Haramnya Mencela Ulama dan Meremehkan Mereka

0 komentar

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
 Sesungguhnya mencela ulama’ dan menghina mereka merupakan jalannya orang yang menyimpang dan sesat. Yang demikian itu karena sesungguhnya mencela ulama bukanlah celaan terhadap diri-diri mereka, akan tetapi itu adalah celaan terhadap agama, dakwah yang mereka emban, dan agama yang mereka anut.
Mencela ulama hukumnya haram karena mereka termasuk muslimin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى شَهْرِكُمْ هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harga diri – harga diri kalian, haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” ( Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya 8/198 dan Muslim di dalam Shahihnya 5/108 ).

Dan bertambah keharamannya karena mencela ulama merupakan tangga yang mengantarkan untuk mencela agama. Dan ini adalah yang diinginkan oleh ahlu bid’ah yang mencela pendahulu umat ini dan ulamanya yang mengikuti mereka dengan baik. Jalan dan sebab-sebab yang diukur dengan tujuan dan mengikuti hukum tujuan yang dituju.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Disaat tujuan itu tidaklah tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan jalan-jalan yang mengantarkan padanya, jadilah sebab dan jalan tersebut mengikuti hukumnya, dan diukur dengannya. Perantara perkara yang haram dan maksiat terkait dengan dibencinya dan dilarangnya, hal tersebut sesuai dengan kadar besarnya dia bisa mengantarkan pada tujuannya dan sesuai dengan besarnya keterkaitan dengan perkara yang dituju. Perantara perkara ketaatan dan amal baik terkait dengan dicintainya dan dijinkannya sesuai dengan kadarnya dia bisa mengantarakan pada tujuannya. Maka perantara kepada suatu maksud mengikuti hukumnya yang dimaksud. Keduanya sama-sama yang dimaksud hanya saja yang ini dimaksudkan karena dia tujuannya adapun yang satu dimaksudkan sebagai perantara. Jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, yang mana perkara tersebut memiliki jalan dan perantara yang mengantarkan padanya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan perantara tersebut dan melarangnya sebagai wujud pengharamkan perkara tersebut dan pengkukuhan pengharamannya, serta pelarangan dari mendekatinya. Kalau seandainya Allah Ta’ala membolehkan perkara yang mengantarkan pada perkara haram tersebut maka hal itu akan membatalkan pengharaman perkara tersebut, penghasutan terhadap jiwa. Dan hikmah Allah Ta’ala serta ilmu llah Ta’ala jauh dari hal itu sejauh-jauhnya.”. (I’lam Al-Muwaqi’in: 3/147).

Ketika para salaf memahami hal ini maka mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa pelecehan terhadap agama dan penghinaan sunnah pemimpin para rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
Dari Mush’ab bin Abdillah berkata: “Abu Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku: Berkata kepadaku Amirul Mukminin Al-Mahdy: “Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang orang yang merendahakan shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Aku berkata: ” Dia orang zindiq”. Dia berkata: “Aku belum pernah dengar seorangpun berkata demikian sebelummu.” Aku berkata: “Mereka adalah kaum yang ingin merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan mereka mengatakan: “Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek, betapa jelek orang yang ditemani oleh orantg-orang yang jelek”. Maka dia berkata: Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau katakan.”. (Tarikh Baghdad: 10/174).

Demikian juga dikatakan oleh para ulama salaf tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dan orang-orang setelah mereka.
Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata:

إِذَا رَأَيتَ الرَّجُلَ يَغمِزُ حَمَّادَ بنَ سَلَمَةَ، فَاتَّهِمْهُ عَلَى الإِسْلاَمِ، فَإِنَّهُ كَانَ شَدِيْداً عَلَى المُبْتَدِعَةِ.

“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah maka ragukanlah keislamannya. Sesungguhnya Hammad sangat keras terhadap ahlul bid’ah.” (As-Siyar: 13/499).
Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata:

إذا رأيت الرجل يتكلم في حماد بن سلمة وعكرمة مولى ابن عباس فاتهمه على الإسلام

“Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah keislamannya.” ( Syarah Ushul ‘Itiqad 1/514 ).
Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.
Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata:

حقٌّ عَلَى العَاقِلِ أَنْ لاَ يَسْتَخفَّ بِثَلاَثَةٍ:العُلَمَاءِ وَالسَّلاَطِيْنِ وَالإِخْوَانِ، فَإِنَّهُ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ، وَمَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنيَاهُ، وَمَنِ اسْتَخَفَّ بِالإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوءتُهُ.

“Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang: Ulama, Penguasa dan saudara. Siapa yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah muru’ahnya.” (As-Siyar: 17/251).

والله أعلمُ بالـصـواب
 
Sumber : Makalah Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Pada Kajian Umum Ilmiyah Di PP Al-Ukhuwah Sukoharjo


Posting Komentar