بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Apakah kumpulan mushaf yang kita sebut sekarang Al-Qur’an itu bid’ah?
ARGUMEN PERTAMA Dijawab oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi:
Pengumpulan mushaf di zaman ‘Utsman bukanlah termasuk bid’ah. Walaupun di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum ada pengumpulan mushaf tersebut, namun kondisi di zaman ‘Utsman sangat menuntut untuk dikumpulkannya mushaf. ‘Utsman sendiri telah didahului oleh Abu Bakr di zamannya, para sahabat pun waktu itu sepakat. Sehingga hal ini adalah ijma’ atau kesepakatan para sahabat. Dan sesuatu yang disepakati para sahabat tentu bukan termasuk bid’ah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru memerintahkan untuk kita mengikuti mereka sebagaimana sabdanya:
“Maka hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Shahih, HR. Abu Dawud)
Di zaman Abu Bakr, semua sahabat sepakat, termasuk ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Sedangkan di zaman ‘Utsman, para sahabat yang ada juga bersepakat, termasul ‘Ali.
Demikianlah. Ijma’ merupakan salah satu landasan agama, sebagaimana dijelaskan para ulama berdasarkan dalil dari ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya:
“Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku untuk sepakat dalam kesesatan.” (Shahih, HR. Adh-Dhiya’ dalam Al-Mukhtarah)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menceritakan sejarah pengumpulan Al-Qur’an: Zaid bin Tsabit Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu -beliau termasuk salah seorang penulis wahyu- berkata: Abu Bakr mengutus kepadaku (utusan untuk memanggilku setelah) pembantaian oleh penduduk Yamamah. Umar berada di sisinya. Lalu Abu Bakr mengatakan: “Sesungguhnya pembunuhan telah memakan korban banyak manusia pada peperangan Yamamah. Aku khawatir akan banyak pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur’an di banyak tempat, sehingga banyak yang hilang dari Al-Qur’an, kecuali bila kalian mengumpulkannya. Sungguh aku memandang agar engkau kumpulkan Al-Qur’an.”
Abu Bakr mengatakan: “Aku katakan kepada Umar, ‘Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam!’ Maka Umar menjawab: ‘Itu, demi Allah, baik.’ Maka Umar terus mengulang-ulangi hal itu kepadaku, sehingga Allah shallallahu ‘alaihi wasallam lapangkan dadaku untuk itu dan aku memandang sebagaimana pandangan Umar.
Zaid mengatakan: Umar duduk di sisi Abu Bakr dan tidak berbicara. Abu Bakr lalu mengatakan: “Sesungguhnya engkau (wahai Zaid) adalah seorang yang masih muda, lagi cerdas dan kami tidak curiga kepadamu. Engkau dahulu ikut menulis wahyu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka telusurilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.”
Zaid mengatakan: “Maka demi Allah, seandainya Abu Bakr membebani aku untuk memindahkan salah satu gunung, itu tidak lebih berat bagiku daripada perintahnya kepadaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an.”
Aku katakan: “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi?” Maka Abu Bakr mengatakan: “Itu, demi Allah, baik.”
Maka aku terus berdiskusi dengannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala lapangkan dadaku untuk apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lapangkan untuknya dada Abu Bakr dan Umar. Aku pun bangkit sehingga aku telusuri Al-Qur’an. Aku kumpulkan dari lembaran, potongan tulang, pelepah kurma, dan dada-dada manusia. Sehingga aku dapatkan dua ayat dari surat At-Taubah bersama Khuzaimah Al-Anshari, yang aku tidak dapati keduanya pada seorang pun selain dia:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu…” (At-Taubah: 128-129) sampai akhir kedua ayat.
Dahulu lembaran-lembaran yang dikumpulkan padanya Al-Qur’an bersama Abu Bakr sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan beliau. Lalu lembaran-lembaran itu bersama Umar sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala wafatkan dia, lalu lembaran-lembaran tersebut bersama Hafshah bintu Umar.
Hudzaifah Ibnul Yaman mendatangi Utsman. Waktu itu, dia membantu penduduk Syam berperang membuka daerah Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak. Maka perselisihan mereka dalam bacaan (Al-Qur’an) telah membuat Hudzaifah takut, sehingga beliau mengatakan kepada Utsman: “Wahai Amirul Mukminin, segera selamatkan umat ini sebelum mereka berselisih dalam Al-Qur’an seperti perselisihan Yahudi dan Nasrani.” Maka Utsman mengutus utusan kepada Hafshah: “Kirimkanlah kepada kami lembaran-lembaran (kumpulan Al-Qur’an) untuk kami salin dalam mushaf, lalu kami kembalikan kepadamu.” Maka Hafshah mengirimkannya kepada Utsman, lalu beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id Ibnu Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, untuk menyalinnya di mushaf-mushaf. Lalu Utsman mengatakan kepada tiga orang Quraisy tersebut, ‘Bila kalian berbeda dengan Zaid bin Tsabit pada sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan bacaan Quraisy, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka.” Maka mereka melakukannya. Ketika mereka telah selesai menyalin lembaran-lembaran itu di mushaf-mushaf, ‘Utsman mengembalikannya kepada Hafshah. Beliau kemudian mengirimkan ke tiap penjuru satu mushaf dari yang mereka salin, lalu beliau memerintahkan agar Al-Qur’an selainnya baik lembaran atau mushaf untuk dibakar.
