Bidah Manaqib

0 komentar
Salah satu acara ritual yang menjadi tradisi sebagian masyarakat adalah manaqiban. Selain memiliki aspek seremonial, manaqiban juga memiliki aspek mistikal. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata ‘manaqib’ (bahasa Arab), yang berarti biografi, kemudian ditambah dengan akhiran ‘an’ (bahasa Indonesia) menjadi manaqiban yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi) Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, seorang wali yang sangat legendaris di Indonesia.

Kalau dilihat secara ilmiah kitab manaqib itu memang tidak istimewa. Tetapi tampaknya dalam kehidupan para penganut tarekat, manaqiban merupakan kegiatan ritual yang tidak kalah sakralnya dengan ritual-ritual lain. Bahkan manaqiban ini dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat dan santri pedesaan di Pulau Jawa dan Madura.

Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi silsilah nasab Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya, di samping itu tercantum juga doa-doa bersajak (nadham) yang bermuatan pujian dan tawassul  (berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala  melalui perantaraan ) Syaikh ‘Abdul Qodir.

Harapan para pengamal manaqib untuk mendapat keberkahan dari pembacaan manaqib ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani adalah quthb al-’auliya (wali quthub) yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang. Hal ini dapat dipahami dari sya’ir berikut:
عِبَادَ اللهِ رِجَالَ اللهْ      أَغِيْثُـوْنَا لأَجْـلِ اللهْ
 وَكُوْنُوْا عَوْننَاَ لِلَّهْ       عَسَى نَحْظَى بِفَضْلِ اللهْ
عَلَى اْلكَافِيْ صَلاَةُ اللهْ عَلَى الشَّافِيْ سَلاَمُ اللهْ
بِمُحْيِ الدِّيْنِ خَلِّصْنَا     مِنَ اْلبَلْــوَاءِ يَا اَللهْ
وَيَا أَقْطَابْ وَيَا أَنْجَابْ وَيَا سَادَاتْ وَيَا أَحْبَابْ
وَأَنْتُمْ يَاأُولِي اْلأَلْبَابْ    تَعَالَوْا وَانْصُرُوْا لِلَّهْ
سَأَلْنَاكُمْ سَأَلْنَاكُمْ                   وَلِلزُّلْفَى رَجَوْنَاكُمْ
وَفِيْ أَمْرٍ قَصَدْنَاكُمْ      فَشُدُّوْا عَزْمَكُمْ للهْ
Artinya:
“Wahai para hamba Alloh dan tokoh-tokohnya Alloh…
tolonglah kami karena Alloh.
Jadilah tuan semua penolong kami karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala …
semoga kami berhasil meraih karunia Alloh.
Shalawat Alloh semoga terlimpah atas al-Kafi (yang mencukupi yakni Rosululloh Shallallahu alaihi wa sallam ), dan semoga keselamatan dari Alloh terlimpah atas asy-Syafi (yang menyembuhkan yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam).
Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul Qodir)…
lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah wahai Alloh…
Wahai para wali quthub, wahai orang-orang yang baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…
Dan kalian wahai orang-orang yang berakal sempurna…
kemarilah dan tolonglah kami karena Alloh.
Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada kalian…
Karena kedekatan (kalian di sisi Alloh ) kami mengharap kepada kalian.
Untuk suatu perkara kami menghadapkan diri kepada kalian…
maka kencangkanlah tekad kalian (untuk menolong kami) karena Alloh.”

Tetapi dari sekian banyak muatan mistis dan legenda tentang Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, yang paling dianggap istimewa dan diyakini memiliki berkah besar dalam upacara manaqiban adalah karena dalam kitab manaqib terdapat silsilah nasab Syaikh. Dengan membaca silsilah nasab ini seseorang akan mendapat berkah yang sangat banyak.

Secara umum diterimanya ritual manaqiban ini oleh para Kiai di Indonesia dan di Jawa khususnya, karena di dalam manaqib disebut-sebut nama para nabi dan orang-orang sholih, khususnya pribadi Syaikh sendiri. Hal tersebut diyakini sebagai suatu amal sholih (kebaikan), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

ذِكْرُ اْلأَنْبِيَاءِ مِنَ اْلعِبَادَةِ وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ الْمَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ اْلقَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ .
“Mengingat para Nabi adalah ibadah, mengingat orang-orang sholih adalah kafarat (penghapusan dosa), mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke  surga.” (HR. ad-Dailami).

Disamping karena motifasi kafarat (penghapusan dosa) tersebut, kebanyakan masyarakat pengamal manaqib pun meyakini bahwa ritual manaqiban mendatangkan banyak manfaat seperti kesuksesan usaha, terkabulnya doa, dan berkah-berkah lain sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Pelaksanaan manaqiban di dalam masyarakat biasanya diadakan dalam rangka selamatan, tasyakuran dan kegiatan-kegiatan penting lainnya.

Para pengamal manaqiban meyakini bahwa ritual ini adalah suatu wasilah (syari’at) agar hajatnya tercapai dan terkabul. Di saat pembacaan manaqib sebagian jamaah menghadirkan botol-botol berisi air yang diletakkan di depan guru dengan keyakinan bahwa air yang telah dibacai manaqib tersebut akan membawa keberkahan.

BEBERAPA CATATAN PENTING DALAM RITUAL MANAQIB
Di dalam ritual manaqiban ini terdapat beberapa kemungkaran yang membuatnya bukan termasuk amal sholih apalagi diyakini bisa membawa keberkahan. Kemungkaran-kemungkaran tersebut di antaranya ialah:
  1. Ber-istighatsah kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani dan para wali dalam memohon pertolongan dan dilepaskan dari kesulitan. Dengan kata lain meminta dan berdoa kepada Syaikh.
Hal itu terlihat jelas dalam bait-bait berikut:

“Wahai para hamba Alloh dan tokoh-tokohnya Alloh…
tolonglah kami karena Alloh.
Jadilah tuan semua penolong kami karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala
semoga kami berhasil meraih maksud dengan  keutamaan Alloh.
Wahai para wali quthub, wahai orang-orang yang baik, wahai para tuan-tuan dan para kekasih…
Dan kalian wahai orang-orang yang berakal sempurna,
kemarilah dan tolonglah kami karena Alloh.
Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada kalian…
Karena kedekatan (kalian di sisi Alloh ) kami mengharap kepada kalian.
Untuk suatu perkara kami menghadapkan diri kepada kalian,
maka kencangkanlah tekad kalian (untuk menolong kami) karena Alloh.”

Padahal berdoa dan istighatsah adalah hak Alloh semata dan hanya boleh ditujukan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.  Berdoa termasuk salah satu ibadah, dan ibadah hanya boleh dipersembahkan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya. Bukankah seorang Muslim dalam setiap shalatnya berikrar di hadapan Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah [1]: 5).

Lantas mengapa di luar shalat ia meminta kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala? Bukankah ini suatu pelanggaran atas ikrar tersebut?
Sesungguhnya menyeru kepada selain Alloh adalah suatu kezhaliman yang besar. Alloh   berfirman:

Dan janganlah kamu memohon kepada kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Alloh; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zhalim.(QS. Yunus [10]: 106).

Sebenarnya orang-orang yang telah meninggal itu tidak tahu menahu dan tidak sadar bahwa ada sebagian orang yang memohon kepadanya. Oleh karena itu, memohon kepada para wali quthub yang telah wafat adalah bukti akan kelemahan akal pelakunya. Ia berpaling dari Dzat Yang Maha Mendengar lagi Mengabulkan doa lalu meminta kepada seorang hamba yang tidak mendengar doa orang-orang yang meminta kepadanya. Adakah kelemahan akal yang lebih parah dari ini? Perhatikanlah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut:

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa  kepada sesembahan-sesembahan selain Alloh yang tiada dapat memperkenankan (doanya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka. “ (QS. Al-Ahqaaf [46]: 5).

Tawassul kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan seorang sholih yang telah meninggal dalam artian menjadikan seseorang sebagai perantara dalam doanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala adalah suatu kesyirikan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam. Ia bukanlah tawassul meskipun para pengamalnya menamakan itu sebagai tawassul. Renungkanlah peringatan Alloh berikut ini:

“Barangsiapa yang memohon di samping Alloh sesembahan yang lain padahal tidak ada hujjah baginya, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada akan beruntung.” (QS. al-Mukminun [23]: 117)

“Dan orang-orang yang kalian mohon selain Alloh mereka tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, maka mereka tiada mendengar seruan kalian; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaan kalian. Dan di hari kiamat kelak mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui.” (QS. Fathir [35]: 13-14).

AllohSubhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini, bahwa hanya Dia-lah yang Maha Berkuasa dan Mampu mengurus segala sesuatu, bukan selain-Nya. Dan bahwasanya para sesembahan itu tidak dapat mendengar doa, apalagi untuk mengabulkan doa tersebut. Kalaupun seandainya mereka dapat mendengar, maka mereka tidak akan mampu mengabulkannya, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau menolak mudharat.
Jika di dalam ritual manaqiban tersebut tidak terdapat kemungkaran selain ini, yaitu ber-istighotsah dan berdoa kepada selain Alloh, niscaya ini sudah cukup menjadi alasan yang sangat kuat untuk meninggalkan tradisi ini. Karena, kesyirikan adalah suatu kemungkaran terbesar dan kezhaliman terberat. Semua dosa masih mungkin diampuni oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala selain syirik. Sedangkan syirik, jika pelakunya tidak bertaubat sampai meninggalnya, maka surga diharamkan baginya. Renungkanlah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutu-kan Alloh, maka sungguh Alloh mengharamkan baginya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. al-Ma’idah [5]: 72)
1 ,Adanya ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam menyanjung dan memposisikan Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani. Ini bisa dilihat jelas oleh siapapun  yang membaca dan memahami kitab manaqib.
2 .Hukum mengadakan ritual dan peringatan semacam manaqiban ini tidak berbeda dengan hukum memperingati maulid NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu terlarang. Karena, hal ini termasuk menambahkan sesuatu yang baru dalam agama. Sedangkan hal ini dilarang keras dalam syariat Alloh dan Rasul-Nya.
3. Bertawassul dengan kedudukan atau kemuliaan Syaikh dalam berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun ini bukan termasuk syirik akan tetapi ia adalah suatu bid’ah dan sarana menuju kesyirikan. Tawassul tersebut di antaranya pada bait berikut:
“Dengan kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul Qodir)… lepaskanlah kami dari berbagai macam musibah ya Alloh…”

Catatan penting:
Jika ada yang berkata, “Kami meminta kepada mereka adalah agar mereka berdoa kepada Alloh untuk kami. Sebenarnya kami tidaklah meminta kepada mereka, akan tetapi meminta supaya mereka mendoakan kami.”
Jawabannya: Hal ini adalah kesesatan dan kebodohan, karena mayit-mayit itu tidaklah mampu memperkenankan permintaan kalian, artinya mereka tidaklah mampu berdoa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar mengabulkan permintaan kalian, karena manusia itu apabila telah meninggal maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.
Dari Abu Huroiroh Radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Maka mereka tidak memiliki amal sama sekali setelah meninggal dan tidak pula bisa berdoa untuk mereka setelah meninggal, dan mereka tidak dapat mengabulkan doa bagi seorang pun.
Jika ada yang berkata, “Bukankah ‘Umar Radiyallahu ‘anhu pernah bertawassul dengan Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu pada saat terjadinya kemarau panjang dan ia berkata, ’Ya Alloh dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami.’?”
Jawabannya: Dalam shahih Bukhori terdapat hadits,

 “Dari Anas bin Malik, bahwasanya ‘Umar bin Khaththab Radiyallahu ‘anhujika terjadi kekeringan, maka beliau berdoa agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib. ‘Umar berkata, ’Ya Alloh, dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR. al-Bukhori).

Maksud bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam atsar di atas bukanlah “Bertawassul dengan memohon kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni mereka datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  lalu memohon kepada beliau agar berdoa kepada AllohSubhanahu wa Ta’ala untuk mereka. Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -yaitu ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib Radiyallahu ‘anhu– yang saat itu masih hidup.
1, Manakah yang lebih mulia dan utama, para wali ataukah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentulah Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian halnya, adakah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang meminta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya agar beliau berdoa untuk mereka? Para shahabat Radiyallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya, padahal mereka sangat mencintai dan memuliakan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka mengetahui bahwa tawassul dengan orang yang sudah mati dan memohon kepadanya termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam.
2. Jika ada yang berkata, “Kami pernah mempunyai suatu hajat, lalu kami melakukan manaqiban, maka alhamdulillah hajat kami dikabulkan oleh Alloh. Bukankah ini suatu bukti bahwa manaqiban adalah suatu wasilah yang diterima oleh Alloh?
Jawabannya: Yang harus kita ketahui, jika Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan hajat seseorang setelah ia melakukan manaqiban, maka itu bukanlah karena manaqiban tersebut akan tetapi sebenarnya Alloh menguji orang tersebut dengan suatu perkara yang Dia haramkan. Dengan kata lain ini adalah suatu istidroj dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Istidroj artinya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menarik hamba-Nya kepada kebinasaan secara berangsur-angsur dan dengan cara yang tidak ia sadari. Ujian dalam bentuk memudahkan kemaksiatan adalah suatu perkara yang terjadi pada umat-umat terdahulu dan juga pada umat ini. Sebagai contohnya ialah apa yang terjadi pada umat Nabi Dawud . Alloh   berfirman:

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang penduduk negeri yang terletak di dekat laut, ketika mereka melanggar larangan Alloh pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan laut, dan di hari-hari yang bukan Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan kefasikan mereka.” (QS. al-A‘roof [7]: 163).
Bagaimana dengan hadits yang dijadikan dalil oleh para pengamal manaqib? Yaitu hadits yang berbunyi:
ذِكْرُ اْلأَنْبِيَاءِ مِنَ اْلعِبَادَةِ وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ الْمَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ اْلقَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ .
“Mengingat para Nabi adalah ibadah, mengingat orang-orang sholih adalah kafarat (penghapusan dosa), mengingat kematian adalah shadaqah, dan mengingat kubur akan mendekatkan kalian ke  surga.” (HR. ad-Dailami).

Jawabannya: Hadits tersebut dinilai maudhu’ (palsu) oleh para ulama hadits karena di dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama Ibnu al-Asy’ats. Dia ini dituduh pendusta oleh para ulama hadits.

SEKILAS TENTANG SYAIKH ‘ABDUL QODIR AL-JAILANI
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan… wafat pada hari Sabtu malam, ba’da Maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau meninggalkan tanah kelahiran, merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abu al-Khatthat, Abu al-Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Mukharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Untuk menelusuri aqidah Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jailani Rahimahullah kita mesti membaca kitab al-Ghunyah li Thoolibi Thoriiq al-Haq, sebuah kitab yang ditulis oleh beliau sendiri.
Dari kitab tersebut kita dapat mengetahui dengan jelas  bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-JailaniRahimahullah adalah seorang ulama Ahlus Sunnah.
Yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang benar dalam aqidah dan peribadatannya. Bukan seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa Ahlus Sunnah adalah nama untuk golongan atau jam’iyyah tertentu seperti NU misalnya. Tetapi Ahlus Sunnah adalah semua kaum muslimin yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengikuti cara beragama para sahabat Radiyallahu ‘anhum.

Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah sendiri pernah mengatakan bahwa dalam hal pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya, beliau mengikuti manhaj (metode beragama)  para imam Ahlus Sunnah. Akan tetapi sebagian orang berlebih-lebihan dan ghuluw dalam menyanjung dan mengagungkan Syaikh sehingga mengarang-ngarang kisah-kisah karomah Syaikh.

Ibnu Rajab Rahimahullah juga berkata, “Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karomah. Tetapi ada seorang yang bernama Abu Hasan Syathnufi mengumpulkan kisah-kisah keutamaan (manaqib) Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh. Dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini dan hatiku tidak tentram untuk mempercayainya. Oleh karena itu, aku tidak mau meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Kitab ini banyak menukil riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal (majhul). Juga terdapat perkara-perkara yang sulit diterima, kesesatan-kesesatan, klaim-klaim dan perkataan batil yang banyak. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa al-Kamal Ja’far al-Adfawi telah menyebutkan bahwa Syathnufi sendiri tertuduh berdusta dalam kisah-kisah yang diriwayatkannya pada kitab ini.”

‘Ali bin Idris, seorang murid Syaikh pernah bertanya kepada Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani Rahimahullah, “Wahai tuanku, apakah Alloh memiliki wali yang tidak berada di atas aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?” Maka beliau menjawab, “Tidak pernah ada dan tidak akan ada.” (Admin-KBB).

.:: Wallahu Ta’ala ‘Alam ::.



Posting Komentar