Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus/jin
yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu
adalah kebiasaan syirik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat
kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk
memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja,
sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen tersebut mereka
berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala
permohonan mereka dipenuhinya.
Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka
jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Qs. al-Jin: 6).
Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada
para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para
jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal),
bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain.[1]
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ
الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ
الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا
الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا
إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka
semuanya, (dan Dia berfirman), ‘Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya
kamu telah banyak (menyesatkan) manusia,’ lalu berkatalah teman-teman
dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir), ‘Ya
Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan
kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai
kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman,
‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya,
kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabb-mu Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’aam:128).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Jin (syaitan) mendapatkan
kesenangan dengan manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan
berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan
tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk
memuaskan keinginannya. Maka, orang yang menghambakan diri pada jin,
(sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.”[2]
.
Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam
.
Hukum Tumbal dan Sesajen dalam Islam
Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[3], adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ
أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu
baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (Qs. al-An’aam: 162-163).
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanla.” (Qs. al-Kautsar: 2).
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan
berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya
semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan
anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan
harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu
Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]
Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
(baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk
mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah
tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan
merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar
dari agama Islam (menjadi kafir).[5]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sembahan (selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya.”[6]
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.”[7]
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala
yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa
yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya.[8]
Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor
utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah
semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada
selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati
orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang
semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata.
Oleh karena itu, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan
remeh, bahkan seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan
dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk
perbuatan syirik besar.[9]
Dalam sebuah atsar dari sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu
beliau berkata,
“Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita).’ Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’ Tapi, orang itu enggan –dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala’–, maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak mempenyai sesuatu untuk dikurbankan.’ Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan), ‘Apalah artinya seekor lalat,’, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, –dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat– kemudian (di akhirat) dia masuk neraka.’”[10]
.
Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen
“Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan, ‘Tidak ada seorangpun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita).’ Maka, mereka berkata kepada orang yang pertama, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’ Tapi, orang itu enggan –dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allah Subhanahu wa Ta’ala’–, maka diapun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu, mereka berkata kepada orang yang kedua, ‘Kurbankanlah sesuatu (untuk berhala kami)!’, -dalam riwayat lain: orang itu berkata, ‘Aku tidak mempenyai sesuatu untuk dikurbankan.’ Maka mereka berkata lagi, ‘Kurbankanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!’, orang itu berkata (dengan meremehkan), ‘Apalah artinya seekor lalat,’, lalu diapun berkurban dengan seekor lalat, –dalam riwayat lain: maka merekapun mengizinkannya lewat– kemudian (di akhirat) dia masuk neraka.’”[10]
.
Hukum Berpartisipasi dan Membantu dalam Acara Tumbal dan Sesajen
Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual jahiliyyah
ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik
kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ
بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ
بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan
syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat
besar.” (Qs an-Nisaa’: 48).
Maka, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini
dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena
termasuk tolong-menolong dalam perbuatan maksiat yang sangat besar
kepada Allah, yaitu perbuatan syirik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Qs. al-Maaidah: 2).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling
tolong-menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini
adalah al-birr (kebajikan), dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang
mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan
tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.”[11]
Dan dalam hadits shahih tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya
ikut membantu serta mendukung perbuatan ini, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang
yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka
semua sama (dalam perbuatan dosa).”[12]
Imam an-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang
menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya
perbuatan) batil (maksiat).”[13]
.
.
Hukum Memanfaatkan Makanan/Harta yang Digunakan untuk Tumbal/Sesajen
Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh
dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena
hewan sembelihan tersebut dipersembahkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai.[14] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menafsirkan ayat ini, beliau
berkata, “Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah tidak boleh
dimakan dagingnya.”[15]
Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jika mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia (juga) mengharamkan harganya (diperjual-belikan).”[16]
“Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jika mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia (juga) mengharamkan harganya (diperjual-belikan).”[16]
Adapun jika makanan tersebut selain hewan sembelihan, demikian juga
harta, maka sebagian ulama ada yang mengharamkannya dan menyamakan
hukumnya dengan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala[17]
Akan tetapi pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allah,
adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang
membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan,
karena hukum asal makanan/harta tersebut adalah halal dan telah
ditinggalkan oleh pemiliknya.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “(Pendapat yang mengatakan) bahwa
uang (harta), makanan, minuman dan hewan yang masih hidup, yang
dipersembahkan oleh pemiliknya kepada (sembahan selain Allah, baik itu)
kepada Nabi, wali maupun (sembahan-sembahan) lainnya, haram untuk
diambil dan dimanfaatkan, pendapat ini tidak benar. Karena semua itu
adalah harta yang bisa dimanfaatkan dan telah ditinggalkan oleh
pemiliknya, serta hukumya tidak sama dengan bangkai (yang haram dan
najis), maka (hukumnya) boleh diambil (dan dimanfaatkan), sama seperti
harta (lainnya) yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk siapa saja yang
menginginkannya, seperti bulir padi dan buah korma yang ditinggalkan
oleh para petani dan pemanen pohon korma untuk orang-orang miskin.