Asy-Syatibi mengatakan: “Banyak orang menganggap bahwa mayoritas maslahat mursalah [1] sebagai bid’ah, lalu mereka menyandarkan bid’ah ini kepada para sahabat dan tabi’in. Kemudian mereka menjadikan hal ini sebagai hujjah untuk membenarkan ibadah yang mereka buat-buat… (lalu beliau memberikan beberapa contoh, di antaranya) bahwa para sahabat sepakat untuk mengumpulkan Al-Qur’an padahal tidak ada nash (dalil) yang jelas dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an dan menulisnya. Bahkan sebagian sahabat mengatakan: ‘Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?’ … Akan tetapi mereka melihat adanya maslahat yang sesuai dengan tindakan-tindakan syariat yang pasti, karena pengumpulan itu kembalinya kepada penjagaan syariat. Sementara perintah untuk menjaga syariat itu sesuatu yang sangat diketahui. Hal itu juga menutup jalan menuju perselisihan dalam Al-Qur’an.” (Al-I’tisham)
Footnote:[1] Suatu maslahat yang tidak dianjurkan dengan nash syariat secara tegas dan jelas, namun tidak juga dilarang.
Sumber: Majalah Asy-Syariah no. 58/V/1431 H/2010, hal. 60, 61 dan 66.
ARGUMEN KEDUA
Ada sebagian kelompok dalam membela acara-acara bid’ahnya berdalil bahwa dulu para sahabat -Abu Bakar, ‘Utsman bin ‘Affan, Zaid bin Tsabit- saja melakukan bid’ah. Mereka mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya. Jika kita mengatakan bid’ah itu sesat, berarti para sahabatlah yang akan pertama kali masuk neraka. Inilah sedikit kerancuan yang sengaja kami temukan di sebuah blog di internet.
Ingatlah bahwa bid’ah bukanlah hanya sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa saja suatu amalan itu tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baru dilakukan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ini tidak termasuk bid’ah. Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya berikut.
“Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun mustahab (dianjurkan).
Adapun jika sesuatu tersebut diperintahkan dengan perintah wajib atau mustahab (dianjurkan) dan diketahui dengan dalil syar’i maka hal tersebut merupakan perkara agama yang telah Allah syari’atkan, … baik itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Segala sesuatu yang terjadi setelah masa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun berdasarkan perintah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti membunuh orang yang murtad, membunuh orang Khowarij, Persia, Turki dan Romawi, mengeluarkan Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab, dan semacamnya, itu termasuk sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Majmu’ Fatawa, 4/107-108, Mawqi’ Al Islam-Asy Syamilah)
Pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf ada dalilnya dalam syari’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis Al Qur’an, namun penulisannya masih terpisah-pisah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/97) mengatakan, “Sesuatu yang menghalangi untuk dikumpulkannya Al Qur’an adalah karena pada saat itu wahyu masih terus turun. Allah masih bisa mengubah dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki. Apabila tatkala itu Al Qur’an itu dikumpulkan dalam satu mushaf, maka tentu saja akan menyulitkan karena adanya perubahan setiap saat. Tatkala Al Qur’an dan syari’at telah paten setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula Al Qur’an tidak terdapat lagi penambahan atau pengurangan; dan tidak ada lagi penambahan kewajiban dan larangan, akhirnya kaum muslimin melaksanakan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan tuntutan (anjuran)-nya. Oleh karena itu, amalan mengumpulkan Al Qur’an termasuk sunnahnya. Jika ingin disebut bid’ah, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah secara bahasa (yaitu tidak ada contoh sebelumnya, pen).”
Perlu diketahui pula bahwa mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf merupakan bagian dari maslahal mursalah. Apa itu maslahal mursalah?
Maslahal mursalah adalah sesuatu yang didiamkan oleh syari’at, tidak ditentang dan tidak pula dinihilkan, tidak pula memiliki nash (dalil tegas) yang semisal sehingga bisa diqiyaskan. (Taysir Ilmu Ushul Fiqh, hal. 184, 186, Abdullah bin Yusuf Al Judai’, Mu’assasah Ar Royyan). Contohnya adalah maslahat ketika mengumpulkan Al Qur’an dalam rangka menjaga agama. Contoh lainnya adalah penulisan dan pembukuan hadits. Semua ini tidak ada dalil dalil khusus dari Nabi, namun hal ini terdapat suatu maslahat yang sangat besar untuk menjaga agama.
Ada suatu catatan penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan maslahah mursalah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/101-103) mengatakan, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“
Contoh penerapan kaedah Syaikhul Islam di atas adalah adzan ketika shalat ‘ied. Apakah faktor pendorong untuk melakukan adzan pada zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya : Ada (yaitu beribadah kepada Allah). Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ada faktor pendorong dan tidak ada penghalang. Pada zaman beliau ketika melakukan shalat ‘ied tidak ada adzan maupun iqomah. Oleh karena itu, adzan ketika itu adalah bid’ah dan meninggalkannya adalah sunnah.
Begitu pula hal ini kita terapkan pada kasus mengumpulkan Al Qur’an. Adakah faktor penghalang tatkala itu? Jawabannya: Ada. Karena pada saat itu wahyu masih terus turun dan masih terjadi perubahan hukum. Jadi, sangat sulit Al Qur’an dikumpulkan ketika itu karena adanya faktor penghalang ini. Namun, faktor penghalang ini hilang setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena wahyu dan hukum sudah sempurna dan paten. Jadi, mengumpulkan Al Qur’an pada saat itu adalah suatu maslahat.
Kaedah beliau ini dapat pula diterapkan untuk kasus-kasus lainnya semacam perayaan Maulid Nabi, yasinan, dan ritual lain yang telah membudaya di tengah umat Islam. –Semoga Allah memberikan kita taufik agar memahami bid’ah dengan benar-
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar