PERAYAAN ULANG TAHUN.. SALAH SATU PENGAMALAN INJIL MARKUS PASAL 6 AYAT 21-22 ( tasyabuh)

0 komentar
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
 
Untuk lebih jelasnya mari kita tuliskan kembali kalimat pada Injil Markus Pasal 6 Ayat 21-22 tersebut:
Injil  Markus Pasal 6 Ayat 21:
Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodias, ketika Herodes PADA HARI ULANG TAHUNNYA mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea.

Injil Markus Pasal 6 Ayat 22:
Pada waktu itu anak perempuan Herodias tampil lalu menari, dan ia menyukakan hati Herodes dan tamu-tamunya. Raja berkata kepada gadis itu: "Minta dari padaku apa saja yang kauingini, maka akan kuberikan kepadamu!"

Demikianlah bunyi Injil Markus Pasal 6 ayat 21-22 tersebut.

Saudara-saudara kita sesama Muslim yang masih merayakan ulang tahun, baik itu ulang tahunnya sendiri atau pun ulang tahun orang lain, apakah itu orangtuanya, istrinya, suaminya, anaknya, atau pun anggota keluarganya yang lain, ketika kita jelaskan kepada mereka bahwa merayakan ulang tahun bukanlah cara hidup orang Islam, melainkan cara hidup orang Nashrani sebagaimana yang tertulis dalam Injil Markus Pasal 6 Ayat 21-22 di atas, maka mereka akan memberikan tanggapan yang beraneka ragam.

Yang sama sekali belum mengetahui dan menginginkan kebaikan, maka setidak-tidaknya akan menjawab:

“Ya.. saya memang baru tahu.. kalau memang demikian.. Insyaallah akan saya tinggalkan”

Dan yang sama sekali belum tahu, tapi masih ragu meninggalkan, maka kurang lebih akan menjawab:

“Ah masa.. saya memang baru tahu.. tapi bagaimana akan meninggalkannya?.. Bukankah masih banyak sekali orang Islam yang masih merayakan Ulang Tahun? ..Jadi saya ‘kan tidak sendirian.. Dan bukankah Para Pemimpin Kaum Muslimin dan bahkan para pemuka agama yang biasa dipanggil Kiyai, Tuan Guru, Habib dan Ustadz pun masih banyak yang membolehkannya.. bahkan ikut merayakan Ulang Tahun? Jadi kenapa pula saya yang hanya berasal dari kalangan awam ummat ini mesti meninggalkannya?

Tapi yang sama sekali belum tahu, dan sudah pasti tidak mau meninggalkan, maka sekurang-kurangnya akan menjawab:

“Ya.. saya memang baru tahu.. tapi saya tidak akan meninggalkannya.. karena saya hanya akan ikut apa kata guru saya..Kiyai saya bilang merayakan ulang tahun itu nggak apa-apa.. Tuan Guru juga bilang begitu.. Habib juga.. termasuk ustadz saya juga bilang begitu.. bahkan mereka adalah orang-orang yang paling aktif mengamalkan perayaan ulang tahun.. apalagi perayaan ulang tahun Nabi.. Alias Maulid Nabi.. Mereka tidak pernah ketinggalan..."

Ya.. tanggapan akan bisa berbeda satu dengan yang lain, ada yang bisa menerima petunjuk ada juga yang tidak mau menerima, sebagaimana sabda Nabi:
من يهده الله فلا مضل له ومن يضلله فلا هادي له

Sesungguhnya Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak akan ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak akan ada yang dapat memberinya petunjuk.
(HR. An-Nasa’iy)

Sungguh benar pula apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah, karena beliau adalah seorang Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah, bahwa seiring perjalanan zaman, ummat beliau perlahan-lahan tanpa terasa telah ikut menyelenggarakan ritual-ritual/ibadah dan cara hidup beragama/manhaj orang-orang sebelum mereka, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“
(HR. Bukhari no. 7319)


Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”
(HR. Muslim no. 2669).


Ibnu Taimiyah menjelaskan:

Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara.
(Majmu’ Al Fatawa, 27: 286)

Syaikhul Islam menerangkan pula bahwa:

Dalam shalat ketika membaca Al Fatihah kita selalu meminta pada Allah agar diselamatkan dari jalan orang yang dimurkai dan sesat yaitu jalannya Yahudi dan Nashrani. Dan sebagian umat Islam ada yang sudah terjerumus mengikuti jejak kedua golongan tersebut.
(Majmu’ Al Fatawa, 1: 65)

Imam Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan:

“Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziroo' (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”
(Syarh Muslim, 16: 219)

Jadi, apakah setelah ini kita akan menjadi Kaum Muslimin yang tunduk dan patuh pada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang telah difahami dan diamalkan oleh Rasulullah dan Para Shahabatnya serta generasi setelahnya yang mengikuti mereka dengan baik (Salafus Sholeh)?

Ataukah kita hanya akan menjadi Muslim secara pengakuan saja, atau lebih parah lagi adalah karena faktor “kebetulan” saja alias faktor keturunan, oleh karena hidup kita telah dipenuhi oleh ritual-ritual/ ibadah dan tata cara hidup beragama/manhaj dari agama-agama lain, termasuk dalam hal ini adalah agama Yahudi dan Nashrani, karena kita telah beragama dengan mengatakan:

“pokoknya saya sih apa yang dikatakan oleh guru saya saja.. kalau guru saya mengatakan tidak apa-apa ya berarti tidak apa-apa”, atau “kita beragama mengikuti zaman saja.. kalau orang di zaman ini seperti itu ya kita ikut seperti itu”, atau “ah.. saya sih bagaimana orang banyak saja.. kalau di lingkungan orang yang sebagian besar begitu ya saya juga ikut begitu.”

Kalau sudah begitu.. bagaimana lagi bisa berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah?

Wallaahul Musta’an.. Hanya Allah saja tempat memohon pertolongan..
والله أعلمُ بالـصـواب


Posting Komentar