Sesungguhnya mencela ulama’ dan
menghina mereka merupakan jalannya orang yang menyimpang dan sesat. Yang
demikian itu karena sesungguhnya mencela ulama bukanlah celaan terhadap
diri-diri mereka, akan tetapi itu adalah celaan terhadap agama, dakwah
yang mereka emban, dan agama yang mereka anut.
Mencela ulama hukumnya haram karena mereka termasuk muslimin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى شَهْرِكُمْ هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah-darah kalian,
harga diri – harga diri kalian, haram atas kalian sebagaimana haramnya
hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” ( Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya 8/198 dan Muslim di dalam Shahihnya 5/108 ).
Dan bertambah keharamannya karena mencela
ulama merupakan tangga yang mengantarkan untuk mencela agama. Dan ini
adalah yang diinginkan oleh ahlu bid’ah yang mencela pendahulu umat ini
dan ulamanya yang mengikuti mereka dengan baik. Jalan dan sebab-sebab
yang diukur dengan tujuan dan mengikuti hukum tujuan yang dituju.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata: “Disaat tujuan itu tidaklah tercapai kecuali dengan
sebab-sebab dan jalan-jalan yang mengantarkan padanya, jadilah sebab dan
jalan tersebut mengikuti hukumnya, dan diukur dengannya. Perantara
perkara yang haram dan maksiat terkait dengan dibencinya dan
dilarangnya, hal tersebut sesuai dengan kadar besarnya dia bisa
mengantarkan pada tujuannya dan sesuai dengan besarnya keterkaitan
dengan perkara yang dituju. Perantara perkara ketaatan dan amal baik
terkait dengan dicintainya dan dijinkannya sesuai dengan kadarnya dia
bisa mengantarakan pada tujuannya. Maka perantara kepada suatu maksud
mengikuti hukumnya yang dimaksud. Keduanya sama-sama yang dimaksud hanya
saja yang ini dimaksudkan karena dia tujuannya adapun yang satu
dimaksudkan sebagai perantara. Jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu,
yang mana perkara tersebut memiliki jalan dan perantara yang
mengantarkan padanya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan
perantara tersebut dan melarangnya sebagai wujud pengharamkan perkara
tersebut dan pengkukuhan pengharamannya, serta pelarangan dari
mendekatinya. Kalau seandainya Allah Ta’ala membolehkan perkara yang
mengantarkan pada perkara haram tersebut maka hal itu akan membatalkan
pengharaman perkara tersebut, penghasutan terhadap jiwa. Dan hikmah
Allah Ta’ala serta ilmu llah Ta’ala jauh dari hal itu sejauh-jauhnya.”.
(I’lam Al-Muwaqi’in: 3/147).
Ketika para salaf memahami hal ini maka
mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang
zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa
pelecehan terhadap agama dan penghinaan sunnah pemimpin para rasul
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
Dari Mush’ab bin Abdillah berkata: “Abu
Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku: Berkata kepadaku
Amirul Mukminin Al-Mahdy: “Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang
orang yang merendahakan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Aku berkata: ” Dia orang zindiq”. Dia berkata: “Aku belum pernah dengar
seorangpun berkata demikian sebelummu.” Aku berkata: “Mereka adalah
kaum yang ingin merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti
mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi
anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan
mereka mengatakan: “Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek,
betapa jelek orang yang ditemani oleh orantg-orang yang jelek”. Maka dia
berkata: Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau
katakan.”. (Tarikh Baghdad: 10/174).
Demikian juga dikatakan oleh para ulama
salaf tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dan
orang-orang setelah mereka.
Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata:
إِذَا رَأَيتَ الرَّجُلَ يَغمِزُ حَمَّادَ بنَ سَلَمَةَ، فَاتَّهِمْهُ عَلَى الإِسْلاَمِ، فَإِنَّهُ كَانَ شَدِيْداً عَلَى المُبْتَدِعَةِ.
“Jika engkau lihat seseorang mencela
Hammad bin Salamah maka ragukanlah keislamannya. Sesungguhnya Hammad
sangat keras terhadap ahlul bid’ah.” (As-Siyar: 13/499).
Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata:
إذا رأيت الرجل يتكلم في حماد بن سلمة وعكرمة مولى ابن عباس فاتهمه على الإسلام
“Jika engkau lihat seseorang mencela
Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah
keislamannya.” ( Syarah Ushul ‘Itiqad 1/514 ).
Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.
Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata:
حقٌّ عَلَى العَاقِلِ أَنْ لاَ يَسْتَخفَّ بِثَلاَثَةٍ:العُلَمَاءِ وَالسَّلاَطِيْنِ وَالإِخْوَانِ، فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ، وَمَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنيَاهُ، وَمَنِ اسْتَخَفَّ بِالإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوءتُهُ.
“Keharusan bagi seorang yang berakal
untuk tidak meremehkan tiga orang: Ulama, Penguasa dan saudara. Siapa
yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa
hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah
muru’ahnya.” (As-Siyar: 17/251).
والله أعلمُ بالـصـواب
Sumber : Makalah Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Pada Kajian Umum Ilmiyah Di PP Al-Ukhuwah Sukoharjo
Posting Komentar