Dalil yang menunjukkan kebolehan ini adalah (perbuatan) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika) beliau mengambil harta (yang dipersembahkan oleh orang-orang musyrik) yang (tersimpan) di perbendaharaan (berhala) al-Laata, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (memanfaatkannya untuk) melunasi utang (sahabat yang bernama) ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) tidak menganggap dipersembahkannya harta tersebut kepada (berhala) al-Laata sebagai (sebab) untuk melarang mengambil (dan memanfaatkan harta tersebut) ketika bisa (diambil).
Akan tetapi, orang yang melihat orang (lain) yang melakukan perbuatan
syirik tersebut (mempersembahkan makanan/harta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala),
dari kalangan orang-orang bodoh dan para pelaku syirik, wajib baginya
untuk mengingkari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada pelaku
syirik itu bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk syirik, supaya tidak
timbul prasangka bahwa sikap diam dan tidak mengingkari (perbuatan
tersebut), atau mengambil seluruh/sebagian dari harta persembahan
tersebut, adalah bukti yang menuinjukkan bolehnya perbuatan tersebut dan
bolehnya berkurban dengan harta tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena perbuatan syirik adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang paling
besar (dosanya), maka wajib diingkari/dinasihati orang yang
melakukannya.
Adapun kalau makanan (yang dipersembahkan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala)
tersebut terbuat dari daging hewan yang disembelih oleh para pelaku
syirik, maka (hukumnya) haram (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian
juga lemak dan kuahnya, karena (daging) sembelihan para pelaku syirik
hukumnya sama dengan (daging) bangkai, sehingga haram (untuk dimakan)
dan menjadikan najis makanan lain yang tercampur dengannya. Berbeda
dengan (misalnya) roti atau (makanan) lainnya yang tidak tercampur
dengan (daging) sembelihan tersebut, maka ini semua halal bagi orang
yang mengambilnya (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga uang dan
harta lainnya (halal untuk diambil), sebagaimana penjelasan yang lalu, wallahu a’lam.”[18]
.
Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
وعن
طارق بن شهاب، أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال: (دخل الجنة رجل في
ذباب، ودخل النار رجل في ذباب) قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟! قال: (مر
رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئاً، فقالوا لأحدهما قرب
قال: ليس عندي شيء أقرب قالوا له: قرب ولو ذباباً، فقرب ذباباً، فخلوا
سبيله، فدخل النار، وقالوا للآخر: قرب، فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئاً دون
الله عز وجل، فضربوا عنقه فدخل الجنة) [رواه أحمد]
“Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula.”
Para sahabat bertanya: “Bagaimana hal itu, ya Rasulallah. Beliau menjawab: “Ada dua orang berjalan
melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorangpun
melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban.
Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut: “Persembahkanlah kurban kepadanya”.
Dia menjawab: “Aku tidak mempunyai
sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya.”Merekapun berkata kepadanya
lagi: “Persembahkan, sekalipun hanya seekor lalat. Lalu orang tersebut
mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankan dia untuk
meneruskan perjalanannya. Maka dia masuk neraka karenanya.
Kemudian berkatalah mereka kepada seorang
yang lain: “Persembahkanlah kurban kepadanya.”Dia menjawab : Aku tidak
patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah ‘Azza wa
Jalla.” Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk
surga.” (HR. Ahmad)
DALIL - DALIL LARANGAN MENGIKUTI IBADAH NENEK MOYANG SECARA TAKLID TANPA ILMU
A L – B A Q A R A H (qs 2:170)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ
آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا
يَهْتَدُونَ
Artinya : Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab:
“(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan
tidak mendapat petunjuk?”
A L – M A A I D A H ( 5:104)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا
عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلا
يَهْتَدُونَ
Artinya : Apabila dikatakan kepada mereka:
“Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”.
Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak
kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang
mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidak (pula) mendapat petunjuk?
A L – A ‘ R A F 7:28.
وَإِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً قَالُوا
وَجَدْنَا عَلَيْهَا آبَاءَنَا وَاللَّهُ أَمَرَنَا بِهَا قُلْ إِنَّ
اللَّهَ لا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا
تَعْلَمُونَ
Artinya : Dan apabila mereka melakukan
perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami
mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.
Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan
yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui?
7:71
قَالَ قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُمْ مِنْ
رَبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ
سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ
سُلْطَانٍ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ
مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
Artinya : Ia berkata: “Sungguh sudah pasti
kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu”. Apakah kamu sekalian
hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan
nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan
hujah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga
termasuk orang yang menunggu bersama kamu”.
Y U N U S 10:78.
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِتَلْفِتَنَا عَمَّا
وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاءُ فِي
الأرْضِ وَمَا نَحْنُ لَكُمَا بِمُؤْمِنِينَ
Artinya : Mereka berkata: “Apakah kamu
datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati
nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai
kekuasaan di muka bumi? kami tidak akan mempercayai kamu berdua.”
Y U S U F 12:40
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلا
أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا
إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا
يَعْلَمُونَ
Artinya : Kamu tidak menyembah yang selain
Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang
nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
I B R A H I M 14:10.
قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللَّهِ شَكٌّ
فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَدْعُوكُمْ لِيَغْفِرَ لَكُمْ مِنْ
ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرَكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ
إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ
آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
Artinya : Berkata rasul-rasul mereka:
“Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia
menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan
menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?” Mereka berkata:
“Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki
untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu
disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti
yang nyata.
A L – K A H F I 18:5.
مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلا لآبَائِهِمْ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلا كَذِبًا
Artinya :Mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah
jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak
mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.
والله أعلمُ بالـصـواب
Sumber :DARI BERBAGAI SUMBER TERPERCAYA
Bagaimana Hukumnya perbuatan ini dikatakan apakah masih syirik, padahal ketika menyembelih biasanya penyembelih mengucapkan ‘Bismillah’?”
BalasHapusPendapat semacam ini tidak mengerti hakikat syirik, sebagaimana halnya ia tidak mengerti tentang tauhid. Dalam hal ini, hukum tidak hanya ditetapkan berdasarkan mengucapkan basmalah atau tidak. Namun, niat dan tujuan pun mengambil peran besar. Apalah arti kalimat basmalah yang diucapkan, apabila di dalam hati, seseorang yang menyembelih berniat dan bertujuan untuk mendekatkan diri, mengagungkan, menghormati, dan memohon pertolongan kepada makhluk. Ia berharap keinginannya terkabul, dan takut jika hal yang diinginkan tidak terwujud. Hatinya berpaling kepada selain Allah l.
HapusSyaikhul Islam t berkata, ”Telah diketahui bahwa sesuatu (hewan yang disembelih) yang diperuntukkan bagi selain Allah l yang disebutkan secara jelas adalah diharamkan. Demikian pula jika hanya diniatkan karena hal ini sama dengan niat-niat lain dalam ibadah. Meskipun dengan melafadzkan lebih kuat, namun yang menjadi hukum asal adalah tujuan.” (al-Iqtidha, hlm. 286)
Syaikhul Islam t berkata, ”Dengan demikian, jika dia menyembelih hewan untuk selain Allah l dalam rangka mendekatkan diri, hal tersebut diharamkan meskipun dia mengucapkan ‘bismillah’, sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok kaum munafik umat ini. Mereka adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada para wali dan bintang-bintang dengan cara menyembelih serta membakar dupa, atau yang semisalnya.” (al-Iqtidha hlm. 291)
Ash-Shan’ani t berkata, ”Apabila orang tersebut beralasan bahwa ia menyembelih dan menyebut nama Allah atasnya, jawablah, ‘Jika memang sembelihan tersebut untuk Allah l, apa alasannya engkau mendekatkan hewan sembelihanmu di pintu kubur orang yang engkau pilih dan engkau yakini? Apakah engkau ingin mengagungkannya?’ Jika ia menjawab, ‘Ya,’ sampaikanlah kepadanya, ‘Penyembelihan ini untuk selain Allah l. Bahkan, engkau telah mempersekutukan Allah l bersama yang lain. Jika engkau tidak ingin mengagungkannya, apakah engkau ingin mengotori pintu kubur dan menyebabkan najisnya orang-orang yang masuk ke dalamnya?! Engkau, sebenarnya mengetahui secara yakin bahwa pada dasarnya engkau tidak menginginkan hal tersebut. Engkau tidak berniat selain niat yang pertama. Tidak pula engkau keluar meninggalkan rumahmu selain untuk tujuan tersebut dan untuk berdoa kepada mereka.’ Hal yang mereka lakukan ini adalah kesyirikan, tanpa diragukan sedikitpun.” (Tathhirul I’tiqad hlm. 72—73)
Asy-Syaikh ar-Rajihi menambahkan dalam catatan kaki, “Karena sebagian kaum musyrikin terkadang mengucapkan ‘bismillah.’ Apabila dia mengucapkan ‘bismillah’—namun dengan hewan sembelihan tersebut dia bermaksud taqarrub (mendekatkan diri) kepada penghuni kubur, jin, malaikat, atau yang lain—dia adalah pelaku kesyirikan. Meskipun dia mengucapkan ‘bismillah’ seribu kali, tidak ada gunanya karena yang menjadi ukuran adalah keyakinan dan tujuan, bukan sekadar pengucapan.”
ada pendapat prosesi selamatan itu adalah bentuk syukur nelayan karena mendapatkan hasil tangkapan ikan yang cukup menggembirakan selama setahun terakhir bagaimana pendaspat ustad?
BalasHapusMelihat alasan sebagian mereka bahwa ritual -ritual tersebut adalah bentuk syukur, ada beberapa hal yang janggal dan aneh yang patut dipertanyakan.
Hapus1. Benarkah pawai budaya dan larung sesaji sebagai tanda syukur?
2. Seperti itukah Islam mengajarkan untuk bersyukur?
3. Syukur adalah ibadah. Adakah tuntunan dari Rasulullah n untuk bersyukur dalam bentuk larung sesaji?
Islam menentukan bentuk-bentuk syukur dengan sempurna dan lengkap. Syukur diwujudkan dengan hati, lisan, dan perbuatan anggota badan. Semuanya harus dilakukan dengan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah l dan dibimbingkan oleh Rasulullah n. Tidak ada satu pun ayat dan hadits yang menjelaskan bentuk syukur dalam bentuk pawai budaya dan larung sesaji. Di masa hidup Nabi Muhammad n, sering dan terlalu banyak kenikmatan yang diberikan oleh Allah l, padahal wilayah Islam luas membentang, menyeberang lautan, menguasai sungai dan daratan. Namun, beliau n tidak pernah mencontohkan perbuatan larung sesaji! Ini jika Islam dijadikan tolok ukur berpikir.
Alasan lain, Sumber Pendapatan Daerah
Alasan lain untuk tetap mengadakan tradisi ritual dalam bentuk sesaji, menyembelih hewan tertentu, adalah sebagai objek wisata dan sumber pendapatan daerah. Contohnya adalah acara Pati Ka Ata Mata, Ritual di Puncak Kelimutu, Kawasan Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Bentuknya adalah upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal.
Prosesi ritual diawali oleh sembilan mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional membawa sesaji ke dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji. Sesaji yang dipersembahkan adalah nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur.
Setelah pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para mosalaki, para pengunjung kemudian ditawari oleh mosalaki untuk turut menikmati sesaji sebagai tanda bersukaria bersama para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan gawi, menari bersama para mosalaki tersebut mengelilingi tugu batu.
Sejumlah pelaksana ritual mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur—selain untuk menolak bala, juga agar wilayah Ende dijauhkan dari bencana serta disuburkan alamnya sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan puncak Danau Kelimutu adalah tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (pere konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.
Kegiatan ini digelar sebagai bentuk pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun, pemberian makan kepada leluhur yang hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung, atau suku, kini menjelma menjadi upacara adat di puncak Kelimutu yang melibatkan suku-suku Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin setiap tahun. Tradisi ini juga menjadi agenda pariwisata Ende.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka perbuat! Apakah lubang dan lorong sempit kesyirikan dijadikan sebagai sumber pendapatan? Perilaku durhaka dan sikap menantang Dzat Pencipta dipilih sebagai jalan untuk meraih kemakmuran dunia? Tidak! Tidak akan mungkin! Justru bencana dan malapetaka yang akan dituai. Kesempitan hidup dan kebinasaan yang akan menjemput.
Seandainya penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa, niscaya berkah dari langit dan bumi akan dibuka seluas-luasnya.
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (al-A’raf: 96)