بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
قال الشافعي: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
Niat itu tidak dapat menggantikan
takbir. Niat itu tiada memadai, selain bahwa ada bersama takbir. Ia
tidak mendahului takbir dan tidak sesudah takbir.
Siapa Penggagas Niat ?
Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan
kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih
termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy
Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan niat ketika
shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru
dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i yakni redaksi sebagai
berikut:” Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah
dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak
seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan
oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL
NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu’ II/43]
An Nawawi (seorang ulama
pembesar mazhab Syafi’i) berkata: “Beberapa rekan kami berkata: “Orang
yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh As
Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi
berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga
Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat.Menurut
kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya
saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya
dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam
An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)
Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman
(artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena
Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an
(artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah
juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah bid’ah yang
tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang
sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi
yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang
sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama
belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’I radhiallahu anhu
didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak
ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.”Kata
dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal
yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah
TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan sesuatu
yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,
tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya. Demikianlah
jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang
membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka kita akan
menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk
mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah
Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma’aad I/201;Ighatsatul Lahfaan
I/136-139;I’laamul Muwaqqi’iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail
Sulaiman al-Mishri [2] berkata : “Perbuatan seperti ini tidak benar.
Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas
jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat
niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi
wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadist
beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh
hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan
sesuai yang ia niatkan.”
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan
lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada
satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu
‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak shalat dan berpuasa.
Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku berpuasa di bulan
ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…” dan
mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat
tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba
simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yg mengerti
dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
serta mereka adalah para mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun
hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi
niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).
Hakekat Niat
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam
kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa
(pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para imam Muslimin dalam semua
ibadah : bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan
budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya
mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka
teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia
lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan
niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belu mencukupi menurut
kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis
tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa :
“Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk
melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada
sangku pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah
diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga
para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri
BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati
seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi kadang-kdang juga
sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan
kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati
telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk
cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan
kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar
untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani
sendiri telah menjabarkan dgn panjang untuk penjelasan hadist “innamal
‘amalu binniyyati” dalam kitabnya “Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari”
(kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari hadist-hadits yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa diambil adalah :
“Amal perbuatan adalah tergantung
niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn sendirinya) membedakan apakah
niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, di
qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah masih perlu ditegaskan
(kembali) jumlah rakaat sholat yang akan dikerjakan ? …Tapi pendapat yg
kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya,
seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat qashar, ia tidak
perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu
merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua !”
Dan beliau juga menjelaskan makna niat
dari perkataan Imam Baidhawi : “Niat adalah dorongan hati untuk
melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak
mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan
yang diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya.” [5]
Masalah Bacaan Niat Dalam Shalat
Masalah malafadzkan bacaan niat dalam
sholat ini, tidak ada satu orang perawi hadist pun dari 6 orang imam
(Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang
memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam kitab “Musnad
Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab “Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang
bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan
bermacam-macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’ :
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak
mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak pula hal
tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari
masalah niat dalam sholat dengan berkata : “Ini (melafadzkan niat
usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan
sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,bahkan tidak ada seorang
dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.” [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab
Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224, Al-Maktab
Al-Islami : “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah
menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan
sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah
dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini
secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir.” [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani;
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Berkata : “Rasululloh Shalallahu ‘alaihi
wa sallam membuka sholat dengan kata-kata’Allohu Akbar’ (HR. Muslim dan
Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia
belum pernah membuka sholat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan
‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini
adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih apakah bid’ah seperti itu
baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan bahwa setiap bid’ah di dalam
ibadah itu adalah merupakan suatu kesesatan.berdasarkan sabda Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam :”Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap
sesat neraka tempatnya.” [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam
‘Fiqqus Sunnah’ bahwa : “Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan
diucapkan pada permulaan bersuci dan sholat ini, telah dijadikan oleh
syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi
was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran tersebut, dan
menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing
mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya, pada
hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat.” [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin
Umar As-Syafi’I (seorang pembesar ulama mazhab Syafi’i), ia berkata :
“Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan
makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada
jama’ah sholat, maka hukumnya haram.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa
mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan
lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa didasari
ilmu. [Al A’lam 3/194 [10]
Syaikh ‘Alauddin Al ‘Athhor , belau
berkata : meninggikan (niat) suara hingga menimbulkan kebisingan /
gangguan kepada jam’ah sholat adalah haram secara ijma’, apabila tidak
demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid’ah yang keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’ , adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang
mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari sunnah.Membenarkan (niat
dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan keyakinan demikian
pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail al Kubro
1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi
al-Maliki, ia berkata : “Niat termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya
adalah bid’ah dan perbuatan itu juga menganggu orang lain.”[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada
Imam Ahmad bin Hambal, : “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca
sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam
madzhab Syafi’i) berkata, : “Juga termasuk perbuatan bid’ah, adalah
was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini tidak dilakukan Rasululloh
dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat ketika shalat,
melainkan hanya takbir.” [1]
Imam Asy-SYAFI’I berkata : “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.” [1]
Ibnu Jauzy berkata : “Diantara tipu daya
iblis adalah menipu mereka dalam niat shalat. Diantara mereka ada yang
berkata, ‘Sengaja aku shalat ini dan ini,’ kemudian ia mengulanginya
lagi karena ia mengira niatnya telah batal, padahal niatnya tidak gugur
walaupun ia melafalkan apa yang tidak dimaksudkannya.”
______________
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2.”Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah”
(edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah oleh Syaikh Abul
Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-Mishri, terbitan Pustaka
At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. “Ighasatul Lahfan”, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. “Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr.
Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi Laila, hal 18 & 20.
5. “Fathul Baari bi Syarh Shahih
al-Bukhari”,(edisi Indonesia) Penjelasan Kitab Shahih Bukhari oleh
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk Abdul Aziz Abdullah
bin Baz
6. “Zaadul Ma’ad”, hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi Indonesia) Duta Ilmu
7. “Syahdzaratil Balatin min Thayyibati
Kalimati Salafinash Shalihin – Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad
bin Hambal, cet. ke-X, (edisi Indonesia) Bulan Bintang
8. “Shifatu Sholati Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad Nashruddin Al-Albani,
Maktabah Al Ma’arif Riyadh
9. “Fiqqus Sunnah”, Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al- Ma’arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An
Nawawiyah , Fati’ Muhammad Sulthan , hal 31 , cet. II/1410 H , Darul
Hijroh Linnasyr wa Attazi’ Riyadh.
11. “Sifat Puasa Nabi”, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)Pustaka Al-Haura
12. “Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh
Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia”, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz
Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 98 –
104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
13. Al Umm – Imam Syafi’i – 121- 1 Maktabah Syamilah
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar