بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
01: “Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan terakhirnya adalah pembebasan dari (siksa) naraka” (Hadits Munkar)
(Lihat, Kitab adhDhu`afa, oleh al’Uqailiy, 2/162; al-Kamil Fi Dhu’afa ar-Rijal, oleh Ibnu `Adiy, 1/165; Ilal alHadits, oleh Ibnu Abi Hatim, 1/246; Silsilah alAhadits adhDha’ifah wa alMaudhu`ah, oleh alAlbaniy, 2/262; 4/70)
02: “Berpuasalah kalian semua niscaya kalian semua akan sehat” (Hadits Dha’if)
(Lihat, Kitab Tahrij alIhya`, oleh alIraqiy, 3/75; alKamil Fi Dhu`afa arRijal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/357; asySyidzrah Fi alAhaadits alMusytahirah, oleh Ibnu Thulun, 1/479, alFawaid al’Majmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/259; al-Maqashid alHasanah, oleh asSakhawiy, 1/549; Kasyf alKhafa, oleh al’Ajluniy, 2/539 dan Silsilah alAhadits adhDha’ifah wa alMaudhu’ah, 1/420
(Lihat, Kitab Tahrij alIhya`, oleh alIraqiy, 3/75; alKamil Fi Dhu`afa arRijal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/357; asySyidzrah Fi alAhaadits alMusytahirah, oleh Ibnu Thulun, 1/479, alFawaid al’Majmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/259; al-Maqashid alHasanah, oleh asSakhawiy, 1/549; Kasyf alKhafa, oleh al’Ajluniy, 2/539 dan Silsilah alAhadits adhDha’ifah wa alMaudhu’ah, 1/420
03: “Barangsiapa berbuka satu hari pada
(puasa) Ramadhan tanpa ada udzur (sebab) dan (karena) sakit, maka dia
tidak dapat menggantinya meskipun puasa satu tahun (penuh)” (Hadits Dha’if)
(Lihat, Fath alBariy, oleh alHafidz Ibnu Hajar, 4/161; Misykaah alMashabih, tahqiq alAlbaniy, 1/626; Dha’if Sunan athThirmidziy, oleh alAlbaniy, hadits no. 115; alIlal alWaridah Fi alAhaadits, oleh adDaruquthniy, 8/270)
(Lihat, Fath alBariy, oleh alHafidz Ibnu Hajar, 4/161; Misykaah alMashabih, tahqiq alAlbaniy, 1/626; Dha’if Sunan athThirmidziy, oleh alAlbaniy, hadits no. 115; alIlal alWaridah Fi alAhaadits, oleh adDaruquthniy, 8/270)
04: “Sesungguhnya bagi Allah Ta`ala pembebasan dari(siksa)neraka pada setiap kali berbuka”(Hadits Dha’if)
(Lihat, Tanjiih asy-Syari’ah, oleh alKananiy, 2/155; alFawaid alMajmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/257; alKasyf alIlaahiy ‘An Syadiid adhDha’if wa alMaudhu wa alWahiy, oleh alThuraabilisiy, 12/230; Dzakhirah alHuffaazh, oleh alQaisiraniy, 2/956; Syu’abul Iman, oleh alBaihaqiy, 3/304; dan alKaamil Fi Dhu’afaa arRizal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/455)
(Lihat, Tanjiih asy-Syari’ah, oleh alKananiy, 2/155; alFawaid alMajmu’ah Fi alAhaadits alMaudhu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/257; alKasyf alIlaahiy ‘An Syadiid adhDha’if wa alMaudhu wa alWahiy, oleh alThuraabilisiy, 12/230; Dzakhirah alHuffaazh, oleh alQaisiraniy, 2/956; Syu’abul Iman, oleh alBaihaqiy, 3/304; dan alKaamil Fi Dhu’afaa arRizal, oleh Ibnu ‘Adiy, 2/455)
05: “Sekiranya semua hamba mengetahui
apa yang terkandung dalam (bulan) Ramadhan sungguh ummat-ku akan
berharap (bulan) Ramadhan menjadi setahun penuh” (Hadits Dha’if)
(Lihat, alMaudhuat, oleh Ibnu alJauziy, 2/188; Tanjiih asySyari’ah, oleh alKanaaniy, 2/153; alFawaaid alMajmu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/254)
(Lihat, alMaudhuat, oleh Ibnu alJauziy, 2/188; Tanjiih asySyari’ah, oleh alKanaaniy, 2/153; alFawaaid alMajmu’ah, oleh asySyaukaniy, 1/254)
06: “Ya Allah anugerahkan kepada kami keberkahan di (bulan) Rajab dan Sya`ban serta pertemukan kami (dengan) Ramadhan” (Hadits Dha’if)
(Lihat, alAdzkaar, oleh anNawawiy; Mizaan alI’tidal, oleh adzDzahabiy; Majma’u azZawaaid, oleh alHaitsamiy, 2/165 dan Dha’if alJami`, oleh alAlbaniy, hadits no. 4395)
(Lihat, alAdzkaar, oleh anNawawiy; Mizaan alI’tidal, oleh adzDzahabiy; Majma’u azZawaaid, oleh alHaitsamiy, 2/165 dan Dha’if alJami`, oleh alAlbaniy, hadits no. 4395)
07: Do’a Berbuka: “Allahumma laka shumtu wabika Aamantu ; Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, dan atas rizeki-Mu aku berbuka” (Hadits Dha’if)
(Lihat, Talkhiish alKhabir, oleh alHafizh Ibnu Hajar, 2/202, hadits no. 911; alAdzkaar, oleh an-Nawawiy, hal. 172; Majma’u azZawaid, oleh alHaitsamiy, 3/156; dan Dha’if alJami, oleh alAlbaniy, hadits no. 4349)
(Lihat, Talkhiish alKhabir, oleh alHafizh Ibnu Hajar, 2/202, hadits no. 911; alAdzkaar, oleh an-Nawawiy, hal. 172; Majma’u azZawaid, oleh alHaitsamiy, 3/156; dan Dha’if alJami, oleh alAlbaniy, hadits no. 4349)
08: “Setiap sesuatu (memiliki) pintu, dan pintu ibadah adalah puasa”
Hadist ini dinukil oleh Abi Syuja’ di dalam alFirdaus, no. 4992 dari hadits Abu Darda’ dan menurut Syaikh alAlbaniy hadits ini lemah di dalam kitabnya adhDha’if, no. 4720)
Hadist ini dinukil oleh Abi Syuja’ di dalam alFirdaus, no. 4992 dari hadits Abu Darda’ dan menurut Syaikh alAlbaniy hadits ini lemah di dalam kitabnya adhDha’if, no. 4720)
09: “Tidurnya seorang yang berpuasa adalah ibadah”
Hadits ini dilemahkan oleh al’Iraaqiy di dalam alMughniy, no. 727; dan asSuyuthiy di dalam alJami’ ashShaghir, hal. 188; dan telah membenarkan alMunawiy di dalam alFaidh, no. 9293 dan Syaikh alAlbaniy sepakat dengan keduanya di dalam adhDha`if, no. 5972)
Hadits ini dilemahkan oleh al’Iraaqiy di dalam alMughniy, no. 727; dan asSuyuthiy di dalam alJami’ ashShaghir, hal. 188; dan telah membenarkan alMunawiy di dalam alFaidh, no. 9293 dan Syaikh alAlbaniy sepakat dengan keduanya di dalam adhDha`if, no. 5972)
10: “Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.” Atau: “Apabila
kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan
kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar”Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini dusta dan tidak terdapat dalam
kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul hadits,
dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan
beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan
rasul.” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat
Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim (2/783)).
