannya sanad keilmuan
mereka tidaklah sampai kepada para ulama salaf namun hanya berakhir
pada Jamaah Takfir wal Hijrah, Jamaah Jihad dan JI yang muncul pada
tahun 70-an. Para takfiri itu tumbuh berkembang dari rahim ide-ide
Sayyid Qutb. Sedangkan Sayyid Qutb pada awalnya terdidik oleh ajaran IM
yang didirikan oleh Hasan al Banna pada tahun 1928. Meski pada akhirnya
Sayyid Qutb memisahkan diri secara pemikiran dari pemikiran IM.
Ketiga, dakwah salafiyyah menjaga keotentikan jalan
beragamanya dan kesuciannya dari noda berbagai pemikiran baru yang mau
masuk ke dalam tubuh dakwah. Sesungguhnya slogan dakwah salafiyyah
terkait dengan masalah agama adalah “hati-hatilah dengan berbagai
perkara agama yang baru karena semua perkara agama yang baru adalah
bidah sedangkan semua bidah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Dakwah salafiyyah berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kebaikan yang
sempurna kecuali jika sejalan dengan syariat sebagaimana perkataan Imam
Malik “Tidaklah akan baik generasi akhir umat Muhammad kecuali dengan hal yang membuat baik generasi awalnya”.
Sedangkan takfiri, tokoh kontemporer mereka yang paling menonjol itu
tumbuh berkembang dan terdidik tidak dengan manhaj salaf. Itulah Sayyid
Qutb yang tumbuh besar sebagai pengikut IM yang kemudian membuat aliran
tersendiri (baca: Qutbi) dalam jamaah IM.
Sedangkan Aiman azh Zhawahiri pertama kali tumbuh besar –sebagaimana pengakuannya sendiri-bersama Jamaah Jihad pada sekitaran tahun 1966 M di saat terbentuknya generasi awal Jamaah Jihad setelah terbunuhnya Sayyid Qutb.
Sedangkan Aiman azh Zhawahiri pertama kali tumbuh besar –sebagaimana pengakuannya sendiri-bersama Jamaah Jihad pada sekitaran tahun 1966 M di saat terbentuknya generasi awal Jamaah Jihad setelah terbunuhnya Sayyid Qutb.
Sedangkan Abu Muhammad al Maqdisi sendiri memberikan pengakuan bahwa dirinya tumbuh berkembang bersama para pembesar IM yang menyuapinya dengan Fi Zhilal al Qur’an, Ma’alim fit Thariq dan buku-buku Sayyid Qutb yang lain, buku-buku Muhammad Qutb serta karya-karya al Maududi.
Mereka-mereka inilah tokoh intelektual bagi pemikiran atau aliran takfiri kontemporer. Semua mereka tumbuh berkembang tidak di atas manhaj salaf shalih. Mereka ingin mencampur kebatilan yang telah mereka yakini dengan kebenaran yang mereka lihat pada manhaj salaf maka yang terjadi adalah manhaj (jalan beragama) oplosan. Sehingga jalan beragama mereka bukanlah salafiyyah namun mereka juga tidak lagi asli sebagaimana dahulu kala. Realita sesungguhnya adalah munculnya manhaj atau jalan beragama oplosan yang merupakan hasil dari pencampuran dua jalan dengan pencampuran yang unik.
Hasil investigasi dari realita keadaan dan jejak-jejak mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah bagian dari salafi dalam masalah-masalah yang di dalamnya mereka menyelisihi salafi sebagaimana khawarij masa silam dan ahli bidah yang lain bukanlah termasuk salaf dalam perkara-perkara yang di dalamnya mereka menyelisihi ajaran salaf.
Keempat, manhaj salaf dalam metode memperbaiki kondisi masyarakat tegak di atas prinsip tashfiyyah dan tarbiyyah sejalan dengan firman Allah,
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Yang artinya, “Sesungguhnya Allah itu tidak akan mengubah kondisi suatu masyarakat sampai masyarakat tersebut mengubah kondisi mereka sendiri” [QS ar Ra’du:11].
Langkah awal proses perbaikan adalah memperbaiki diri sendiri dari
akidah bobrok diganti dengan akidah yang lurus, meninggalkan berbagai
ibadah dan perkataan yang bid’ah diganti dengan komitmen terhadap sunnah
dalam perkataan atau pun perbuatan baik dari sisi lahiriah ataupun sisi
batiniahnya, meninggalkan berbagai perilaku yang menyimpang serta
melaksanakan apa yang menjadi tuntunan keadaan yang ada di zamannya
sesuai dengan kondisi dan kemampuannya masing-masing. Jika setiap muslim
telah mewujudkan hal tersebut pada dirinya masing-masing maka proses
perbaikan akan menjalar kepada orang lain dengan cara yang lebih baik.
Sehingga tersebarlah iman dan keamanan lalu terwujudlah kekuasaan yang
Allah janjikan kepada orang-orang yang beriman dalam QS an Nur:55.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa meniti metode tashfiyyah dan
tarbiyyah dalam proses memperbaiki masyarakat adalah sebuah kekalahan
bahkan kesesatan dan penyimpangan karena jalan yang wajib ditempuh untuk
memperbaiki berbagai penyimpangan yang ada di masyarakat adalah dengan
mengubah para penguasanya dan ini tidak akan terwujud kecuali dengan
kudeta dan memerangi penguasa dengan kedok jihad.
Kelima, salafi menghormati dan memuliakan para
ulama. Salafi terkenal meneladani jejak salaf dalam menghormati para
ulama karena membicarakan para ulama ahli sunnah dan mencela mereka
tidaklah mungkin terjadi melainkan ada tendensi mencela manhaj kenabian
yang mereka titi.
Kebalikan dari sikap di atas adalah sikap takfiri yang jelas
tergambar pada sikap tokoh-tokoh mereka. Telah masyhur bagaimanakah
celaan, caci maki dan pelecehan para tokoh takfiri terhadap para ulama
dakwah salafiyyah. Abu Muhammad al Maqdisi dalam artikelnya ‘Zillu Himar al Ilmi fi ath Thin’
(Terperosoknya Keledai Ilmu dalam Kubangan Lumpur) menggelari para
ulama anggota Haiah Kibar Ulama KSA terutama Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
alu Syaikh dan para ulama yang lain sebagai ‘Keledai Ilmu’, ‘Ulama
Sesat’, ‘semakin buta dan kelewat batas’, ‘menyimpang dari kebenaran dan
keluar dari tauhid’, ‘berpihak kepada thaghut dan kemusyrikan’ dst.
Sedangkan Aiman azh Zhawahiri menyebut Ibnu Baz, Abu Bakr al Jazairi dll sebagai ‘nama yang menggema namun kosong karena tenggelam dalam kemunafikan di depan para thaghut’, ‘orang-orang yang merobohkan dan menghancurkan akidah para pemuda, membenarkan kekafiran para tiran, orang-orang yang memusuhi amar makruf nahi munkar’, ‘sesungguhnya
Ibnu Baz dan rombongannya adalah para ulama penguasa yang menjual kita
kepada musuh dengan mendapatkan gaji dan jabatan meski ada orang yang
marah atau pun suka dengan sebutan ini untuknya’.
Celaan para takfiri ini terhadap para ulama ahli sunnah bukanlah
dilatarbelakangi oleh konflik personal namun motivatornya adalah
perbedaan akidah dan jalan beragama antara salafi dengan takfiri yang
merupakan khawarij kontemporer.
Keenam, ajaran salaf adalah ajaran Islam yang benar.
Tolak ukur pengikut ajaran salaf adalah realita yang sesuai dengan
ajaran Islam dan penerapan terhadap berbagai aturan Islam bukan hanya
semata-mata pengakuan lisan sebagai seorang salafi.
