بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Sedang menurut syar’i ialah semua yang disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya atas izin dari Allah Ta’ala; yang berupa jalan-jalan kebaikan, atau adab-adab dan keutamaan yang beliau anjurkan, demi menyempurnakan umat ini dan membahagiakannya. atau semua perbuatan beliau [filiyah) dan perkataan (qouliyah) rosululloh dan diamnya rosululloh terhadap suatu ucapan perbuatan sahabat adalah ketetapan beliau (taqririyah)
Kalau yang beliau syari’atkan itu berupa perintah untuk melakukan sesuatu dan menekuninya, maka itulah Sunnah waajibah (yang diwajibkan), yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim pun. Namun jika bukan seperti itu, berarti itu Sunnah mustahabbah(yang disukai), yang bila dilakukan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan pelakunya tidak akan disiksa.
Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwa sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengajarkan sunnah tadi lewat sabdanya; beliau juga mengajarkannya lewat perbuatan dan persetujuannya. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sesuatu secara berulang-ulang hingga jadi kebiasaan, jadilah hal itu sunnah bagi umatnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk khususiyyah (kekhususan) beliau, seperti puasa secara bersambung umpamanya (puasa wishal).
Demikian pula ketika beliau mendengar atau melihat sesuatu yang terjadi pada para sahabatnya, kemudian hal itu berulang sekian kali tanpa diingkari oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadilah itu sunnah taqririyyah (sunnah karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Akan tetapi jika apa yang beliau lakukan, atau yang beliau lihat dan dengarkan tadi tidak terjadi berulang kali, maka tidak termasuk sunnah. Mengapa? Karena kata sunnah (سَنَّ – يَسُنُّ – سُنَّةً) berasal dari sesuatu yang berulang kali. Seperti kata (سَنَّ السِّكِّيْنَ) yang artinya mengasah pisau, yaitu menggosoknya berulang kali pada asahan sampai tajam
Contoh apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali saja dan tak diulangi lagi –hingga tidak dianggap sebagai sunnah– ialah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara shalat dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ tanpa udzur seperti safar, sakit, ataupun hujan (H.R. Muslim dan Tirmidzi)
Karenanya, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi tak menjadi sunnah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, beliau berkata:
Karenanya, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi tak menjadi sunnah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, beliau berkata:
جَمِيعُ مَا فِي هَذَا الْكِتَابِ مِنْ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ وَبِهِ أَخَذَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلَا حَدِيثَيْنِ: حَدِيثَ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ وَحَدِيثَ النَّبِيِّ أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ.
Semua hadits yang ada dalam kitab ini (Sunan Tirmidzi) ialah untuk diamalkan, dan menjadi dalil bagi sebagian ulama; kecuali dua hadits: Hadits Ibnu Abbas yang berbunyi bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara dhuhur, asar, maghrib, dan isya’ di Madinah tanpa alasan takut maupun hujan. Dan hadits Nabi yang mengatakan: “Kalau seseorang ketahuan minum khamer, maka cambuklah. Kalau ia minum lagi keempat kalinya, maka bunuh saja…” (lihat Kitabul ‘Ilal dari Sunan At Tirmidzi).
Sedangkan contoh dari apa yang pernah beliau diamkan dan beliau setujui sekali saja –hingga tidak bisa dianggap sunnah bagi kaum muslimin,– ialah hadits yang mengatakan tentang nadzar seorang wanita yang bila Allah Ta’ala memulangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari safarnya dalam keadaan selamat, ia akan menabuh rebana di hadapan beliau sebagai luapan rasa bahagia atas keselamatannya
Maka wanita tersebut melangsungkan nadzarnya, dan beliau menyetujuinya kali itu saja. Karenanya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai sunnah bagi umatnya.
Adapun contoh dari sunnah fi’liyyah ialah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selepas shalat berputar ke arah makmum. Hal ini terjadi ratusan kali, karenanya ini merupakan sunnah bagi setiap imam selepas shalat, meskipun beliau tak pernah memerintahkannya. Sedangkan contoh dari sunnah taqririyyahialah ketika beliau mendiamkan apa yang dilakukan para sahabatnya saat mengiring jenazah. Beliau melihat ada yang berjalan di depan jenazah, ada yang disamping kanan, di kiri, dan ada yang di belakang, akan tetapi beliau mendiamkan mereka; dan hal terjadi berulang kali setiap mereka mengiring jenazah. Maka hal ini dianggap sebagai sunnah taqririyyah.
Demikianlah pengertian sunnah, maka hadirkanlah selalu makna ini dalam benak anda… dan jangan lupa untuk menyertakan pula sunnah-sunnah Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau.
والله أعلمُ بالـصـواب
Posting Komentar