11:“Apabila kamu terbelit suatu urusan,
maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli
kubur” Atau “Minta tolonglah dengan (perantaraan) ahli kubur”Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan
atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasar kesepakatan ahli
hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama
dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang
terpercaya.” (Majmu’ Fatawaa (11/293)).
12: “Kalaulah seandainya kaum muslimin
tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan
agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk
Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ….” Hingga akhir hadits ini.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.
Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan) haditsnya”.
Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”..
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.
Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan) haditsnya”.
Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Jika haditsnya shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”..
13: “Wahai manusia, sungguh bulan yang
agung telah datang (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat
suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa
(pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya
sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan
tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya)
dengan menunaikan perkara yang wajib pada bulan yang lain …. Inilah
bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya
adalah merupakan pembebasan dari api neraka ….” sampai selesai.
Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangang berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata Ibnu Ma’in. Dha’if berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].
Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami’ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).
Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar
Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangang berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal, Tidak kuat, berkata Ibnu Ma’in. Dha’if berkata Ibnu Abi Khaitsamah, Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah, Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].
Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini, Jika benar kabarnya. berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami’ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya).
Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar
14: “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina”
Hadits dhoif (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil
dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah dan hukum syar’i di dalam
Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda
Nabi SAW. Di antara hadits-hadits dhoif (lemah) yang masyhur digunakan
oleh para khatib dan da’i dalam mendorong manusia untuk menuntut ilmu di
mana pun tempatnya sekalipun jauhnya sampai ke Negeri Tirai Bambu,
Cina, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra. dari Nabi
SAW, beliau bersabda
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.[HR. Ibnu Addi
dalam Al-Kamil (207/2), Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbihan (2/106),
Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhol
(241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8), dan lainnya, semuanya
dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Thorif bin
Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’]
Ini adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan
sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada
asalnya. Ibnul Jauziy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215)
berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata, hadits ini batil, tidak ada asalnya’’.
Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah- menilai hadits ini
sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).
As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua
jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas.
Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas,
bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta,
yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi
yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini
batil, tidak boleh diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai
sabda Nabi SAW .
15: “Beramallah untuk duniamu
seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok ”
Ini bukanlah sabda Nabi SAW, walaupun masyhur di lisan kebanyakan
mubaligh di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau.
Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena
kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka hanya “mencuri
dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut
lemah karena di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi
dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma
disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh
Al-Albaniy men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (No. 8).
16: “Sesungguhnya segala sesuatu
memiliki hati, sedang hatinya Al-Qur’an adalah Surat Yasin. Barang siapa
yang membacanya, maka seakan-akan ia telah membaca Al-Qua’an sebanyak
10 kali“.[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (4/46), dan Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (2/456)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam
sanadnya terdapat dua rawi hadits yang tertuduh dusta, yaitu: Harun Abu
Muhammad dan Muqotil bin Sulaiman. Karenanya, Ahli hadits zaman ini,
yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah-
menggolongkannya sebagai hadits palsu dalam kitabnya As-Silsilah
Adh-Dho’ifah (No.169).
17: “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”
Sudah menjadi takdir Allah -Azza wa Jalla-, adanya perpecahan di
dalam Islam dan memang hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah
SAW. Di negara kita sendiri, sekte-sekte dan aliran sesat yang
menyandarkan diri kepada Islam sudah terlalu banyak. Apabila kita
memperingatkan dan membantah kesesatan aliran-aliran tersebut, maka
sebagian kaum muslimin membela aliran-aliran tersebut. Mereka berdalil
dengan hadits berikut.
Padahal hadits ini dhoif (lemah), bahkan tidak ditemukan dalam
kitab-kitab hadits. Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, “Hadits
ini tak ada asalnya. Para ahli hadits telah mengerahkan tenaga untuk
mendapatkan sanadnya, namun tak mampu”.
Dari segi makna, hadits ini juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam Al-Ihkam (5/64) berkata, “Ini merupakan ucapan yang paling batil, karena andaikan ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan. Karena di sana tak ada sesuatu kecuali kesepakatan dan perselisihan; tak ada sesuatu kecuali rahmat atau kemurkaan“.
18: “Barang Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-nya”
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Adh-Dha’ifah (1/165)
berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah (1/165)].
An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)”
[Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhowiy].
As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak shahih” [Lihat Al-Qoul Asybah (2/351 Al-Hawi)].
Ringkasnya, hadits ini merupakan hadits palsu yang tidak ada
asalnya. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh mengamalkannya, dan
meyakininya sebagai sabda Nabi SAW.
19: ”Jika seorang hamba telah menamatkan Al Qur’an, maka akan bershalawat kepadanya 60.000 malaikat ketika ia menamatkannya”.[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/112)].
Hadits ini palsu disebabkan oleh rawi yang bernama
Al-Hasan bin Ali bin Zakariyya, dan Abdullah bin Sam’an, kedua orang
ini, adalah pendusta, biasa memalsukan hadits. Syaikh Al-Albaniy
menyatakan kepalsuan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2550).
Membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya merupakan keutamaan besar
bagi seorang hamba, karena setiap hurufnya diberi pahala oleh Allah
-Ta’ala-. Keutamaan tersebut telah dijelaskan dalam beberapa hadits,
tetapi bukan hadits berikut karena haditsnya palsu.
20: “Wanita-wanita itu ada tiga
macam: kelompok wanita seperti bejana, ia hamil dan melahirkan; kelompok
wanita seperti koreng – yaitu kudis-; kelompok wanita yang amat
penyayang dan banyak melahirkan, serta membantu suaminya di atas
keimanannya. Wanita ini lebih baik bagi suaminya dibandingkan harta
simpanan“.[HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (206/2)].
Namun sayangnya, hadits ini adalah hadits dhoif munkar, karena ada
seorang rawi yang bernama Abdullah bin Dinar. Dia adalah seorang rawi
yang munkar haditsnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim
dalam Al-Ilal (2/310). Jadi, hadits ini tidak boleh dianggap sebagai
sabda Nabi SAW. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkan hadits ini dalam
silsilah hadits dhoif dalam Adh-Dho’ifah (714).
21: “Memandang wajah wanita cantik dan yang hijau-hijau menambah ketajaman penglihatan”.[HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/201-202), dan Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (4/106)]
Hadits ini maudhu’ (palsu), karena dalamnya ada rawi yang
dhoif dan tidak ditemukan ada seorang ahli hadits yang menyebutkan
biografinya. Rawi itu ialah Ibrahim bin Habib bin Sallam Al-Makkiy.
Karenanya, Adz-Dzahabiy berkata, “Hadits ini batil”. Ibnul Qoyyim dalam
Al-Manar Al-Munif berkata, “Hadits ini dan semisalnya adalah buatan
orang-orang zindiq (munafik)” [Lihat Adh-Dho’ifah (133)]
22: “Apabila seorang di antara
kalian berhubungan dengan istrinya atau budaknya, maka janganlah ia
melihat kepada kemaluannya, karena hal itu akan mewariskan kebutaan“.[HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/75)].
Maka hadits ini adalah palsu karena dalam sanadnya
terdapat Baqiyah ibnul Walid. Dia adalah seorang mudallis yang biasa
meriwayatkan dari orang-orang pendusta sebagaimana yang dijelaskan oleh
Ibnu Hibban. Lihat Adh-Dho’ifah (195)
23: “Hiasilah majelis istri-istri kalian dengan rayuan“.[HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afaa’ (6/130), dan Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (5/280)]
Hadits ini palsu karena dalam rawi hadits ini terdapat
Muhammad bin Ziyad Al-Yasykuriy. Dia seorang pendusta lagi suka
memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah (1/72/no.19) karya Al-Albaniy -rahimahullah-.
24: “Perbanyaklah dzikir, sehingga orang-orang berkata, engkau gila”.[HR. Ahmad (3/68), Al-Hakim (1/499), dan Ibnu Asakir (6/29/2)]
Hadits ini lemah karena diriwayatkan oleh Darraj Abu
Samhi. Dia lemah riwayatnya yang berasal dari Abul Haitsam. Di-dhoif-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (no. 517) (2/9).
25: “Barang siapa yang berada di waktu
pagi, sedang dunia adalah cita-citanya yang terbesar, maka ia tidak
akan berada dalam suatu (jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa
yang tidak bertakwa kepada Allah, maka ia tidak akan berada dalam suatu
(jaminan) dari Allah sedikit pun. Barang siapa yang tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin seluruhnya, maka ia bukan termasuk di antara mereka“.[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/317) Al-Khatib dengan penggalan pertama dari hadits ini dalam Tarikh Bagdad (9/373)].
Hadits ini palsu karena di dalam sanad-nya terdapat rawi
yang tertuduh dusta, yaitu Ishaq bin Bisya. Hadits ini memiliki jalur
periwayatan lain, namun ia tidak bisa menguatkan hadits di atas, karena
kelemahannya tidak jauh beda dengannya. Oleh karenanya, Al-Albany
menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dha’ifah (309)
26: “Jika kalian sholat di belakang
imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian, karena kacaunya bacaan imam bagi
imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’ orang yang ada di belakang imam“.[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)]
Hadits ini palsu sebab di dalamnya terdapat rawi yang
majhul, seperti Abdullah bin Aun bin Mihroz, Abdullah bin Maimun. Rawi
lain, Muhammad bin Al-Furrukhon, ia seorang yang tak tsiqah. Dari sisi
lain, sudah dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy bersendirian dalam
meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad Al-Firdaus, maka hadits itu
palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini dalam
Adh-Dho’ifah (2629).
27: “Barang siapa yang mengucapkan
selamat datang kekasihku dan penyejuk mataku, Muhammad bin Abdullah SAW,
kemudian ia mencium kedua ibu jarinya dan meletakkannya pada kedua
matanya, ketika ia mendengar muadzdzin berkata, Maka ia tidak sakit mata
selamanya”[HR. Abul Abbas Ahmad bin Abu Bakr Ar-Raddad Al-Yamaniy
dalam Mujibat Ar-Rahmah wa ‘Aza’im Al-Maghfirah dengan sanad yang
terdapat di dalamnya beberapa orang majhul (tidak dikenal), di samping
terputus sanad-nya. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini
dalam Adh-Dha’ifah (1/173) dari riwayat Ad-Dailamy dan Syaikh Masyhur
Alu Salman dalam Al-Qoul Al-Mubin (hal.182)]
28: “Sholat dua rakaat dengan memakai sorban lebih baik dibandingkan sholat 70 rakaat tanpa sorban“. [HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus sebagaimana yang disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Al-Jami’ Ash-Shoghir]
Hadits ini maudhu’ (palsu) sebagaimana yang dijelaskan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (128), “Hadits ini palsu”.
Selanjutnya beliau juga mengomentari ulang hadits ini dalam Adh-Dho’ifah
(5699).
29: “Jika seorang di antara kalian
bersujud, maka hendaknya ia menyentuhkan kedua telapak tangannya ke
tanah, semoga Allah melepaskan belenggu darinya pada hari kiamat“.[HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (6/58), cet. Dar Al-Haromain]
Hadits ini adalah dho’if (lemah), tak bisa dijadikan
hujjah karena di dalamnya ada rawi bermasalah: Ubaid bin Muhammad,
seorang rawi yang memiliki hadits-hadits mungkar [Lihat Al-Majma’
(2/311/no.2764)]. Sebab inilah, Syaikh Al-Albaniy menggolongkan hadits ini lemah dalam Adh-Dho’ifah (2624)
Seorang ketika sujud dalam sholat boleh ia memakai alas. Menyentuhkan
telapak tangan, dahi, dan anggota sujud lainnya ke tanah, ini tak ada
keutamaan tertentu baginya.
30: “Apabila khatib sudah naik mimbar, maka tidak ada lagi sholat dan tidak ada lagi ucapan.”
Hadits ini batil karena tidak ada asalnya sebagaimana yang
dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (87). Namun, perlu
diketahui bahwa jika adzan sudah selesai ketika khatib berada di atas
mimbar siap untuk berkhutbah, maka seorang tidak boleh lagi berbicara
dan melakukan aktivitas apapun selain shalat tahiyatul masjid agar
seluruh jamaah memfokuskan diri untuk mendengarkan khutbah.
31: “Sebaik-baik pengingat adalah
alat tasbih. Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhol untuk ditempati
bersujud adalah tanah dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah“.[HR.Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam Mukhtashar-nya)]
Hadits ini adalah hadits yang palsu sebagaimana yang
dinyatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (83), karena adanya
rawi-rawi yang majhul. Selain itu hadits ini secara makna adalah batil,
sebab tasbih tidak ada di zaman Nabi SAW.
Berzikir adalah ibadah yang harus didasari dengan keikhlasan dan
mutaba’ah (keteladanan) kepada Nabi SAW. Karenanya seorang tidak
dianjurkan menggunakan alat tasbih ketika ia berzikir sebab tidak ada
contohnya dari Nabi SAW berdzikir dengannya, tetapi beliau hanya
berzikir dengan jari-jemarinya.
32: “Anak muda mana pun yang tumbuh
dalam menuntut ilmu dan ibadah sampai ia menjadi tua, sedangkan dia
masih tetap di atas hal itu, maka Allah akan memberikannya pada hari
kiamat pahala 72 orang shiddiqin“.[HR.Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2428), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm (1/82)].
Namun, hadits ini derajatnya adalah dhoif jiddan (lemah sekali),
bahkan boleh jadi hadits ini palsu, karena di dalamnya ada rawi yang
bernama Yusuf bin Athiyyah. Dia adalah seorang yang mungkarul hadits.
Bahkan An-Nasa’iy menilainya matruk (ditinggalkan karena biasa berdusta
atas nama manusia). Karenanya Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini
dhoif jiddan dalam Adh-Dho’ifah (700).
33: “Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan“.[HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].
Dalam sanad-nya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy,
dia adalah seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut
Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif. Dia
adalah seorang yang biasa mencuri hadits dan meriwatkan hadits yang
lemah dari orang-orang yang tsiqah. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan
hadits ini dhoif jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2523).
34: “Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah”
Hadits ini adalah hadits yang bukan berasal dari Nabi SAW. Tidak
ada seorang imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam
kitab-kitab mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh Al-Ghazaliy
dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada
Nabi SAW, padahal hadits ini adalah hadits palsu, tidak ada asalnya. Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy
Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di
sisi Allah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah
35: “Barang siapa yang ikhlas karena Allah selama 40 hari, niscaya akan muncul mata air hikmah pada lisannya“.[HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/189)]
Hadits ini dhoif (lemah) karena terdapat inqitho’
(keterputusan) antara Makhul dengan Abu Ayyub Al-Anshoriy. Selain itu,
Hajjaj bin Arthoh, rawi dari Makhul adalah seorang mudallis, dan ia
meriwayatkannya secara mu’an’anah. Sedang seorang mudallis jika
meriwayatkan hadits secara mu’an’anah (dengan memakai kata “dari”), maka
haditsnya dhoif (lemah). Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy melemahkannya
dalam Adh-Dho’ifah (38)
36: “Allah wahyukan kepada dunia, ‘Layanilah orang yang melayani-Ku, dan capaikanlah orang yang melayanimu “.[HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (8/44), dan Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits (hal.101)]
Hadits ini palsu, karena Al-Husain bin Dawud Al-Balkhiy
yang banyak meriwayatkan naskah hadits palsu dari Yazid bin Harun.
Karena itu, Al-Albaniy menyebutkan hadits ini dalam deretan
hadits-hadits palsu dalam Adh-Dho’ifah.
37: “Hak seorang anak atas orang tuanya, orang tua memperbaiki nama anaknya, dan akhlaknya“.[HR. Abu Muhammad As-Siroj Al-Qoriy dalam Al-Fawaid (5/32/1-kumpulan 98), dan lainnya].
Maka hadits ini palsu karena ada dua orang rawi: Muhammad
Al-Fadhl, adalah seorang pendusta, dan Muhammad bin Isa adalah orangnya
matruk (ditinggalkan). Karenanya Al-Albaniy mencantumkan hadits ini
dalam Adh-Dho’ifah (199)
38: “Ayam adalah kambingnya orang fakir dari kalangan umatku, dan shalat jum’at hajinya orang fakir mereka”.[HR. Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3/90)]
Namun ternyata sayangnya, hadits ini palsu, sehingga
seorang muslim tidak boleh meyakini dan mengamalkannya. Dia palsu karena
ada seorang rawi yang bernama Abdullah bin Zaid An-Naisaburiy. Dia
adalah seorang pendusta yang suka memalsukan hadits. Lihat Adh-Dho’ifah
(192)
39: “Nabi Ilyas dan Khidir adalah dua orang bersaudara. Bapak mereka dari Persia, dan ibunya dari Romawi“.[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/124)]
Hadits ini palsu karena ada dua orang rawi bermasalah
dalam memalsukan hadits, yaitu Ahmad bin Ghalib dan Abdur Rahman bin
Muhammad Al-Yahmadiy. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy menyatakan
hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (2257).
40: “Penduduk surga adalah belalang, kecuali Musa bin Imran, karena dia memiliki jenggot sampai ke pusarnya“.[HR.Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (185), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (4/48), dan Ar-Raziy dalam Al-Fawa’id (6/111/1)].
Hadits ini adalah hadits batil yang palsu. Dalam sanad-nya
terdapat seorang rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Syaikh-nya
Ibnu Abi Kholid Al-Bashriy. Maka tak heran apabila Syaikh Al-Albaniy
mencantumkan hadits ini dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (704).
41: “Amalan yang sedikit akan
bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang banyak tidak akan
bermanfaat, jika disertai kejahilan“.[HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-’Ilm wa Fadhlih (1/145)]
Hadits ini dhoif, bahkan palsu, disebabkan adanya tiga
rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran Al-Qutairiy (orangnya lemah), [2]
Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqofiy (orang dho’if). Ibnu Adi
berkata,”Dominan haditsnya tidak terpelihara”; [3] Abbad bin Abdush
Shomad. Ibnu Hibban berkata, “…Abbad bin Abdush Shomad menceritakan kami
dari Anas tentang suatu naskah hadits, seluruhnya maudhu’ (palsu)”.
Al-Albaniy berkata, “Hadits ini Palsu” [lihat Adh-Dho’ifah (369)].
42: “Nabi SAW melarang kencing di lubang“[HR. Abu Dawud (29), dan An-Nasa’iy (34)].
Hadits ini adalah hadits yang lemah karena adanya
keterputusan antara Qotadah dan Abdullah bin Sarjis ra.. Selain itu,
Qotadah juga adalah seorang yang mudallis. Tak heran jika Syaikh
Al-Albaniy men-dhoifkan hadits ini dalam Al-Irwa’ (55).
43: “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah -Azza wa Jalla- adalah talak“.[HR. Abu Dawud (2178) dan Ibnu Majah (2018)]
Hadits ini adalah hadits yang mudhtharib (goncang) sanad-nya sebagaimana yang kita bisa lihat penjelasannya dalam Al-Irwa’ (2040) karya Syaikh Al-Albaniy.
44: doa keluar dari wc ”Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini dan telah menyehatkan aku”.[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)]
Hadits ini adalah hadits yang dhoif karena dalam sanad-nya
terdapat rawi yang bernama Ismail bin Muslim Al-Makkiy. Dia adalah
seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafizh
dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid dari riwayat Ibnu Sunniy
dalam Amal Al-Yaum wal Lailah (29). Namun hadits ini juga lemah, karena
ada seorang yang majhul dalam sanadnya, yaitu Al-Faidh. Hadits ini
dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (53).
45: “Apabila Allah ingin melaksanakan
ketentuan dan takdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan)
akalnya orang-orang yang memiliki pikiran, sehingga Allah melaksanakan
ketentuan dan takdir-Nya pada mereka“.[HR. Al-Khothib dalam Tarikh
Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari
jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)]
Hadits ini lemah bahkan boleh jadi palsu karena rawi yang
bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits menuduhnya pendusta
dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkannya
dalam kitabnya, Adh-Dho’ifah (2215).
46: “Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya“.[HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7036)]
Hadits ini lemah karena dalam sanad-nya terdapat rawi yang
bernama Ibrahim bin Muslim Al-Hijriy; dia adalah seorang yang layyinul
hadits (lembek haditsnya). Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais,
seorang yang shoduq (jujur), tetapi memiliki beberapa kesalahan.
Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (2233).
47: “Nabi Adam turun di India dan
beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan,
“Allahu Akbar, Asyhadu Ala Ilaha illallah (dua kali), Asyhadu Anna
Muhammadan Rasulullah (dua kali) “. Adam bertanya, “Siapakah Muhammad
itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang paling terakhir dari kalangan
terakhir”.[HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)]
Hadits ini dhoif (lemah) atau palsu karena ada seorang
rawi dalam sanad-nya yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Sulaiman.
Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil Al-Kufiy,
orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini
haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang
ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka hadits
ini palsu. Hadits ini di-dhoif-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (403).
48: “Keburukan ada 70 bagian; satu bagian pada jin dan manusia, dan 69 bagian pada orang-orang Barbar”.[HR.
Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/489),
Ath-Thobraniy dalam Al-Ausath (8672), dan Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam
Ash-Shahabah].
Mengangkat dan merendahkan derajat suatu bangsa harus didasari oleh dalil dari Al-Qur’an dan hadits. Hadits ini adalah hadits yang lemah
menurut penilaian Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam As-Silsilah
Adh-Dho’ifah (2535), karena dalam hadits ini terdapat dua penyakit:
Inqitho’ (keterputusan) antara Yazid bin Abi Habib dengan Abu Qois, dan
terjadinya idhthirob (kesimpangsiuran) dari sisi sanad akibat kelemahan
seorang rawi yang bernama Abu Sholih (dikenal dengan Katib Al-Laits).
49: “Sesungguhnya Nabi Idris dulu
berteman dengan Malaikat Maut. Lalu ia pun meminta kepadanya agar
diperlihatkan surga dan neraka. Maka idris pun naik (ke langit), lalu
Malaikat Maut memperlihatkan neraka kepadanya. Lalu Idris kaget sehingga
hampir pinsang. Maka Malaikat Maut mengelilingkan sayapnya pada Idris
seraya berkata, “Bukankah engkau telah melihatnya?” Idris berkata, “Ya,
sama sekali aku belum pernah melihatnya seperti hari ini”. Kemudian,
Malaikat Maut membawanya sampai ia memperlihatkan surga kepada Nabi
Idris seraya masuk ke dalamnya. Malaikat Maut berkata, “Pergilah,
sesungguhnya engkau telah melihatnya”. “Kemana?”, tanya Idris. “Ke
tempatmu semula”, jawab Malaikat Maut. “Tidak ! Demi Allah, aku tak akan
keluar setelah aku memasukinya”, tukas Idris. Lalu dikatakanlah kepada
Malaikat Maut, “Bukankah engkau yang telah memasukkannya? Sesungguhnya
seorang yang telah memasukinya tidak boleh keluar darinya“. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (2/177/1/7406)]
Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu), karena dalam
sanadnya terdapat rawi yang tertuduh dusta, yaitu Ibrahim bin Abdullah
bin Khalid Al-Mishshishiy. Sebab itu, hadits ini dicantumkan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam kumpulan hadits-hadits palsu di dalam
kitabnyaAdh-Dho’ifah (339).
50: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan empat berkah dari langit ke bumi; maka Allah menurunkan besi, api, air, dan garam“.[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/2/221)]
Hadits ini palsu , tak benar datangnya dari Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Dalam sanadnya terdapat Saif bin Muhammad, seorang
pendusta !! Karenanya, Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah-
menyatakan hadits ini palsu dalam Adh-Dho’ifah (3053).
51: “Orang yang sering berjalan
menuju masjid dalam kondisi gelap, mereka itu adalah orang yang berada
dalam rahmat Allah –Azza wa Jalla-”.[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya
(779), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (1/281), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh
Dimasyqo (17/456) & (52/18)]
Hadits ini adalah dhoif (lemah), karena ada dua rawi yang
bermasalah dalam sanad-nya: Muhammad bin Rofi’, dan Isma’il bin Iyasy.
Walau Isma’il tsiqah, namun jika ia meriwayatkan hadits dari selain
orang-orang Syam, maka haditsnya lemah!! Hadits ini ia riwayatkan dari
Muhammad bin Rofi’, seorang penduduk Madinah. Ke-dho’if-an hadits ini
telah ditegaskan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah
(3059)
52: “Sesungguhnya Allah -Ta’ala-
memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, “Wahai anak
Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan
bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan sholat“.[HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair
Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh
Al-Albaniy -rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah
(3057)
53: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah akan menjadikan kebutuhan-kebutuhan manusia kepadanya“.[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/95)]
Hadits ini palsu disebabkan oleh adanya rawi dalam sanad-nya yang
bernama Yahya bin Syabib; dia seorang pemalsu hadits. Karenanya Syaikh
Al-Albaniy meletakkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2224)
54: “Sesungguhnya manusia yang paling buruk
kedudukannya, orang yang menghilangkan (menghancurkan) akhiratnya dengan
dunia orang lain“.[HR. Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (2398), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6938)]
Hadits ini adalah hadits dhoif (lemah), karena rawi yang bernama
Syahr bin Hausyab, seorang jelek hapalannya dan banyak me-mursal-kan
hadits, dan Al-Hakam bin Dzakwan, seorang yang maqbul. Intinya, hadits
ini lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam
Adh-Dho’ifah (2229)
55: “Jika telah datang (lewat) 40 tahun pada diri seorang hamba, maka wajib baginya untuk takut dan khawatir kepada Allah -Ta’ala- “.[HR. Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (1/89)]
Hadits ini palsu karena ada rawi dalam sanad-nya yang bernama Ahmad
bin Nashr bin Abdillah yang dikenal dengan Adz-Dari’. Dia adalah
seorang pemalsu hadits, pendusta, dan dajjal. Karenanya, Al-Albaniy
Al-Atsariy menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (2200)
56: “Segala urusan penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan alhamdulillah, maka urusan itu akan terputus“.[HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1894)]
Hadits ini lemah karena ke-mursal-an yang terjadi pada sanad-nya
sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (2/677), dan
Syaikh Al-Albaniy. Karenanya, Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam
Al-Irwa’ (2).
57: “Di antara bentuk ketawadhu’an,
seorang mau meminum sisa minuman saudaranya. Barang siapa yang meminum
sisa minum saudaranya, karena mencari wajah Allah -Ta’ala-, maka akan
diangkat derajatnya sebanyak 70 derajat, dan akan dihapuskan 70
kesalahan darinya, serta dituliskan baginya 70 derajat”[HR.Ad-Dauqutniy sebagaimana dalam Al-Maudhu’at (3/40) karya Ibnul Juaziy].
Hadits ini adalah hadits yang palsu karena ada seorang rawi yang
bernama Nuh bin Abi Maryam, dia adalah seorang yang tertuduh dusta.
Selain itu hadits ini semakin lemah karena Ibnu Juraij (seorang rawi
dalam hadits ini) adalah seorang yang mudallis, sedangkan ia
meriwayatkannya secara mu’an’anah (menggunakan lafadz dari). Demikian
penjelasan Syaikh Al-Albaniy secara ringkas dalam kitabnya Adh-Dho’ifah
(79).
58: “Beruntunglah orang yang diamnya
adalah tafakkur, pandangannya adalah ibroh, beruntunglah orang yang
mendapatkan istighfar yang banyak dalam catatan amalannya”.[HR. Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/123)].
Hadits ini adalah dhoif karena dalam sanad-nya terdapat dua orang
yang majhul (tidak dikenal), yaitu Abul Khushaib Ziyad bin Abdurrahman,
dan Husain bin Mansur Al-Asadiy Al-Kufiy dan juga seorang yang lemah
(Hibban ibnu Ali Al-Anaziy). Syaikh Al-Albaniy menghukumi hadits ini
dho’if (lemah) dalam Adh-Dho’ifah (2519).
59: “Seutama-utamanya makanan dunia dan akhirat adalah daging”.[HR. Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afa’ (1264)].
Hadits ini dihukumi dhoif jiddan oleh Al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Adh-Dho’ifah (2518), karena ada
seorang rawi yang bernama Amr bin Bakr As-Saksakiy. Hadits-haditsnya
menyerupai hadits palsu. Sebab itu Al-Hafizh menggelarinya dengan matruk
(ditinggalkan karena biasa berdusta atas nama manusia). Selain itu,
anaknya (Ibrahim bin Amr As-Saksakiy) yang meriwayatkan darinya senasib
dengan ayahnya.
60: “Perbanyaklah dzikir kepada
Allah dalam segala kondisi, karena tak ada suatu amalan yang lebih
dicintai oleh Allah -Ta’ala- , dan lebih menyelamatkan seorang hamba
dari segala kejelekan di dunia, dan akhirat dibandingkan dzikir kepada
Allah“.[HR. Adh-Dhiya’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (7/112/1)]
Hadits ini palsu, karena Abu Abdir Rahman Asy-Syamiy. Dia adalah
seorang pendusta seperti yang dinyatakan oleh Al-Azdiy -rahimahullah-.
Ada penguat bagi hadits ini dari riwayat Al-Baihaqiy, sayangnya hadits
ini juga palsu, karena ada rawi-nya bernama Marwan bin Salim Al-Ghifariy
Al-Jazariy; dia adalah pendusta. Lihat rincian palsunya hadits ini
dalam Adh-Dho’ifah (2617).
61: “Waspadalah terhadap dunia, karena ia lebih memperdaya dibandingkan Harut dan Marut“.
Namun sayang, hadits ini adalah palsu, tak ada asalnya. Hadits ini
disebutkan oleh Al-Ghozaliy dalam Ihya’ Ulumuddin, padahal ia palsu.
Al-Iroqiy dalam Takhrij Al-Ihya’ (3/177) menukil dari Adz-Dzahabiy bahwa
hadits ini mungkar, tak ada asalnya. Sebab itu, Al-Albaniy
menempatkannya dalam Adh-Dho’ifah (34) sebagai tempat bagi hadits palsu
dan dhoif.
62: “Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat”.[HR. Abud Dawud (514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya]
Hadits ini lemah karena berasal dari Abdurrahman bin Ziyad
Al-Afriqiy. Dia lemah hapalannya. Sebab itu, Al-Albaniy melemahkannya
dalam Adh-Dha’ifah (no. 35) dan Al-Irwa’ (237).
Syaikh Al-Albaniy berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di antara
dampak negatif hadits ini, dia merupakan sebab timbul perselisihan di
antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana hal itu sering terjadi.
Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid karena ada udzur,
sebagian orang yang hadir ingin meng-iqamati shalat, maka tak ada
seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya seraya berhujjah
dengan hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu kalau haditsnya lemah,
tidak boleh mengasalkannya kepada Nabi SAW , terlebih lagi melarang
orang bersegera menuju ketaatan kepada Allah, yaitu meng-iqamati
shalat”.
63: “Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa) di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-orang jahiliyah”.
Ahmad bin Abdul Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/525)]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menyatakan bahwa hadits ini tidak ada asal-muasalnya, “Hadits
ini pernah aku lihat dalam sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan
sebagian kitab orang-orang Qodiyaniyyah (Ahmadiyyah). Mereka
menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya beriman kepada Nabi Palsu,
Mirza Ghulam Ahmad. Andaikan hadits ini shahih, niscaya tidak ada
isyarat sedikit pun tentang sesuatu yang mereka sangka, paling tidak
intinya kaum muslimin wajib mengangkat seorang pemerintah yang akan
dibai’at”. [Lihat As-Silsilah Adh-Dho’ifah (no. 350).
64: “Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”.[HR.
An-Nasa`iy dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna wa
Al-Asma’ (2/104) dari Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari
Majma’ bin Jariyah dari pamannya]
Hadits ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang
majhul, yaitu Bisyr bin Gholib. Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah-
berkata dalam Al-Manar Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara tentang akal seluruhnya palsu”.
Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy berkata, “Di antara hal yang
perlu diingatkan bahwa semua hadits yang datang menyebutkan keutamaan
akal adalah tidak shahih sedikit pun. Hadits-hadits tersebut berkisar
antara lemah dan palsu. Sungguh aku telah memeriksa, diantaranya hadits
yang dibawakan oleh Abu Bakr Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa
Fadhluh, maka aku menemukannya sebagaimana yang telah aku utarakan,
tidak ada yang shahih sama sekali”. [Lihat Adh-Dhi’ifah (1/54)]
65: “Mengusap tengkuk merupakan pelindung dari penyakit dengki”.
An-Nawawiy berkata dalam Al-Majmu’ (1/45), “Ini adalah hadits palsu, bukan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-”.
Syaikh Al-Albaniy berkata, “Hadits ini palsu”. [Lihat Adh-Dho’ifah (1/167)]
Dari sini, kita mengetahui tentang tidak disyari’atkannya mengusap
tengkuk ketika berwudhu’, karena tidak ada hadits yang shahih
menetapkannya. Adapun hadits ini – sebagaimana yang anda lihat-
merupakan hadits palsu. Jadi, tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah
dalam menetapkan suatu hukum.
66: dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu ‘anhu
wafat, maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin
Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah
selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).
“Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang”
Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar’i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha’ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat.” (Lihat At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha’ifah wal Maudlu’at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).
67: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu
dengan hak orang-orang yang berdo’a kepada-Mu, dan aku meminta
kepada-Mu dengan hak perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidaklah keluar
dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya’ dan sum’ah. Aku
keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku
meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api neraka dan mengampuni
dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa
kecuali Engkau.” Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70000
malaikat akan memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini telah didha’ifkan Al Allamah Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adhdho’ifah (1/34) dan dalam At Tawassul hal. 99).
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”
Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, “Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha’if.”
68: ketika Adam melakukan kesalahan, dia
berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar
Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau
mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata,
“Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau
tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat
tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah Muhammadun
rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu
kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian
Allah berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena
Muhammad tidaklah aku menciptakanmu” (Diriwayatkan oleh Al Hakim
(2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: “Shahihul Isnad akan tetapi
Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan
hadits ini maudhu’, Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al
Fahri tidak diketahui jati dirinya.”)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma’rifatish Shahih Minas Saqim, “Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut.” Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, “Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha’if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits).” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul hal 69).
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Silsilah Ahadits Addha’ifah 1/40).
69: “Tidak ada hari yang paling
dicintai Allah untuk diibadahi pada hari itu selain 10 hari di (awal)
bulan Dzulhijjah, pahala puasa pada setiap harinya senilai dengan pahala
puasa sepanjang tahun, dan sholat pada setiap malamnya senilai dengan
sholat pada malam Lailatul Qadar” ( hadits dho’if ) Abu ‘Isa (At
Tirmidzi) berkata, “Hadits ini gharib tidak diketahui selain dari hadits
Mas’ud bin Washil, dari An Nahas, … (dst)”, dan didha’ifkan Syaikh Al
Albani dalam Dha’if Sunan Ibnu Majah (1728) no. 377 akan tetapi terdapat perbedaan lafazh dalam hadits ini, lihat Al Misykat (1471), Dha’if Jami’ush Shaghir (5161), dan Dha’if At Targhib no. 123, Silsilah Adh Dha’ifah 5142
70: “Barangsiapa yang berpuasa di 10
(hari awal Dzulhijjah) baginya tiap hari seperti pahala puasa sebulan
penuh, pahala puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah) senilai dengan puasa setahun
penuh, dan pahala puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah) senilai pahala puasa
selama dua tahun” ( hadits palsu ),
Ibnu Hibban berkata, “Jelas sekali nampak kedustaan di dalamnya hingga tidak perlu lagi dijelaskan derajat haditsnya” lihat Al Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (2/112), dan Al Fawa’id Al Majmu’at Kitab Ash Shiyam hadits no. 30, At Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’at (2/187)
Ibnu Hibban berkata, “Jelas sekali nampak kedustaan di dalamnya hingga tidak perlu lagi dijelaskan derajat haditsnya” lihat Al Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (2/112), dan Al Fawa’id Al Majmu’at Kitab Ash Shiyam hadits no. 30, At Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’at (2/187)
71: “Puasa di 10 hari awal Dzulhijjah
pahalanya senilai dengan puasa 100 tahun, hari kedua (Dzulhijjah)
senilai puasa 200 tahun, puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah) pahalanya senilai
1000 tahun, dan puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah) senilai 2000 tahun.”
Tidak shahih, lihat Tadzkiratul Maudhu’at (119), Mausu’ah Al Ahadits wa Al Atsar Ad Dha’ifah wa Al Maudhu’at 13434
Tidak shahih, lihat Tadzkiratul Maudhu’at (119), Mausu’ah Al Ahadits wa Al Atsar Ad Dha’ifah wa Al Maudhu’at 13434
72: “Puasa hari Tarwiyah menjadi kafarah (penghapus dosa –pent) satu tahun, dan puasa hari ‘Arafah menjadi kafarah dua tahun” ( hadits Maudhu ), lihat Dha’if Al Jami’ no. 3501, Irwa’ul Ghalil 4/121
73: “Adalah (Nabi shallallaahu ‘alahi
wa sallam) biasa berpuasa pada kesembilan hari di bulan Dzulhijjah, hari
Asyura, tiga hari setiap bulannya, hari Senin pada setiap awal bulan,
dan hari Kamis dan Senin setelah Jumat kedua” ( hadits dha’if ), Az Zaila’i berkata hadist ini dha’if. Lihat Dha’if Al Jami’ no. 4570
74: “Tidak ada hari yang lebih utama
di sisi Allah dan tidak ada amal yang dikerjakan di waktu tersebut yang
paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla daripada hari ini –yaitu 10 hari di
awal bulan Dzulhijjah- maka perbanyaklah kalian bertahlil dan bertakbir
mengingat Allah di dalamnya. Amal di bulan ini dilipatgandakan 700 kali” ( hadits dha’if ), didha’ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if At Targhib wa At Tarhib 1/364
75: “Allah ‘Azza wa Jalla telah
memilih satu waktu, dan waktu yang paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai
ialah Dzulhijjah, dan waktu yang paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai di
bulan Dzulhijjah ialah sepuluh hari awal ” ( hadits dha’if ) di dho’ifkan oleh Ibnu ‘Adi, dan Ibnu Rajab di Latha’iful Ma’arif 467
76: Dari Al Auza’I rahimahullah beliau berkata, “
Telah sampai kepadaku bahwasanya amal di sepuluh hari awal bulan
Dzulhijjah pahalanya seperti berperang di jalan Allah, siang harinya
diisi dengan puasa dan malam harinya dengan giat (beribadah), kecuali
seseorang yang telah dikhususkan dengan syahadah (mati syahid) ”. Telah menceritakan kepadaku dengan hadits ini seorang dari Bani Makhzum, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Didha’ifkan Al Albani dalam Dha’if At Targhib dan At Tarhib 1/365 dan makna hadits ini shahih dengan lafadz selain ini (yaitu “berpuasa di siang harinya dan giat beribadah di malam harinya”) lihat Shahih Ibnu Hibban 3853
Didha’ifkan Al Albani dalam Dha’if At Targhib dan At Tarhib 1/365 dan makna hadits ini shahih dengan lafadz selain ini (yaitu “berpuasa di siang harinya dan giat beribadah di malam harinya”) lihat Shahih Ibnu Hibban 3853
77: “ Empat hal yang tidak pernah
ditinggalkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Puasa hari
‘Asyura (10 Muharram –pent), 10 hari di awal Dzulhijjah, tiga hari di
setiap bulan, dan dua raka’at sebelum matahari terbit ” hadits didha’ifkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ (4/111), Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’I 2416
78: “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam biasa mengatakan pada hari-hari di sepuluh awal Dzulhijjah,
’Setiap hari pahalanya seperti 1000 hari’ dan pada hari Arafah,
‘Pahalanya 10 kali lipat dari hari seperti ini’” didha’ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if At Targhib wa At Tarhib 1/365
79: “Ada seorang pemuda yang biasa
memperdengarkan (nyanyian) dan setiap nampak hilal bulan Dzulhijjah ia
berpuasa, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus
kepadanya dan berkata, ‘Apa yang membuatmu berpuasa pada hari-hari
ini?”. Ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah, sesungguhnya
inilah hari-hari Masya’ir dan Haji, aku berharap Allah ‘Azza wa Jalla
menyertakanku dalam do’a mereka. Kemudian Nabi berkata kepadanya,
‘Setiap harinya (engkau berpuasa –pent) senilai dengan pahala
membebaskan 100 budak, kemudian 100 budak tersebut menjadi penunjuk
jalan ke Baitullah, dan 100 kuda betina yang mereka kendarai di jalan
Allah jika itu hari Tarwiyah, senilai dengan 1000 budak, dan 1000 unta,
dan 1000 kuda yang mereka kendarai di jalan Allah jika itu hari Arafah,
senilai dengan 2000 budak dan 2000 unta, dan 2000 yang mereka kendarai
di jalan Allah, dan puasa dua tahun sebelumnya, dan puasa dua tahun
setelahnya”.
hadits palsu, sebagaimana dalam “Al Maudhu’at” (2/111), La’ali’ (2/107), At Tanzih Asy Syari’ah 2/148, dan Al Fawa’id Al Majmu’ah (95)
hadits palsu, sebagaimana dalam “Al Maudhu’at” (2/111), La’ali’ (2/107), At Tanzih Asy Syari’ah 2/148, dan Al Fawa’id Al Majmu’ah (95)
80: “Di hari pertama bulan Dzulhijjah
Allah mengampuni Adam dan barangsiapa yang berpuasa pada hari tersebut
Allah akan mengampuni seluruh dosanya” “Di hari kedua Allah
mengabulkan doa sayyidina Yusuf, dan barangsiapa yang berpuasa di hari
itu pahalanya seperti beribadah kepada Allah setahun penuh dan tidak
bermaksiat walau sekejap mata” “Di hari ketiga Allah mengabulkan doa Zakaria, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari itu Allah akan mengabulkan doanya”
“Di hari keempat lahir sayyidina ‘Isa ‘alaihissalam, dan barangsiapa
berpuasa pada hari itu Allah akan menghilangkan kefakiran darinya dan
pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama As Safarat Al Kiram
(malaikat yang mulia –pent)“Di hari kelima lahirlah Musa
‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu ia akan dibebaskan
dari sifat munafik dan adzab kubur” “Di hari keenam Allah
membukakan sayyidina Muhammad ‘alaihis sholatu wassalam kebaikan, dan
barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan melihatnya dengan
rahmat-Nya dan ia tidak akan diadzab” “Di hari ketujuh ditutup
pintu-pintu jahannam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan
tutup baginya 30 pintu kesulitan dan Allah bukakan baginya 30 pintu
kebaikan” “Di hari kedelapan yang disebut juga dengan hari
Tarwiyah, barangsiapa berpuasa pada hari itu akan diberi balasan yang
tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah” “Di hari
kesembilan yaitu hari Arafah barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah
akan mengampuni dosanya selama setahun sebelumnya, dan setahun
sesudahnya” “Di hari kesepuluh yaitu Idul Adha, di dalamnya
terdapat qurban, penyembelihan, dan pengaliran darah (hewan qurban),
Allah akan mengampuni dosa anak-anaknya (yaitu orang yang berpuasa tadi
–pent). Barangsiapa yang member makan orang mukmin dan bershadaqah Allah
akan mengutus baginya pada hari kiamat, keamanan dan timbangannya lebih
berat dari Gunung Uhud ”
Hadits ini tidak ada asalnya, namun banyak tersebar di forum-forum internet
Hadits ini tidak ada asalnya, namun banyak tersebar di forum-forum internet
81: ”Barangsiapa berpuasa pada hari ke-28 Dzulhijjah, akan dituliskan baginya pahala puasa 60 bulan ” hadits dha’if, lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah 10/594
82: “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam jika beliau terlewat beberapa hari di bulan Ramadhan, beliau
mengqadha’nya di sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah ” hadits dha’if. Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah 12/989
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar