Al-Imaam Abul-Qaasim Al-Laalikaa’iy rahimahullah membawakan riwayat dengan sanadnya sampai pada Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah sebagai berikut :
“Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Ahmad bin Ibraahiim Ath-Thabariy, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Yuusuf Asy-Syaalanjiy berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Aliy Al-Qaththaan berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Husain bin Al-Junaid berkata : Aku mendengar Ar-Rabii’ berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)’.
Perkataan ini juga diriwayatkan dari Abu Zur’ah dan ‘Aliy bin Khasyram” [Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’iy, hal. 354 no. 599, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan; desertasi S3 Univ. Ummul-Qurraa].
‘Aliy bin Ahmad bin Yuusuf Al-Hakkaariy rahimahullah juga membawakan perkataan Al-Imaam Asy-Syafi’iy di atas dengan sanad Al-Laalika’iy sebagai berikut :
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr Ahmad bin Al-Khidlr Al-Faariqiy dan Abul-Hasan ‘Aliy bin Al-Husain Al-‘Ukbariy, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Qaasim Hubatullah bin Al-Hasan bin Manshuur Al-Faqiih Ath-Thabariy Asy-Syaafi’iy rahimahullah : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Ahmad Ath-Thabariy, ia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Yuusuf Asy-Syaalanjiy berkata : Aku mendengar ‘Aliy bin Al-Husain bin Al-Junaid berkata : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sulaimaan berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)” [I’tiqaad Asy-Syaafi’iy oleh Al-Hakkaariy, hal. 23, tahqiq : Al-Barraak].
Inilah ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu : yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk - yang dimaksudkan dengannya adalah lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalah artikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala (al-kalaamun-nafsiy ) adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [hal. 160].
“Kesimpulan (dari pembicaraan ini), bahwa setiap nash yang nampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan huduutsul-Qur’aan (maksudnya : kemakhlukan Al-Qur’an ) dibawa pada pengertian lafadh yang terbaca, bukan pada al-kalaamun-nafsiy. Akan tetapi tetap terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali dalam konteks pengajaran sebagaimana yang telah lalu (penyebutannya)” [hal. 162].
Jika demikian, bukankah perkataan Al-Baijuriy di atas – yang ini banyak diikuti oleh kaum Asy’ariy dahulu maupun sekarang – dapat diklasifikasikan sebagai perkataan Jahmiyyah ?. Tentu saja dengan catatan bahwa kita menganggap ‘aqidah Al-Imaam Asy-Syaafi’iy merupakan representasi dari ‘aqidah Ahlus-Sunnah.
Kembali saya bawakan i’tiqaad Al-Imaam Asy-Syaafi’iy sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahumallah :
وقد ذكر الشافعي رحمه الله ما دل على أن ما نتلوه في القرآن بألسنتنا ونسمعه بآذاننا ونكتبه في مصاحفنا يسمى كلام الله عز وجل وأن الله عز وجل كلم به عباده بأن أرسل به رسوله صلى الله عليه وسلم
“Dan telah disebutkan oleh Asy-Syafi’iy rahimahullah keterangan yang menunjukkannya bahwa apa yang kita baca di dalam Al-Qur’an dengan lisan-lisan kita, kita dengar melalui telinga-telinga kita, dan kita tulis di dalam mushhaf-mushhaf kita; semua itu dinamakan Kalamullah ‘azza wa jalla (bukan makhluk). Dan bahwa Allah ‘azza wa jalla telah berbicara dengannya kepada hamba-hamba-Nya melalui pengutusan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Al-I’tiqaad wal-Hidaayah ilaa Sabiilir-Rasyaad oleh Al-Baihaqiy, hal. 108, tahqiq : Ahmad bin ‘Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. Thn. 1401, Beirut].
Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan tambahan pengetahuan kita tentang apa dan bagaimana ‘aqidah Asy’ariyyah itu…..
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
BalasHapusSedangkan akidah asy'ariyyah ttg al Qur'an adalah menyakini bahwa lafazh al Qur'an adalah makhluk, disusun oleh Jibril atau Muhammad sedangkan hanya maknanya saja yang merupakan kalamullah.
artinya redaksi 'alhamdulillah dst' adalah makhluk. sdangkan makna yang terkandung dalam 'alhamdulilla dst' itulah yang merupakan kalamullah.
Hal ini karena kalamullah menurut asy'ari adalah kalam nafsi alias kata batin yang tidak memiliki huruf dan suara.
Sehingga lafazh al Qur'an yang tentu saja mengandung huruf bukanlah kalamullah namun karya Muhammad atau Jibril-ada khilaf diantara asy'ari tentang penyusun lafazh al qur'an itu Muhammad atau Jibril-.
Hal ini bisa dibaca di Syarh Lum'ah al I'tiqad Ibnu Utsaimin yang saya sangat yakin kalo ustadz Abul Jauzaa sangat menguasai kandungannya.
Jadi-menurut pengetahuan saya yang dangkal ini-kutipan-kutipan dalam tulisan di atas ada yang tidak nyambung alias tidak berhubungan.
2 November 2010 17.18
aris munandar mengatakan...
Meskipun judul tulisan di atas yaitu paham asya'ri adalah cucu paham jahmiyyah adalah kalimat yang benar.
karena hakekat akidah asy'ari tentang al Qur'an adalah menyakini bahwa al Qur'an adalah makhluk. itulah konsekuensi logis jika menyakini bahwa lafazh al Qur'an adalah makhluk.
atau jahmi dalam hal ini kita maknai dengan makna luas untuk jahmiyyah yaitu semua paham yang mengingkari sifat Allah sedangkan asy'ari itu mengingkari sebag sifat Allah. sehingga mereka juga bisa disebut jahmi dari sudut pandang ini.
Demikian urun rembug saya ttg tulisan di atas. Jika ada yang salah tolong dikoreksi, diluruskan, dikritik dan dibantah dan jangan sekali-kali dibenarkan.
Adapun saya, kok masih nyambung-nyambung saja tuh. Dan yang perlu diingat adalah, tulisan di atas membatasi bahasan pada kitab Al-Baijuuriy di atas.
HapusMemang beda antara Jahmiyyah dan Asyaa’irah. Bedanya, Asyaa’irah mendefiniskan hakekat kalam adalah al-kalamun-nafsiy (makna) yang kemudian mengeluarkan lafadh dari cakupan hakekat tersebut. Padahal, kalaam itu secara bahasa lafadh dan berikut maknanya [Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah oleh Faishal Qazaar Jaasim, taqridh : Masyhuur Hasan Salmaan, Al-Maghrawiy, dll., hal. 487]. Makanya ketika Asyaa’irah mengatakan bahwa lafadh yang mereka baca itulah yang makhluk, maka ini menyepakati Jahmiyyah dari sisi ini. Bukankah secara jelas Asy-Syaafi’iy berkata :
‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)’.