Akidah Kedua Orang Tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم

12 komentar
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Sebelumnya kami tekankan bahwa tulisan ini tidak ada maksud buruk apapun. Tulisan ini semata-mata kami tuliskan untuk menyampaikan kebenaran dan meluruskan salah satu kekeliruan fatal yang tersebar dan diyakini oleh sebagian besar kaum muslimin. Kekeliruan tersebut adalah keyakinan bahwa ayah dan ibu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم keduanya adalah termasuk orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala (mukmin).

Ternyata keyakinan ini adalah tidaklah benar. Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mereka hidup dan mati dalam keadaan musyrik, yaitu menyekutukan Allah di dalam peribadatan dengan sesuatu selain Allah (berhala). Mereka di masa hidupnya hingga matinya tetap menganut keyakinan dan ibadah syirik sebagaimana keumuman keadaan masyarakat Mekkah dan bangsa Arab di masa itu. Kenyataan dan keadaan seperti inilah yang membuat mereka kelak akan dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah ‘azza wa jalla.

Pernyataan ini bukanlah datang dari akal pikiran, hawa nafsu, atau sekedar perkataan dusta yang tidak dilandasi dalil dan bukti yang kuat. Berikut ini akan kami sampaikan dalil-dalil shahih yang menunjukkan atas kekafiran ayah dan ibu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم . Wallahul musta’an.

Dalil yang menunjukkan atas kafirnya Abdullah bin Abdil Muththalib, ayahanda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:


أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ

“Seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, di manakah ayahku berada?” Nabi menjawab: “Di dalam neraka.” Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi memanggilnya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” [HR Muslim (203)]

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ayahanda Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendapatkan hukuman yang sama dengan ayah dari lelaki tersebut, yaitu sama-sama berada di dalam neraka. Sebab yang membuat ayah Nabi Muhammad masuk ke dalam neraka adalah karena dia mati dalam keadaan menganut kepercayaan syirik penyembahan berhala, sebagaimana yang akan dijelaskan oleh Imam An Nawawi setelah ini.

Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim memberikan judul untuk hadits di atas:

باب بيان أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تناله شفاعة ولا تنفعه قرابة المقربين

Artinya: “Bab: Keterangan bahwasanya barangsiapa yang mati di atas kekufuran maka dia akan masuk neraka. Dia tidak akan mendapatkan syafaat dan hubungan kekeluargaan tidak memberikan manfaat baginya.”

Imam An Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Beliau berkata:

“Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati di atas kekufuran maka dia akan masuk neraka dan tidak bermanfaat baginya hubungan kekeluargaan. Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati pada masa fatrah (masa kekosongan/ ketiadaan nabi dan rasul) dalam keadaan dia menganut kepercayaan bangsa Arab yaitu penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni neraka.

Hal ini tidaklah bisa digugat dengan mengatakan bahwa hal ini terjadi sebelum sampainya dakwah (Islam) kepada mereka, karena sesungguhnya dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi yang lain (yaitu dakwah tauhid) -shalawatullahi ta’ala wa salamuhu ‘alaihim- telah sampai kepada mereka.

Adapun perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka.” Ini merupakan suatu budi pekerti yang baik, yaitu menghibur seseorang dengan mengatakan bahwa mereka sama-sama mendapatkan musibah yang sama.” Demikianlah penjelasan dari Imam An Nawawi rahimahullah ta’ala.

Dalil yang menunjukkan atas kafirnya Aminah bintu Wahb, ibunda Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم .

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:


زَارَ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمّهِ. فَبَكَىَ وَأَبْكَىَ مَنْ حَوْلَهُ. فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِي

“Nabi صلى الله عليه وسلم pergi berziarah ke kubur ibundanya. Lalu beliau menangis sehingga membuat orang-orang yang disekitarnya ikut menangis pula. Beliau berkata: “Saya telah meminta kepada Rabbku agar saya diizinkan untuk memohon ampun baginya, namun Allah tidak mengizinkanku. Saya meminta kepada-Nya agar saya diizinkan untuk menziarahi kuburnya, dan Allah mengizinkanku.” [HR Muslim (976)]

Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwa ibunda Rasulullah صلى الله عليه وسلم mati dalam keadaan kafir. Buktinya adalah karena Rasulullah dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya.  Kalau seandainya dia seorang mukminah, maka tentunya beliau tidak akan dilarang untuk memintakan ampun untuk sang ibunda. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam Al Qur`an:


مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS At Taubah: 113]

Inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dilarang untuk memintakan ampun bagi ibundanya.

Imam An Nawawi memberikan penjelasan mengenai hadits di atas. Beliau berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang larangan meminta ampun bagi orang-orang kafir.”

والله أعلمُ بالـصـواب

source : http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2013/04/akidah-kedua-orang-tua-nabi-muhammad_6041.html


12 komentar :

  1. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah manusia pilihan Allah yang diangkat menjadi khalil dan utusan Allah. Orang yang demikian, tentunya berasal dari keluarga yang terbaik pula, sehingga tidak mungkin Nabi Muhammad dilahirkan dari orang tua yang kafir dan dibesarkan di keluarga yang kafir pula?

    BalasHapus
    Balasan

    1. Tidak diragukan lagi bahwa para nabi dan rasul merupakan orang pilihan Allah dan manusia yang terbaik di masanya. Begitu pula keluarga beliau merupakan keluarga yang terpandang dan disegani di kalangan bangsa Arab. Namun kelebihan mereka ini adalah dalam hal sosial kemasyarakatan, bukan dalam hal keimanan dan ibadah kepada Allah. Buktinya ada sebagian dari anggota keluarga Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang menyembah berhala dan melakukan berbagai kesyirikan, seperti kakek beliau (Abdul Muththalib), sebagian paman beliau (Abu Thalib dan Abu Lahab), dan kedua orang tua beliau.

      Bukti yang menunjukkan bahwa Abdul Muththalib dan Abu Thalib mati dalam kemusyrikan adalah sebuah hadits dari Al Musayyab bin Hazn radhiallahu, dia berkata:

      أَنَّهُ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ

      “Ketika Abu Thalib hampir meninggal, datanglah Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjenguknya. Beliau mendapati di sana telah hadir Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnul Mughirah. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepada Abu Thalib: “Wahai pamanku, ucapkanlah “Laa ilaaha illallah” agar aku dapat bersaksi dengan kalimat tersebut di hadapan Allah atas (keimanan) dirimu.” Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: “Wahai Abu Thalib, apakah engkau memusuhi agamanya Abdul Muththalib?” Rasulullah صلى الله عليه وسلم berulangkali mengulangi perkataan beliau, dan begitu pula mereka berdua terus mengulangi perkataan mereka. Akhirnya perkataan terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah dia tetap mengikuti agamanya Abdul Muththalib dan enggan untuk mengucapkan “Laa ilaaha illallah”. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata: “Demi Allah, aku benar-benar akan memintakan ampun (kepada Allah) untukmu sebelum aku dilarang untuk melakukannya.”

      Setelah itu, turunlah ayat yang melarang beliau untuk memintakan ampun bagi pamannya. Ayat tersebut adalah:

      مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

      “Tidaklah boleh bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” [QS At Taubah: 113]

      Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (1360) dan Muslim (24) di dalam kedua kitab Shahih mereka.

      Di dalam hadits yang lain dari Abbas bin Abdil Muththalib radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

      يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ لَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ

      “Wahai Rasulullah, apakah ada suatu manfaat yang anda berikan kepada Abu Thalib, karena sesungguhnya dia dahulu telah melindungi anda dan membela anda?” Nabi menjawab: “Ya, ada. Dia berada di tempat yang dangkal di dalam neraka. Kalau bukan karena (syafaat) saya, pastilah dia berada di bagian yang paling bawah dari neraka.” [HR Al Bukhari (6208) dan Muslim (209)]

      Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa Abu Lahab adalah seorang kafir adalah firman Allah di dalam surat Al Lahab.

      Hapus
  2. Para nabi dan rasul adalah manusia yang paling beriman kepada Allah. Tentunya ini juga berlaku kepada keluarga mereka, karena tidak mungkin seorang nabi dan rasul itu memiliki keluarga yang ingkar kepada Allah. Demikian pula halnya Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cara berpikir demikian tidaklah sepenuhnya benar. Buktinya, ada di antara para nabi dan Rasul yang keluarganya tidak mengikuti mereka dalam hal keimanan dan ketaatan kepada Allah.

