Penanggalan Kalender Islam Hijriyah

0 komentar

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Pada bulan Rabi’ul Awal tahun 16 H, Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu memulai pencatatan penanggalan Islam, dan beliau adalah orang yang pertama memulai pencatatan tersebut. Sebabnya adalah pada suatu hari Umar diberikan suatu dokumen/ akte pencatatan hutang piutang antara seorang pemuda dan yang lainnya, yang akan jatuh tempo pada bulan Sya’ban, maka Umar bertanya; Sya’ban yang mana? Apakah Sya’ban tahun ini? Atau tahun sebelumnya, atau tahun sesudahnya?
Mengingat pentingnya perkara ini, Umar segera mengumpulkan kaum muslimin untuk meminta pendapat mereka, dan mengatakan : “Buatlah sesuatu yang bisa membuat manusia mengetahui kapan mereka akan membayar dan menerima hutang piutang mereka!”
Sebagian mereka menyarankan untuk membuat tanggal seperti orang-orang Persia, yang mana mereka membuat penanggalan dengan berpatokan pada kematian raja-raja mereka, setiap kali seorang raja mati, maka pencatatan yang baru akan dimulai sesuai dengan naiknya raja yang baru. Akan tetapi mayoritas mereka tidak menyukai cara ini. Sebagian lagi mengusulkan agar dibuat penanggalan sesuai dengan perhitungan Romawi, dari raja Iskandar (Alexander), namun pendapat ini juga tidak mereka sukai, sebagian lagi mengusulkan, buatlah penanggalan yang dimulai sejak lahirnya Nabi, sebagian lagi mengatakan, sejak diutusnya Nabi.
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar membuat penanggalan yang dimulai sejak hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah, karena jelasnya perkara ini bagi semua orang, dan lebih jelas daripada hari lahir dan hari diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Pendapat ini dianggap baik oleh Umar dan para shahabat yang lain, sehingga Umar memerintahkan untuk membuat penanggalan / kalender Islam yang dimulai sejak hijrah Nabi dan dimulai dengan bulan Muharam.
Sebagian ulama, seperti Al Imam Malik menganggap awal tahun adalah Rabi’ul awal, karena pada bulan itulah Nabi sampai ke Madinah. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat awal tahun adalah pada bulan Muharam, karena ini lebih sesuai, karena bulan Muharam adalah bulan awal perhitungan Arab. (lihat Al bidayah wan nihayah 73-74/7).
Maka dimulailah pada tahun itu (16 tahun setelah hijrah Nabi) pencatatan penanggalan Islam yang diawali semenjak hijrah Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam hingga sampai masa kita sekarang 1435 Hijriah.
Demikanlah Umar & para shahabat mereka mengetahui bahwa Islam mempunyai ciri khas tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan umat lain dalam berbagai sisi, sebagai umat yang terbaik yang pernah ada diantara manusia.


Nama-nama bulan pada kalender Hijriah

Dari Abu Bakrah Nufai’ bin Al Harits, berkata Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti masa Allah menciptakan langit dan bumi, tahun mempunyai 12 bulan, 4 diantaranya adalah bulan haram (yang bulan haram tersebut) tiga diantaranya berurutan, yaitu Dzulqo’idah, Dzulhijjah, dan Al Muharram, dan (1 satu lagi) bulan Rajab berada diantara bulan Jumadil Tsani dan Sya’ban.” (Al Muttaffaqun ‘alaihi Al Bukhori 4662, Muslim 1679).
Berkata Asy Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah, sesungguhnya bulan itu ada 12, yaitu Muharram, Shofar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir/Tsani, Jumadil ‘Ula, Jumadi Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqo’dah, Dzulhijjah. (Syarh Riyadhussholihin 525/1).
Manfaat Mengetahui Kalender Hijriah
Seperti yang kita sebutkan diatas, bahwa umat Islam adalah umat yang mempunyai ciri khas dan peradaban tersendiri, bahkan memiliki keistimewaan tersendiri dibanding umat yang sebelumnya. Akan tetapi banyak kaum muslimin yang telah meninggalkan keistimewaan dan ciri khas Islam tersebut, semisal kalender Islam ini. Padahal dengan menghidupkan kalender Islam ini akan membuat mereka mengingat peristiwa-peristiwa penting dimasa kejayaan Islam, dan mengikat mereka dengan berbagai macam ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Contoh-contoh ibadah tersebut sebagai berikut:
1. PUASA-PUASA SUNNAH
- Puasa pada bulan-bulan haram

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ
Artinya: “Sebaik-sebaik puasa setelah ramadhan adalah bulan Allah Al Muharram dan sebaik-baik sholat setelah sholat wajib adalah sholat LAIL“.
Bulan Al Muharram yang diinginkan disini bisa berupa bulan Al Muharram yang diawal tahun dan juga bisa bulan-bulan haram yang empat menurut keterangan para ulama’.
- Puasa Asyura 9 & 10 Muharram.
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Artinya: Nabi ditanya tentang puasa Asyura, beliau berkata “Aku berharap kepada Allah (bahwa puasa tersebut) menghapus dosa setahun sebelumnya“. (HR.Muslim 1134).
- Puasa pada 9 hari pertama Dzulhijjah, berakhir pada tanggal 9 yaitu puasa arafah.

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَه
Artinya : Nabi ditanya tentang puasa arafah, dan beliau berkata “Aku berharap pada Allah (bahwa puasa tersebut) menghapus dosa setahun sebelum dan sesudahnya“
- Puasa pada hari-hari bid (putih), yaitu pada tanggal 13, 14, 15 setiap bulannya. Seperti diperintahkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Tirmidzi.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ صَامَ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْر
Artinya : “Siapa yang puasa tiga hari setiap bulan maka seperti puasa setahun penuh” (HR .Tirmidzi no.7622) dalam riwayat lain:

فَصُمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ، وَخَمْسَ عَشْرَة
Artinya: “Puasalah pada tanggal 13, 14, 15” (HR.Tirmidzi no.7621)

Dan puasa-puasa sunnah yang lainnya yang terkait dengan penanggalan hijriah, yang tidak bisa kami sampaikan semuanya disini.

  1. . HARI RAYA IDUL FITRI DAN IDUL ADHA
  2. . PUASA RAMADHAN
  3. . HAJI PADA BULAN-BULAN HARAM

Dinamakan dia bulan haram karena manusia dilarang untuk berperang pada bulan-bulan tersebut. Dahulunya pada masa jahiliyah mereka menunaikan umrah pada bulan Rajab, sehingga jadilah bulan Rajab diharamkan, seperti Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan al Muharram.
Jika kita lihat contoh yang singkat ini dapat kita bayangkan bagaimana jika kaum muslimin benar-benar meninggalkan penanggalan Islam, maka tentu akan hilanglah bagi mereka momen-momen penting ibadah mereka.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menganugerahkan pahala yang besar kepada Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat lainnya, yang telah memprakarsai penanggalan Islam ini.

HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARU ISLAM

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah (anggota Haiah Kibaril Ulama Saudi Arabia wafat tahun 1421 H/ 2001 M) pernah ditanya tentang hukum perayaan tahun baru Islam, kemudian beliau menjawab; “Pengkhususan hari, bulan, atau tahun sebagai hari raya, harus kembali kepada ketentuan hukum syar’i, bukan kepada adat. Oleh karena itulah ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dalam keadaan mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari raya yang mereka bersenang-senang padanya. Maka berkata Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Hari apa ini?” Mereka mengatakan “Ini adalah dua hari raya yang kami bersenang-senang padanya dimasa jahiliyah.” Maka berkata Rasulullah “Sesungguhnya Allah telah mengganti bagi kalian dengan dua hari raya yang lebih baik dari pada itu, Idul Adha dan Idul Fitri”


Kalau seandainya hari raya dalam Islam mengikuti adat kebiasaan tentu setiap manusia akan menjadikan hari-hari penting sebagai hari raya, maka jadilah hari raya syar’i menjadi tidak ada faedahnya.

Dan ditakutkan perbuatan menjadikan awal tahun sebagai hari raya / perayaan adalah mengikuti kepada nasrani, maka ini akan menjadikan perayaan tahun baru pada bulan Muharram menjadi mempunyai bahaya yang lain. (yaitu menyerupai kaum kafir; pen) (Majmu’ Fatawa wa rosail 203/16).
Allahu ‘alam bis showab. (Ditulis oleh Al Ustad Abu Khuzaimah

Maraji / Referensi :
1. Al bidayah wan nihayah, Ibnu Katsir, cetakan (versi syamilah).
2. Syarh Riyadhussholihin Ibnu Utsaimin, cetakan Darul Atsar Mesir
3. Syarhul Mumti’ Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, cetakan Daar Ibnul Jauzi Saudi Arabia
4. Majmu’ Fatawa wa Rosail Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, cetakan (versi syamilah)


والله أعلمُ بالـصـواب

Sumber : daarulhaditssumbar.or.id




Posting Komentar