Apa Kata Imam Syafi’i Mengenai Masalah Mengucapkan NIAT dalam Kitabnya AL UMM

0 komentar
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


قال الشافعي: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده

Niat itu tidak dapat menggantikan takbir. Niat itu tiada memadai, selain bahwa ada bersama takbir. Ia tidak mendahului takbir dan tidak sesudah takbir.

Siapa Penggagas Niat ?

Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i yakni redaksi sebagai berikut:” Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu’ II/43]
An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) berkata: “Beberapa rekan kami berkata: “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat.Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)
Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah bid’ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’I radhiallahu anhu didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.”Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya. Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma’aad I/201;Ighatsatul Lahfaan I/136-139;I’laamul Muwaqqi’iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata : “Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku berpuasa di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…” dan mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).

Hakekat Niat

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belu mencukupi menurut kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa : “Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada sangku pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dgn panjang untuk penjelasan hadist “innamal ‘amalu binniyyati” dalam kitabnya “Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari” (kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari hadist-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa diambil adalah :
“Amal perbuatan adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn sendirinya) membedakan apakah niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat sholat yang akan dikerjakan ? …Tapi pendapat yg kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua !”
Dan beliau juga menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi : “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya.” [5]

Masalah Bacaan Niat Dalam Shalat

Masalah malafadzkan bacaan niat dalam sholat ini, tidak ada satu orang perawi hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam kitab “Musnad Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab “Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan bermacam-macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’ :
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan berkata : “Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.” [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224, Al-Maktab Al-Islami : “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir.” [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani;
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Berkata : “Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam membuka sholat dengan kata-kata’Allohu Akbar’ (HR. Muslim dan Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia belum pernah membuka sholat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan ‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih apakah bid’ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan bahwa setiap bid’ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu kesesatan.berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya.” [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqqus Sunnah’ bahwa : “Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan sholat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya, pada hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat.” [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’I (seorang pembesar ulama mazhab Syafi’i), ia berkata : “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada jama’ah sholat, maka hukumnya haram.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa didasari ilmu. [Al A’lam 3/194 [10]
Syaikh ‘Alauddin Al ‘Athhor , belau berkata : meninggikan (niat) suara hingga menimbulkan kebisingan / gangguan kepada jam’ah sholat adalah haram secara ijma’, apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid’ah yang keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’ , adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari sunnah.Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail al Kubro 1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata : “Niat termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid’ah dan perbuatan itu juga menganggu orang lain.”[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, : “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi’i) berkata, : “Juga termasuk perbuatan bid’ah, adalah was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini tidak dilakukan Rasululloh dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat ketika shalat, melainkan hanya takbir.” [1]
Imam Asy-SYAFI’I berkata : “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.” [1]
Ibnu Jauzy berkata : “Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, ‘Sengaja aku shalat ini dan ini,’ kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah batal, padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang tidak dimaksudkannya.”
______________
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2.”Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah” (edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-Mishri, terbitan Pustaka At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. “Ighasatul Lahfan”, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. “Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr. Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi Laila, hal 18 & 20.
5. “Fathul Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari”,(edisi Indonesia) Penjelasan Kitab Shahih Bukhari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk Abdul Aziz Abdullah bin Baz
6. “Zaadul Ma’ad”, hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi Indonesia) Duta Ilmu
7. “Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin – Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, (edisi Indonesia) Bulan Bintang
8. “Shifatu Sholati Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad Nashruddin Al-Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh
9. “Fiqqus Sunnah”, Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al- Ma’arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An Nawawiyah , Fati’ Muhammad Sulthan , hal 31 , cet. II/1410 H , Darul Hijroh Linnasyr wa Attazi’ Riyadh.
11. “Sifat Puasa Nabi”, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)Pustaka Al-Haura
12. “Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia”, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 98 – 104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
13. Al Umm – Imam Syafi’i – 121- 1 Maktabah Syamilah
 
والله أعلمُ بالـصـواب


Posting Komentar