      Di antara contohnya adalah Nabi Nuh صلى الله عليه وسلم . Istri dan anak beliau hidup dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10 dan surat Hud ayat 42, 43, dan 46.

      Contoh lainnya adalah Nabi Ibrahim صلى الله عليه وسلم . Ayah beliau yang bernama Azar adalah seorang pembuat dan penyembah berhala dan mati di dalam kekafiran. Silakan membaca surat Maryam ayat 41-48, surat At Taubah ayat 114, dan surat Al An’am ayat 74.

      Begitu pula halnya dengan Nabi Luth صلى الله عليه وسلم . Istri beliau adalah termasuk orang yang dibinasakan oleh Allah ‘azza wa jalla bersama kaum Sodom. Silakan membaca surat At Tahrim ayat 10, surat Al A’raf ayat 80-84, surat Hud ayat 81, surat Al Hijr ayat 58-60, surat Al Hijr ayat 170-173, surat An Naml ayat 57-58, surat Al ‘Ankabut ayat 32, dan surat Ash Shaffat ayat 133-136.

      Kesimpulan dan pelajaran yang bisa kita ambil di sini adalah keimanan itu bukanlah suatu warisan dari leluhur dan orang tua, dan ia juga tidak dapat diwariskan kepada anak cucu dan keturunan. Keimanan itu semata-mata hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.

      Hapus
  3. Sejarah mencatat bahwa kakek Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang bernama Abdul Muththalib adalah penjaga Ka’bah, rumah Allah. Penjaga Ka’bah tentu bukanlah orang sembarangan. Ini menunjukkan bahwa kakek Nabi adalah seorang yang beriman kepada Allah.???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kenyataan bahwa Abdul Muththalib merupakan penjaga Ka’bah adalah benar. Bahkan dia adalah termasuk orang-orang yang mengatur pelaksanaan haji dan yang memberikan makanan dan minuman kepada para haji.

      Namun kenyataan ini tidak serta-merta menunjukkan bahwasanya dia adalah seorang yang beriman, karena pada kenyataannya bangsa Arab pada masa itu meskipun mereka sangat menghormati dan memuliakan Ka’bah namun mereka tetap menyekutukan Allah dengan menyembah berhala yang dipasang di sekitar Ka’bah.

      Allah mengatakan bahwa pemuliaan mereka terhadap Baitullah dan orang-orang yang berhaji bukanlah jaminan atas keimanan mereka sepanjang mereka masih melakukan kesyirikan. Bahkan Allah menamakan mereka sebagai orang yang zhalim karena tidak mau beriman kepada Allah. Allah berfirman:

      أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

      “Apakah kalian menganggap (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang berhaji dan mengurus Masjidil Haram adalah sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat serta berjihad di jalan Allah? Mereka itu tidaklah sama di sisi Allah! Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” [QS At Taubah: 19]

      Silakan melihat kembali dalil tentang kafirnya Abdul Muththalib di jawaban syubhat yang pertama.

      Hapus
  4. Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم hidup di masa tidak adanya nabi dan rasul. Ketika mereka berdua meninggal, agama Islam belum lagi ada. Dengan ini berarti mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dimaafkan karena tidak/belum adanya dakwah tauhid yang sampai kepada mereka (ahlul fatrah). Contohnya adalah Waraqah bin Naufal yang hidup pada masa kekosongan nabi/rasul dan beliau dikatakan mati dalam keadaan beriman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidaklah benar apabila dikatakan pada masa itu di kalangan bangsa Arab bahwa tidak ada dakwah tauhid yang sampai kepada mereka. Justru mereka telah mengetahui tentang dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam kepada bangsa Arab melalui anak beliau nabi Ismail ‘alaihissalam. Nabi Ismail merupakan leluhur bangsa Arab.

      Disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarh Shahih Muslim ketika menerangkan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata:

      أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ

      “Seorang lelaki bertanya: “Wahai Rasulullah, di manakah ayahku berada?” Nabi menjawab: “Di dalam neraka.” Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi memanggilnya. Lalu Nabi berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka.” [HR Muslim (203)]

      Beliau rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini juga terdapat keterangan bahwa barangsiapa yang mati pada masa fatrah (masa kekosongan/ ketiadaan nabi dan rasul) dalam keadaan menganut kepercayaan bangsa Arab yaitu penyembahan berhala, maka dia termasuk penghuni neraka. Hal ini tidaklah bisa digugat dengan mengatakan bahwa hal ini terjadi sebelum sampainya dakwah (Islam) kepada mereka, karena sesungguhnya dakwah Nabi Ibrahim dan para nabi yang lain (yaitu dakwah tauhid) -shalawatullahi ta’ala wa salamuhu ‘alaihim- telah sampai kepada mereka.”

