Bahaya Manhaj Takfiri !

0 komentar
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Diantara aqidah menyimpang yang banyak berkembang di Negara kita adalah aqidah atau pemahaman ‘takfiri’. Yaitu satu pemahaman yang sangat bermudah-mudahan memberikan vonis kafir kepada orang lain. Aqidah ini merupakan warisan dari kaum Khowarij yang mana termasuk kegemaran mereka sangat bermudah-mudahan dalam urusan ini. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keyakinan ahlus sunnah yaitu para pendahulu kita yang shalih dan orang-orang setelahnya yang berjalan di atas jalan mereka, yang mereka tidak mengkafirkan orang tertentu dari kaum Muslimin yang melakukan sesuatu yang di nilai sebagai kekafiran kecuali setelah adanya hujjah yang nyata. [lihat Al Wajiz fi Aqidatis Salafis Shalih Ahlis Sunnati wal Jamaah 97 Maktabah Syamilah]

Seseorang yang telah terbukti keislamanya secara meyakinkan maka keislaman tersebut tidaklah hilang hanya dengan keragu-raguan. Jika kita melihat seorang Muslim yang terlihat dengan pasti tanda-tanda keislamanya, seperti shalat, puasa, zakat dan yang lainya maka tidak boleh kita memvonisnya dengan sebutan kafir atau sejenisnya sebelum terlihat jelas kekafiranya, bukan karena sekedar sesuatu yang belum jelas atau sekedar kira-kira.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh tuduhannya itu akan kembali terarah kepada salah seorang di antara mereka berdua.”Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Apabila sebagaimana apa yang dia katakan -maka dia tidak bersalah- akan tetapi apabila tidak sebagaimana yang dia tuduh maka tuduhan itu justru kembali kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim[2/126-127] dan Shahih Bukhari, hal. 1254)
Maksud dari ‘tuduhan itu justru kembali kepadanya’ adalah sebagaimana yang diterangkan oleh al-’Aini rahimahullah, yaitu, “Apa yang diucapkannya justru terarah kepada dirinya sendiri, karena orang yang dia kafirkan ternyata benar imannya (tidak kafir).” Sehingga maknanya adalah kalau tuduhannya itu tidak terbukti kebenarannya maka sesungguhnya dia telah mengkafirkan dirinya sendiri (lihat ‘Umdat al-Qari [22/245] pdf)

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-’Aql berkata, “Takfir/penjatuhan vonis kafir adalah perkara yang diatur dalam hukum syari’at acuannya adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Maka tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ucapan atau perbuatannya selama dalil syari’at tidak menunjukkan atas kekafirannya. Dengan disebutkannya istilah hukum kafir -secara umum- atas suatu ucapan atau perbuatan itu tidak secara otomatis menunjukkan jatuhnya vonis kafir tersebut -secara khusus- kepada orang tertentu -yaitu pelakunya- kecuali apabila syarat-syarat -pengkafiran- itu sudah terpenuhi dan penghalang-penghalangnya tersingkirkan. Takfir merupakan hukum yang sangat berbahaya resikonya, oleh sebab itu wajib meneliti segalanya/tatsabbut dan berhati-hati di dalam menjatuhkan vonis kafir ini kepada seorang muslim.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 19 pdf)

Berikut ini ada beberapa catatan penting seputar takfir yang semestinya diperhatikan:
  1. 1. Pedoman dan tempat rujukan dalam hal takfir ini adalah Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu al-Kitab dan as-Sunnah)
  2.  
  3. 2. Orang yang terbukti keislamannya dengan meyakinkan maka keislamannya itu tidak lenyap darinya kecuali dengan bukti yang meyakinkan pula
  4.  
  5. 3. Tidak setiap ucapan atau perbuatan -yang disebut oleh dalil sebagai bentuk kekafiran- menjadi kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama. Sebab kekafiran itu ada dua macam: kufur asghar dan kufur akbar. Maka menerapkan hukum terhadap ucapan atau perbuatan tersebut hanya bisa dilakukan dengan mengikuti metode ulama Ahlus Sunnah dan aturan-aturan yang telah mereka terangkan
  6.  
  7. 4. Tidak boleh menjatuhkan hukum takfir kepada seorang muslim pun kecuali orang yang ditunjukkan dengan jelas dan gamblang mengenai kekafirannya oleh dalil al-Kitab dan as-Sunnah, sehingga dalam hal ini tidak cukup berlandaskan kepada syubhat/perkara yang masih samar ataupun sekedar zhann/dugaan
  8.  
  9. 5. Terkadang disebutkan di dalam al-Kitab ataupun as-Sunnah sesuatu yang dipahami bahwa ucapan, perbuatan, atau keyakinan tertentu sebagai kekafiran. Maka tidak boleh semata-mata berdasarkan hal itu kemudian dengan serta merta menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang kecuali apabila telah ditegakkan hujjah kepadanya: yaitu dengan terpenuhinya syarat-syarat -dalam keadaan dia mengetahui, sengaja, dan atas dasar pilihannya sendiri- dan juga dengan hilangnya penghalang-penghalang -untuk dikafirkan- yaitu perkara-perkara yang menjadi lawan dari syarat-syarat tersebut (artinya; dia tidak jahil, dalam keadaan sadar, dan tidak terpaksa) (lihat lebih lengkap dalam Mujmal Masa’il al-Iman al-’Ilmiyah fi Ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18). Allahul musta’aan

والله أعلمُ بالـصـواب


Posting Komentar