Salafi berkeyakinan bahwa tidak ada perbedaan antara Islam yang benar yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para shahabat dalam berbagai bidang dalam agama baik dalam bidang ilmu, amal, dakwah, usaha perbaikan masyarakat dan jihad dengan dakwah salafiyyah yang putih jernih. Semakin serius seorang salafi melaksanakan berbagai aturan Allah di berbagai bidang dalam agama maka semakin sempurnalah komitmen dirinya terhadap manhaj salaf. Seorang yang semakin sembrono terhadap aturan syariat adalah seorang yang semakin jauh dari salafiyyah yang sebenarnya. Jadi muslim sejati itu sama dengan salafi sejati dan sebaliknya adalah sebaliknya. Oleh karena itu salafi tidaklah membedakan diri dengan muslim yang lain dalam ilmu, dakwah, usaha perbaikan masyarakat atau pun jihad.
Salafi berkeyakinan bahwa tidak ada perbedaan antara Islam yang benar yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dipraktekkan oleh para shahabat dalam berbagai bidang dalam agama baik dalam bidang ilmu, amal, dakwah, usaha perbaikan masyarakat dan jihad dengan dakwah salafiyyah yang putih jernih. Semakin serius seorang salafi melaksanakan berbagai aturan Allah di berbagai bidang dalam agama maka semakin sempurnalah komitmen dirinya terhadap manhaj salaf. Seorang yang semakin sembrono terhadap aturan syariat adalah seorang yang semakin jauh dari salafiyyah yang sebenarnya. Jadi muslim sejati itu sama dengan salafi sejati dan sebaliknya adalah sebaliknya. Oleh karena itu salafi tidaklah membedakan diri dengan muslim yang lain dalam ilmu, dakwah, usaha perbaikan masyarakat atau pun jihad.
Sedangkan orang-orang takfiri mereka menyadari bahwa mereka itu berbeda dengan dakwah salafiyyah yang murni dalam banyak poin.
Mereka juga menyadari bahwa sebutan salafi tanpa embel-embel itu dalam benak orang awam ataupun orang-orang terpelajar identik dengan para ulama besar salafi semisal Al Albani, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan para ulama ahli sunnah lain yang mereka cela dan mereka sesatkan.
Oleh karena itu, mereka tidak mau mengaku sebagai salafi tanpa embel-embel karena mereka menyadari dampak dari pengakuan semacam ini. Oleh karena itu mereka tambahkan kata-kata jihad yang sebenarnya mereka sangat jauh dari jihad yang benar dalam nama salafi untuk sebutan bagi diri mereka sehingga mereka menyebut diri mereka sebagai salafi jihad. Padahal hasil investigasi menunjukkan bahwa mereka itu tidaklah meniti jejak para ulama salafi baik yang terdahulu maupun yang belakangan. Yang benar mereka membisniskan kata-kata jihad untuk menarik simpati hati kaum muslimin yang merasa mantap untuk meniti manhaj salaf shalih. Jadi mereka menambahkan kata-kata jihad pada nama salafi untuk bisa menebar pemahaman mereka yang sudah terkontaminasi dan untuk mewujudkan kepentingan mereka.
Mereka juga menyadari bahwa sebutan salafi tanpa embel-embel itu dalam benak orang awam ataupun orang-orang terpelajar identik dengan para ulama besar salafi semisal Al Albani, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan para ulama ahli sunnah lain yang mereka cela dan mereka sesatkan.
Oleh karena itu, mereka tidak mau mengaku sebagai salafi tanpa embel-embel karena mereka menyadari dampak dari pengakuan semacam ini. Oleh karena itu mereka tambahkan kata-kata jihad yang sebenarnya mereka sangat jauh dari jihad yang benar dalam nama salafi untuk sebutan bagi diri mereka sehingga mereka menyebut diri mereka sebagai salafi jihad. Padahal hasil investigasi menunjukkan bahwa mereka itu tidaklah meniti jejak para ulama salafi baik yang terdahulu maupun yang belakangan. Yang benar mereka membisniskan kata-kata jihad untuk menarik simpati hati kaum muslimin yang merasa mantap untuk meniti manhaj salaf shalih. Jadi mereka menambahkan kata-kata jihad pada nama salafi untuk bisa menebar pemahaman mereka yang sudah terkontaminasi dan untuk mewujudkan kepentingan mereka.