      Benar, mungkin saja ada sebagian individu bangsa Arab yang tidak pernah mendengar tentang dakwah para nabi. Urusan mereka akan diselesaikan oleh Allah kelak di hari Akhirat. Adapun bagi orang-orang yang telah jelas datang keterangan dari dalil-dalil naqli tentang kekafirannya, maka wajib bagi kita untuk mengikuti dalil tersebut.

      Adapun Waraqah bin Naufal, memang benar beliau hidup pada masa tersebut di tengah bangsa Arab yang melakukan kesyirikan. Namun perlu diketahui bahwa beliau sama sekali tidak mengikuti kesyirikan yang dianut oleh mayoritas bangsa Arab pada masa itu. Beliau tetap berpegang teguh dengan ajaran Nasrani yang masih murni yang dibawa oleh Nabi Isa ‘alaihis salam. Bahkan beliau bertekad akan melindungi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan beriman kepadanya apabila dia diberikan umur yang panjang hingga Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul.

      Mirip dengan kisahnya Waraqah bin Naufal adalah kisahnya Zaid bin ‘Amr bin Nufail yang tidak mau mengikuti kesyirikan yang dilakukan oleh bangsa Arab pada masa itu.

      Hapus
  5. Mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai orang kafir penghuni neraka merupakan bentuk kelancangan dan penghinaan yang luar biasa terhadap Nabi dan kedua orang tua beliau yang sangat beliau cintai.??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di dalam Islam, kita dilarang untuk mengatakan seseorang adalah penghuni surga atau neraka dengan akal dan perasaan. Untuk memastikan seseorang itu adalah penghuni surga atau neraka, maka kita harus memiliki bukti dan dalil yang shahih yang menerangkan demikian.

      Dalam hal ini, yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah penghuni neraka bukanlah kita. Akan tetapi, yang menerangkan demikian adalah Nabi Muhammad sendiri di dalam hadits yang shahih sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk menerima perkataan beliau karena beliau tidak berbicara dengan menggunakan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan merupakan wahyu dari Allah. Allah berfirman:

      مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى (2) وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

      “Sahabat kalian itu (Muhammad) tidaklah sesat dan tidak pula keliru. Dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain merupakan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS An Najm 2-4]

      Justru sebaliknya, jika kita menolak pernyataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hal ini, berarti sebenarnya kitalah yang telah melecehkan beliau karena tidak mau mengikuti kebenaran dan kenyataan yang beliau sampaikan kepada kita.

      Hapus
  6. Kedua orang tua Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah orang yang paling beliau cintai di dalam hidupnya. Maka bagaimana mungkin kedua orang yang paling dicintainya masuk ke dalam neraka? Ini sungguh mustahil!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah merupakan fitrah bahwa seorang anak itu sangat mencintai kedua orang tuanya. Seorang anak itu tentunya menginginkan kebaikan kepada kedua orang tuanya. Terutama sekali adalah kebaikan yang berupa keimanan. Namun hidayah kepada Islam itu semata-mata merupakan pemberian dari Allah. Keimanan itu tidak bisa diwariskan atau dibagi-bagi. Allah ta'ala berfirman:

      وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

      “Allah memberikan hidayah bagi orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” [QS Al Baqarah: 213]

      Di antara orang yang paling beliau cintai dan yang paling beliau harapkan keislamannya adalah paman beliau yang selalu membelanya, yaitu Abu Thalib. Senantiasa beliau mendakwahkan Islam kepada pamannya bahkan hingga di akhir hayat dengan harapan agar beliau mau masuk Islam. Namun kenyataannya Nabi tidak dapat menyelamatkan pamannya dari kesyirikan. Nabi tidak mampu untuk memberikan hidayah kepada pamannya yang sangat dicintainya itu.

      Dalam hal ini Allah ta'ala berfirman:

      إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

      “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” [QS Al Qashash: 56]

      وبالله التوفيق

      Hapus