Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa misi perbaikan alam dan menegakkan kemaslahatan hamba, seperti beliau nyatakan dalam sabdanya:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّ عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali menjadi hak atasnya untuk menunjukkan umatnya pada kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan memperingatkan dari kejelekan yang diketahuinya untuk mereka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Imarah no. 1844).
Tak diragukan bahwa para Salaf, yakni para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in adalah orang-orang terdepan dalam meraih kemaslahatan dan menghindar dari segala kerusakan. Hal ini pulalah yang kemudian mereka serukan sebagai suatu manhaj yang dianut. Maka, Manhaj Salaf adalah dakwah Al-Haq, dakwah Islam, di mana Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Seruannya datang untuk mengeluarkan manusia dari gelapnya syirik menuju cahaya tauhid, dari kerancuan dan bid’ah menuju kesatuan sunnah dan aqidah. Sama sekali tidak berdiri di atas hawa nafsu dan ra‘yu (logika), akan tetapi di atas apa yang telah Allah tetapkan. (Usus Manhaj As-Salaf fi Da’wati Ilallah, oleh Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi rahimahullah hal. 98)
Manhaj Salafush Shalih Manhaj Kebaikan dan Kebenaran
Mengikuti Manhaj Salafush Shalih dalam memahami agama adalah hal yang sangat terpuji dan sikap yang paling benar. Bagaimana tidak, sebab manhaj ini bertolak dari Salaful Ummah (umat terdahulu) dari kalangan shahabat dan tabi’in yang telah mendapatkan jaminan kebaikan dan kebenaran. Karena itu, siapapun yang berjalan di atas manhaj ini dan mengikutinya dengan baik, tentu akan mendapatkan jaminan berharga. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”(At-Taubah: 100)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang keridhaan-Nya terhadap orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Juga (Allah mengabarkan) keridhaan mereka terhadap (Allah) atas apa yang Allah janjikan untuk mereka berupa jannah yang dipenuhi kenikmatan-kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/404)
Para pembaca yang budiman, ketika berbicara manhaj Salafus Shalih maka sejatinya kita berbicara tentang gambaran Islam yang murni dan bersih, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya berada di atasnya. Maka ketika menyerukan manhaj Salaf, berarti kita menyerukan untuk berpegang teguh dengan manhaj Islam yang lurus yang mereka (para pendahulu) telah menempuhnya, bukan ajakan untuk taqlid terhadap pribadi tertentu sebab tidak ada yang patut diikuti (secara mutlak) kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Tidak ada cela bagi siapa yang menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib hal itu diterima secara sepakat karena sesungguhnya manhaj Salaf tidak ada di dalamnya kecuali kebenaran.” (Majmu’ul Fatawa, 4/149 diambil dari Irsyadul Bariyyah hal. 20 dan 24)
Asy-Syaikh Shalih bin Sa’d As-Suhaimi rahimahullah mengatakan, “Dari sinilah, komitmen yang paling pantas dan abadi hanyalah kepada manhaj Islam dengan apa yang telah Allah syariatkan untuk kita… Komitmen bukanlah terhadap pribadi-pribadi tertentu, lembaga-lembaga, ataupun jamaah-jamaah yang selalu (merupakan) tempatnya salah dan benar.” (Manhaj As-Salaf fil ‘Aqidah hal. 45)
Oleh karena itu manhaj Salafus shalih bukanlah manhaj yang beragam warna sehingga bisa berubah-ubah manakala salah satunya dibutuhkan. Misalnya dalam masalah fiqh dan tauhid mengikuti para ulama yang menempuh manhaj Salaf, dalam hal politik mengikuti tokoh-tokoh politik dengan alasan mereka lebih paham perpolitikan, dalam bidang jihad bersama dengan tokoh-tokoh yang diistilahkan dengan “ulama mujahid”, meski tokoh-tokoh tersebut tidak menempuh manhaj Salafus Shalih.
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan, “Seorang muslim yang bertumpu pada Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan dapat berwarna-warni secara mutlak. Adapun muslim yang bertumpu pada jamaah atau kelompok hizbiyyah –meski (menamakan dirinya) Islam– akan memaksanya sehingga ia harus banyak warna dengan dalih bahwa itu adalah ijtihad dan perubahan.” (Fatawa fi Al-Jama’at wal-Ahzab Al-Islamiyyah hal. 25)
Aliran-aliran Sesat Mengklaim sebagai Ahlus Sunnah
Menjadi kebiasaan ahli bid’ah dan ahli batil, ketika mereka menebar racun kesesatannya akan menampakkan kedok kebaikan, menebeng di balik gambaran keislaman yang benar, mengaku sebagai pengikut Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Sejarah membuktikan, mereka acap menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, pengikut manhaj Salafus Shalih, padahal sejatinya bukan.
Asy-Syaikh ‘Abbas bin Manshur As-Saksaki rahimahullah berkata, “Seluruh aliran sesat telah menamakan dirinya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah padahal tidak sesuai kenyataan. (Namun itu) hanya berupa kedengkian dan kedustaan atasnya, serta penisbatan kepada yang bukan aqidahnya.” (Al-Burhan fi Ma’rifati Aqa’idi Ahlil Adyan hal. 61)
Bagaimanapun usaha penyesatan yang dilakukan ahlil bid’ah sejak dulu meski bersembunyi di balik nama yang mulia, hakekat mereka tetap nampak. Sifat yang kentara dalam diri mereka adalah menolak untuk menempuh jalan kaum Salaf. Sementara Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah para pengikut manhaj Salafus Shalih dalam hal aqidah, ucapan, ataupun amalan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok As-Sunnah bagi kami adalah berpegang teguh dengan apa yang ada di atas para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta mencontoh mereka.” (Ushul As-Sunnah hal. 35)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menerangkan tentang jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah. Beliau berkata, “Jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah adalah mengikuti atsar-atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lahir dan batin, mengikuti jalan orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta mengikuti wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah bersabda: ‘Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Peganglah ia dan gigitlah dengan gigi geraham…’.” (Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya hal. 179-180, cetakan Darul Fikr)
Asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan mereka
· Asing pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah mereka
· Asing dalam pergaulannya bersama mereka-dikarenakan bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka.
Al-Imam Al Auza'i rahimahullah mengatakan tentang sabda Rasulullah:
'Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.
'Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.
Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahlus Sunnah-lah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.'Dengan makna inilah didapati ucapan Salaf yang memuji Sunnah dan mensifatinya dengan asing dan mensifati pengikutnya dengan kata sedikit._ Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal 103-104.
Posting Komentar