Antara Pilihan Ulama Salafi dengan Para Tokoh Takfiri
Terdapat sikap yang jelas dari para ulama salaf terhadap Khawarij di
masa silam dalam permasalahan iman, vonis kafir dan penguasa. Demikian
pula terdapat sikap yang jelas dari para ulama salafi kontemporer
terhadap takfiri dan pendapat-pendapat mereka dalam berbagai
permasalahan.
Bahkan kita bisa memastikan dan menegaskan bahwa tidak dijumpai bagian dari kaum muslimin saat ini yang lebih banyak membantah pemikiran takfiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang salafi. Para ulama besar salafi telah mengeluarkan ratusan fatwa, artikel, ceramah dan buku yang menjelaskan kesesatan takfiri yang sering kali bohong-bohongan mengaku-aku sebagai salafi.
Bahkan kita bisa memastikan dan menegaskan bahwa tidak dijumpai bagian dari kaum muslimin saat ini yang lebih banyak membantah pemikiran takfiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang salafi. Para ulama besar salafi telah mengeluarkan ratusan fatwa, artikel, ceramah dan buku yang menjelaskan kesesatan takfiri yang sering kali bohong-bohongan mengaku-aku sebagai salafi.
Berikut ini penjelasan singkat tentang sikap salafi terhadap berbagai lontaran permasalahan yang disampaikan oleh takfiri.
Pertama, salafi berkeyakinan bahwa menjadikan hukum
manusia sebagai aturan mengikat di masyarakat adalah perbuatan haram
yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kekafiran kecil yang tentu
saja tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam kecuali jika diiringi
keyakinan bolehnya atau lebih baiknya menggunakan hukum manusia yang
bertentangan dengan hukum Allah. Ketentuan ini berlaku untuk penguasa
dan rakyat jelata.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa menggunakan hukum manusia itu
menyebabkan kafirnya para penguasa dan keluarnya mereka dari Islam.
Vonis kafir hanya mereka arahkan kepada penguasa, tidak kepada rakyat
biasa.
Kedua, salafi berkeyakinan bahwa loyal dengan orang
kafir itu beragam. Ada yang berstatus kekafiran besar, ada pula yang
berstatus kekafiran kecil tergantung bentuk loyalitas dan keyakinan
muslim yang memberikan loyalitas tersebut kepada orang kafir.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa semua bentuk loyal kepada orang
kafir itu sama yaitu berstatus kekafiran besar yang mengeluarkan
pelakunya dari Islam dengan tutup mata terhadap bersihnya keyakinan
orang yang memberikan loyalitas kepada orang kafir tersebut.
Ketiga, salafi berkeyakinan bahwa meminta tolong
kepada orang kafir dalam peperangan menghadapi musuh kaum muslimin yang
sejalan dengan kaedah-kaedah dan syarat yang berlaku itu status hukumnya
beraneka ragam tergantung bentuk real dari permintaan tolong yang
dilakukan, boleh jadi kekafiran besar, kefasikan (baca: dosa besar),
maksiat biasa ataupun boleh tergantung bentuk dari permintaan tolong,
sikon yang ada dan pertimbangan manfaat dan bahaya yang mungkin terjadi.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa meminta tolong kepada orang
kafir dalam peperangan itu termasuk meminta tolong yang menyebabkan
kafirnya orang yang minta tolong dan keluar dari Islam tanpa mengakui
adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Keempat, salafi berkeyakinan bahwa orang yang terus
menerus melakukan dosa besar atau meninggalkan ketaatan yang hukumnya
wajib seperti orang yang terus menerus tidak membayar zakat atau makan
riba adalah orang fasik, bukan kafir, berhak mendapatkan ancaman yang
Allah berikan di akherat meski pada akhirnya masuk ke dalam surga.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa orang yang terus menerus
bermaksiat meski tidak menganggap bolehnya maksiat yang dia kerjakan
adalah orang kafir, murtad, keluar dari Islam, berhak mendapatkan
ancaman dan di akherat kekal di neraka.
Kelima, salafi berkeyakinan bahwa orang yang
terjerumus dalam kemusyrikan atau kekafiran akbar itu tidak bisa divonis
sebagai orang kafir kecuali oleh ulama yang memiliki ilmu yang mendalam
atau hakim dan haram atas selain mereka mengeluarkan vonis kafir kepada
individu tertentu karena vonis kafir itu termasuk permasalahan yang
memerlukan ijtihad berkaitan dengan pemastian apakah individu
tertentu itu memang telah melakukan kekafiran ataukah tidak, demikian
pula menimbang faktor penghalang dan berbagai syarat untuk menjatuhkan
vonis kafir. Hal-hal di atas tidaklah mungkin terwujud kecuali pada
orang-orang yang memiliki kapabelitas dalam masalah tersebut. Itulah
para ulama dan orang yang tugasnya menekuni permasalahan semisal ini
(baca: hakim). Jadi dalam masalah vonis kafir salafi membedakan antara
vonis untuk perbuatan dan vonis untuk pelaku.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa orang yang terjerumus dalam
kekafiran besar yang nyata atau pun kemusyrikan besar personnya wajib
divonis kafir oleh semua kaum muslimin tanpa membedakan antara vonis
untuk perbuatan dengan vonis untuk pelaku. Bahkan sebagian mereka
memvonis kafir orang yang tidak meyakini kafirnya orang jenis ini
berdasarkan kaedah yang diletakkan tidak pada tempatnya ‘Siapa saja yang tidak menyakini kafirnya orang yang kafir maka dia sendiri adalah orang yang kafir’.
Keenam, salafi berkeyakinan bahwa masyarakat yang
ada saat ini yang individu-individunya mengaku sebagai seorang muslim
adalah masyarakat Islam meski ada di dalam masyarakat tersebut berbagai
pelanggaran syariat dan berbagai bentuk kemaksiatan. Masyarakat Islam
itu bertingkat-tingkat kesempurnaannya berbanding lurus dengan komitmen
masyarakat tersebut terhadap ajaran Islam. Demikian pula masyarakat
Islam yang ada itu bertingkat-tingkat kejelekannya selaras dengan
seberapa besar pelanggarannya terhadap syariat.
Adapun takfiri berkeyakinan bahwa masyarakat Islam yang ada saat ini
adalah masyarakat jahiliah bahkan sebagian mereka sudah berani memvonis
bahwa masyarakat Islam saat ini adalah masyarakat kafir.
Ketujuh, salafi berkeyakinan bahwa muslim yang
menjadi penguasa negeri-negeri kaum muslimin yang saat ini baik dengan
status raja, amir, presiden dan menteri adalah wali amri
(baca:penguasa) yang wajib ditaati selama memerintahkan kebaikan dan
baru tidak boleh ditaati manakala memerintahkan rakyat untuk bermaksiat.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa para penguasa yang ada di berbagai
negeri kaum muslimin saat ini seluruhnya adalah orang-orang kafir dan
murtad sehingga tidak boleh ditaati.
Kedelapan, salafi berkeyakinan bahwa muslim yang
menjadi bagian dari aparat pemerintahan yang ada di berbagai negeri kaum
muslim baik berstatus sebagai tentara, polisi atau jenis aparat
keamanan lainnya adalah orang-orang Islam yang memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana umumnya kaum muslimin.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa semua unsur aparat keamanan adalah orang-orang kafir, murtad dan keluar dari agama Islam.
Kesembilan, salafy berkeyakinan haramnya memberontak
terhadap penguasa kaum muslimin baik dengan bentuk senjata, omongan
ataupun tulisan. Sedangkan penguasa yang non muslim, bolehnya
memberontak terhadap mereka itu terkait oleh berbagai kaedah dan syarat.
Tidak ada yang bisa merinci permasalahan ini melainkan ulama yang
menekuni bidang ini.
Sebaliknya, takfiri berkeyakinan bahwa memberontak terhadap para
penguasa yang ada di berbagai negeri kaum muslimin adalah termasuk
bentuk jihad fi sabilillah yang paling besar baik dengan senjata jika memungkinkan, dengan omongan ataupun dengan tulisan.
Kesepuluh, salafi berkeyakinan bahwa wilayah yang
dihuni oleh kaum muslimin saat ini dan penguasanya penguasa muslim
adalah negeri Islam sehingga haram hukumnya berhijrah meninggalkannya
untuk berpindah ke negeri kafir.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa negeri-negeri Islam yang ada saat
ini adalah negara kafir dan murtad. Oleh sebab itu, mereka membolehkan
hijrah darinya untuk menetap di negeri kafir. Bahkan negeri kafir asli
itu menurut mereka lebih baik dibandingkan negeri murtad dalam pandangan
mereka yang sebenarnya adalah negeri kaum muslimin.
Kesebelas, salafi menyakini bahwa orang kafir asli saat ini ada empat macam, kafir dzimmi, harbi, mu’ahad dan musta’man.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa orang-orang kafir yang ada di zaman ini hanya satu jenis saja yaitu kafir harbi. Oleh karena itu mereka tidak mengakui adanya kafir mu’ahad, musta’man dan dzimmi.
Kedua belas, salafi berkeyakinan bahwa harta kaum
muslimin itu haram diganggu kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan
oleh syariat. Demikian pula harta orang kafir itu hanya dibolehkan untuk
diambil mana kala mereka adalah kafir harbi.
Sedangkan takfiri meyakini bahwa harta orang-orang kafir dan orang
Islam yang mereka vonis kafir adalah harta yang mubah bagi mereka bahkan
mereka menilai harta tersebut sebagai ghanimah atau harta rampasan perang.
Ketiga belas, salafi menyakini bahwa orang yang
wajib diperangi saat ini adalah orang-orang kafir harbi dan orang Islam
yang menjadi pemberontak terhadap penguasa muslim yang sah.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa yang wajib adalah memerangi
orang-orang kafir dan orang Islam yang mereka vonis sebagai orang
murtad.
Keempat belas, salafi menyakini bahwa jihad jika wajib dalam kondisi tertentu itu harus di bawah komando penguasa muslim.
Sedangkan takfiri berkeyakinan bahwa berperang di bawah komando
penguasa di negeri mereka itu tidak sejalan dengan syariat karena para
penguasa tersebut menurut mereka adalah orang-orang kafir dan murtad.
Kelima belas, salafi menyakini bahwa jihad fi
sabilillah yang paling agung adalah jihad yang pada dasarnya terjadi
antara kaum muslimin dengan kafir harbi.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa jihad fi sabilillah yang paling
agung adalah jihad melawan para penguasa negeri kaum muslimin dan aparat
keamanan karena mereka beranggapan bahwa jihad terhadap orang murtad
itu lebih utama di sisi Allah dibandingkan jihad terhadap kafir asli.
Keenam belas, salafi meyakini terjaganya darah kaum
muslimin secara mutlak demikian pula semua orang yang hartanya dijaga
oleh syariat yaitu kafir dzimmi, musta’man dan mu’ahad sehingga tidak
boleh menumpahkan darah mereka dalam kondisi apapun sampai-sampai meski
dalam kondisi jihad yang syar’i kecuali jika dalam kondisi terpaksa.
Sedangkan takfiri meyakini bahwa darah kaum muslimin dan orang kafir
yang sebenarnya darahnya terjaga itu boleh ditumpahkan meski dalam
kondisi tidak terpaksa. Oleh karena itu, kita jumpai mereka secara umum
bermudah-mudah melakukan aksi pembunuhan terhadap kaum muslimin dengan
melakukan pengeboman dan pengusalan berbagai sarana umum.
Ketujuh belas, salafi meyakini haramnya mengganggu
darah orang-orang yang menyelisihi mereka dari kalangan cendikiawan,
orang-orang sekuler dan orang-orang nasionalis serta orang-orang media
yang merusak meski mereka memiliki pemikiran yang bernilai kekafiran
karena vonis kafir untuk orang-orang tersebut adalah urusan hakim dan
memberikan hukuman kepada orang-orang yang bersalah adalah wewenang
penguasa.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa mereka semua adalah para pengrusak
yang wajib dipenggal kepalanya dan mereka menilai bahwa upaya memenggal
kepala mereka adalah bagian dari jihad.
Kedelapan belas, salafi meyakini haramnya berbagai
tindakan pengeboman yang bertujuan membunuh dan menghancurkan harta
orang-orang yang darah dan hartanya terjaga menurut syariat.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa berbagai aksi pengeboman baik di
negeri kaum muslimin atau pun negeri kafir adalah bagian dari jihad fi
sabilillah.
Kesembilan belas, salafi menyakini haramnya berbagai
aksi bunuh diri dalam bentuk apapun karena tindakan bunuh diri itu
haram berdasarkan berbagai dalil syariat dan kesepakatan para ulama.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa aksi-aksi bunuh diri itu bagian
dari upaya meraih gelar syuhada yang dibenarkan oleh syariat dan
melakukannya adalah salah satu bentuk jihad fi sabilillah.
Kedua puluh, salafi menyakini haramnya berbagai bentuk demonstrasi dan people power karena
hal tersebut terhitung sarana bid’ah dalam melakukan upaya perbaikan
kondisi masyarakat di samping karena adanya berbagai penyimpangan
syariat di dalamnya semisal campur baur laki-laki dan perempuan,
penjarahan harta benda dan penumpahan darah.
Sedangkan takfiri menyakini demonstrasi sebagai sarana yang sejalan
dengan aturan syariat untuk melakukan perbaikan bahkan bagian dari jihad
fi sabilillah.
Kedua puluh satu, salafi meyakini dibenarkannya
peran serta (baca: nyoblos) dalam pilkada atau pun pemilihan calon
legislative pusat dengan syarat dan ketentuan yang telah diketahui untuk
memilih yang terbaik bagi kaum muslimin. Sedangkan ulama salafi yang
melarang nyoblos dan mereka minoritas dibandingkan dengan ulama yang
membolehkannya tidaklah mengatakan bahwa alasan tidak bolehnya nyoblos
adalah kafir dan murtadnya orang yang ikut nyoblos.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa dewan legislative adalah majelis
kekafiran yang membuat undang-undang padahal hanya Allah yang boleh
membuat aturan sehingga memilah caleg (baca: nyoblos pemilu) itu
bagaikan memilih pembuat aturan selain Allah sehingga yang kafir karena
sebab nyoblos adalah dua orang yaitu pemilih dan yang dipilih.
Kedua puluh dua, salafi meyakini tanzhim hizbi
termasuk sarana bidah yang menyebabkan adanya baiat kepada selain
penguasa kaum muslimin, fanatik terhadap kelompok dan hanya loyal yang
seutuhnya kepada sesama anggota kelompok tidak dengan seluruh kaum
muslimin.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa tanzhim hizbi adalah bentuk dari
persiapan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, kita jumpai mereka
mewajibkan taat penuh kepada pemimpin kelompok karena para pemimpin
kelompok tersebut dianggap sebagai pemimpin yang sah menurut syariat
sehingga berhak untuk dibaiat padahal baiat hanya diberikan kepada
penguasa.
Kedua puluh tiga, salafi meyakini dibenarkannya
mengikuti pendidikan formal dengan harapan meningkatan kualitas
pendidikan dan wawasan individu serta masyarakat diiringi komitmen untuk
menghindari berbagai pelanggaran syariat yang menyertai pendidikan
jenis ini dan memandu pendidikan jenis ini dengan berbagai pakem-pakem
syariat.
Sedangkan takfiri menyakini bahwa di antara bentuk persiapan jihad
adalah menghindari pendidikan formal karena pendidikan formal itu
menyebabkan pengrusakan terhadap akal generasi muda, bertolak belakang
dengan akidah, tauhid dan syariat serta melalaikan dari cita-cita
teragung yaitu menyiapkan para panglima perang jago kuda. Anggapan
semisal ini telah ditegaskan oleh ulama rujukan para takfiri yaitu Abu
Muhammad al Maqdisi dalam bukunya ‘I’dad al Qodah al Fawaris bi Hujran Fasad al Madaris’
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar