Penjelasan Ibnu Rajab tentang Tauhid Al-Asmaa' wash-Shifaat

0 komentar

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ 


Pembahasan asma’ wa shifat Allah merupakan salah satu asas aqidah yang diyakini oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Banyak ulama yang telah menuliskan bahasan penjelasan mengenai hal ini. Salah satunya adalah Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama Ahlus-Sunnah yang dikenal luas ilmunya, baik dalam bidang tafsir, hadits, maupun fiqh. Berikut ini akan coba dituliskan sebuah pokok bahasan tentang tauhid al-asma’ wash-shifat Allah yang terdapat dalam kitab Ibnu Rajab yang berjudul : Fadl-lu ‘Ilmis-Salaf ‘alal-Khalaf(Keutamaan ‘Ilmu Kaum Salaf Dibanding Kaum Khalaf).
Ibnu Rajab berkata :
ومن ذلك أعني محدثات الأمور ما أحدثه المعتزلة ومن حذا حذوهم من الكلام في ذات الله تعالى وصفاته بأدلة العقول وهو أشد خطراً من الكلام في القدر لأن الكلام في القدر كلام في أفعاله وهذا كلام في ذاته وصفاته.
“Dan di antara perkara-perkara baru yang muncul adalah golongan Mu’tazilah dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam pembicaraan mengenai Dzat dan Shifat-Shifat Allah ta’ala dengan berlandaskan akal pikiran semata. Masalah ini jauh lebih besar bahayanya daripada pembicaraan mengenai qadar. Hal itu disebabkan karena pembicaraan masalah qadar hanya berkisar pada perbuatan Allah. Adapun masalah ini, pembicaraan menyangkut Dzat dan Shifat-Shifat-Nya ta’ala.
وينقسم هؤلاء إلى قسمين أحدهما من نفى كثيراً مما ورد به الكتاب والسنة من ذلك لاستلزامه عنده للتشبيه بالمخلوقين كقول المعتزلة لو رؤي لكان جسما لأنه لا يرى إلا في جهة: وقولهم لو كان له كلام يسمع لكان جسما ووافقهم من نفى الاستواء فنفوه لهذه الشبهة: وهذا طريق المعتزلة والجهمية وقد اتفق السلف على تبديعهم وتضليلهم وقد سلك سبيلهم في بعض الأمور كثير ممن انتسب إلى السنة والحديث من المتأخرين. والثاني من رام إثبات ذلك بأدلة العقول التي لم يرد بها الأثر ورد على أولئك مقالتهم كما هي طريقة مقاتل بن سليمان ومن تابعه كنوح بن أبي مريم وتابعهم طائفة من المحدثين قديماً وحديثاً. وهو أيضاً مسلك الكرامية فمنهم من أثبت لإثبات هذه الصفات الجسم إما لفظا وإما معنى. ومنهم من أثبت للَّه صفات لم يأت بها الكتاب والسنة كالحركة وغير ذلك مما هي عنده لازم الصفات الثابتة.
Orang-orang yang membahas masalah Dzat dan Shifat Allah dengan berlandaskan akal semata ini terbagi menjadi dua golongan :
Pertama;
Golongan yang banyak menafikkan apa-apa yang datang dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah tentang Dzat dan Shifat Allah ta’ala, karena angapan mereka bahwa penetapan shifat-shifat tersebut kepada Allah akan menimbulkan penyerupaan kepada makhluk-makhluk-Nya. Hal ini seperti perkataan Mu’tazilah bahwa bila Allah dapat dilihat, tentu Dia adalah jism (benda). Sebab, Dia tidaklah dapat dilihat kecuali dalam satu ruang. Perkataan mereka yang lain : Apabila Allah mempunyai Kalam (pembicaraan) yang dapat didengar, tentu Dia adalah jism (benda). Dan juga peniadaan mereka akan istiwaa’ Allah juga akibat dari syubhat ini.
Ini adalah jalan/metode yang ditempuh oleh Mu’tazilah dan Jahmiyyah. Para ulama salaf telah sepakat tentang kebid’ahan dan kesesatan mereka. Namun sungguh disayangkan banyak orang belakangan (muta’akhirin) yang menempuh jalan mereka pada sebagian perkara dari kalangan yang menisbatkan diri pada As-Sunnah dan Al-Hadits.
Kedua
Golongan yang condong terhadap penetapan Dzat dan Shifat Allah dengan dasar akal semata yang tidak terdapat dalam atsar. Telah datang perkataan-perkataan mereka yang membantah golongan yang pertama sebagaimana yang dilakukan oleh Muqatil bin Sulaiman dan pengikut-pengikutnya seperti Nuh bin Abi Maryam; yang kemudian diikuti oleh (sebagian) kalangan Muhadditsin dulu dan sekarang. Jalan ini pulalah yang ditempuh golongan Karamiyyah. Di antara mereka (golongan Karamiyyah) ada yang menetapkan shifat jism bagi Dzat Allah secara lafadh atau makna. Dan di antara mereka pula ada yang menetapkan shifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti shifat “bergerak” (al-harakah) dan semisalnya yang menurut anggapan mereka merupakan shifat-shifat yang tidak boleh dipisahkan dari shifat-shifat yang tsabit.
وقد أنكر السلف على مقاتل قوله في رده على جهم بأدلة العقل وبالغوا في الطعن عليه. ومنهم من استحل قتله، منهم مكي بن إبراهيم شيخ البخاري وغيره. والصواب ما عليه السلف الصالح من إمرار آيات الصفات وأحاديثها كما جاءت من غير تفسير لها ولا تكييف ولا تمثيل: ولا يصح من أحد منهم خلاف ذلك البتة خصوصاً الإمام أحمد ولا خوض في معانيها ولا ضرب مثل من الأمثال لها : وإن كان بعض من كان قريباً من زمن الإمام أحمد فيهم من فعل شيئاً من ذلك اتباعاً لطريقة مقاتل فلا يقتدى به في ذلك إنما الإقتداء بأئمة الإسلام كابن المبارك. ومالك. والثوري والأوزاعي. والشافعي. وأحمد. واسحق. وأبي عبيد. ونحوهم وكل هؤلاء لا يوجد في كلامهم شيء من جنس كلام المتكلمين فضلا عن كلام الفلاسفة: ولم يدخل ذلك في كلام من سلم من قدح وجرح وقد قال أبوزرعة الرازي كل من كان عنده علم فلم يصن علمه واحتاج في نشره إلى شيء من الكلام فلستم منه.
Para ulama salaf telah mengingkari dan mengecam tindakan Muqatil saat ia membantah Jahmiyyah dengan dasar akal semata. Di antara para ulama salaf bahkan sampai ada yang menghalalkannya untuk dibunuh, seperti Makki bin Ibrahim yang merupakan guru Imam Al-Bukhari; dan selainnya.
Yang benar dalam permasalahan ini adalah apa yang telah dipegang oleh As-Salafush-Shalih, yaitu memperlakukan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits tentang Shifat Allah sebagaimana adanya, tanpa mentafsirkannya (men-ta’wil-kannya ), menanyakan bagaimananya (takyif), atau menyerupakannya dengan makhluk-Nya (tamtsil). Tidak dinukil perselisihan diantara mereka dalam masalah ini, khususnya dari Al-Imam Ahmad. Dan golongan salaf tidak berlebih-lebihan dalam memahami makna shifat-shifat tersebut dan tidak pula membuat permisalan baginya.
Walaupun ada sebagian ulama yang hidup dekat dengan jaman Imam Ahmad mengikuti jalan yang ditempuh oleh Muqatil, akan tetapi perbuatan mereka tidak dapat dijadikan landasan. Sebab, contoh yang dapat dijadikan panutan hanyalah para imam besar seperti Ibnu Mubarak, Malik (bin Anas), Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq (bin Rahawaih), Abu ‘Ubaid, dan semisal dengan mereka. Seluruh perkataan para imam tersebut tidak ada kemiripan dengan perkataan ahlul-kalam dan juga para filosof. Abu Zur’ah Ar-Razi telah berkata : “Setiap orang yang memiliki ilmu yang tidak membentengi ilmunya (dari ilmu kalam dan filsafat), namun ia malah menggunakan ilmu kalam dan filsafat itu untuk menyebarkan ilmunya; maka janganlah kalian masuk ke dalam golongannya”.
[selesai perkataan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah]
Itulah sedikit warisan Ibnu Rajab yang begitu berharga bagi kita. Semoga kita bisa mengambil manfaatnya.
 
والله أعلمُ بالـصـواب
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم







Posting Komentar