Bagaimana Hukum TAHLILAN Menurut Imam Syafi'i Rahimahullah ?

0 komentar

Selamatan kematian atau yang biasa kita sebut tahlilan,ada juga yg menyebutnya Kenduri Arawah, sering kita jumpai ritual tsb dimasyarakat,di perkotaan maupun dipedesaan,khususnya di lingkungan warga NU atau mereka menamakan dirinya sebagai 'aswaja' dgn tanda kutip. Dan mereka yg melakukan ritual tersebut dengan pede nya mengaku bermadzhab Imam Syafi'i, padahal mereka sendiri tdk bisa memberikan bukti Imam Syafi'i dan madzhab syafi'iyah pernah melakukannya,justru yg kita temui dalam kitab karangan ulama-ulama syafi'iyah,beliau2 justru melarang perbuatan tersebut.


Sungguh aneh memang, tapi ini nyata di masyarakat.tulisan ini aku buat bukan untuk mengusik amalan kaum nahdhiyyin,atau untuk mencelanya,,tidak lain tujuannya adalah untuk meluruskan pemahaman yang keliru dari kegiatan ini.

Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:
”Kami (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.

Dan an niyahah/ meratap ini adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;

Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”.

Pandangan Imam Syafii.

Nah, bagaimana dengan pandangan imam Syafii sendiri –yang katanya- mayoritas ummat Islam di Indonesia bermadzab dengannya, apakah ia sepakat dengan kebanyakan kaum muslimin ini atau justru beliau sendiri yang melarang kegiatan tahlilan ini?

Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan dengan hal ini;

“Aku benci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui kesedihan.”

Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:

"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)
Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.



Membaca Al Qur’an dihadiahkan untuk orang mati menurut Imam Syafi’i

Dalam Al Qur’an, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.

Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut;


“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.

Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama yang mengikutinya atau mazhab syafi'iyah telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa bacaan Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.


Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).


Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya.

Perhatikan Kaidah yg mulia ini,
لو كان خيرا لسبقونا إليه
"Seandainya itu baik, tentulah mereka telah mendahului kami dalam mengerjakannya“

Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil, tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”

Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri ini.

Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?

┈┈»̶·̵̭̌✽·̵̭̌«̶┈┈ 







Posting Komentar